Permintaan Ibu‎

بسم الله الرحمن الرحيم


خَيْرُ الناسِ أَنْفَعُهُمْ لِلناسِ

"Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain."

***

Pernahkah kalian membayangkan seperti apa itu pondok pesantren? Apa benar santri itu kurang update? Apa benar di pondok itu seperti masuk ke dalam penjara suci?

Simak kisahku tentang bagaimana diriku bisa terjebak di dalam penjara suci. Dan menjadi seorang santriwati yang setiap harinya selalu mengantri.


Jadi, awalnya seperti ini ...


"Najwa, mau lanjut mana setelah ini?" Aku mendongak menatap wajah Bu Ani.

"SMP Negeri 1 sini saja mungkin, Bu." Aku menyalami beliau.

Bu Ani tersenyum seraya mengelus puncak kepalaku, "Belajar benar-benar di mana saja kamu melanjutkan nanti, ukir prestasi juga ya."

Aku tersenyum, "In syaa Allah, Bu."

Lalu aku berjalan melangkah ke hadapan guru lainnya. Berat rasanya untuk meninggalkan sekolah tercintaku. Tak terasa enam tahun aku belajar di sini.

Teringat kenangan pertama mendaftar sekolah, nilai matematikaku yang selalu jelek, dan saat aku berhasil mengukir prestasi membawa nama sekolah ini.
.
.
.
.
Aku menghela napas pelan, lalu kembali ke tempat duduk yang disediakan.

Ibuku ada di seberang kanan bersama ibu-ibu lainnya. Menemani perpisahan kami di sekolah ini.

Aku menangis kala berjabat tangan dengan teman-temanku. Mengingat bahwa kami sering berkelahi, saling mengejek, saling bersaing, dan kompak meski terkenal sulit diatur.

Terutama saat menyanyi lagu Hymne Guru dan Terima Kasihku. Betapa kami dulu sangat merepotkan, nakal, dan membuat guru-guru pusing dengan tingkah kami.

***

"Bu, nanti daftar SMP jangan lupa tanggal 12 Juni," ujarku. Ibu tampak diam lalu menghampiriku.

"Masuk pondok pesantren saja ya, biar kamu pintar ngaji," ucap ibu padaku.

"Pondok pesantren? Aku sudah bilang mau masuk SMP Negeri 1, Bu. Ngapain ke pondok pesantren, sih! " ujarku kesal.

"Biar kamu pandai ngaji, Najwa. Biar bagus bacaan Al-Qur'annya," jelas ibu.

Aku masih terdiam kesal, tiba-tiba saja ibu memintaku masuk pondok pesantren. Padahal sebelumnya ibu tampak setuju saja dengan keinginanku masuk SMP Negeri.

"Najwa," panggil ibu pelan.

Aku tetap melengos tanpa mau menatap mata ibuku.

"Mau ya?" pinta ibu lagi.

"Bu, aku juga ngaji di TPA[1]. Kenapa harus masuk pesantren, nanti aku jarang ketemu ibu sama adik," tolakku beralasan.

"Najwa, dengar ... ibu dulu gak pernah ngaji, karena tempatnya jauh dan mbah gak bolehin ibu ngaji. Bapakmu mualaf ngaji juga gak bisa, cuma bacaan salat aja bisanya. Najwa, pikirkan lagi ya," jelas ibu. "Bu, di TPA juga aku belajar ngaji, apa bedanya coba?" tanyaku.

"Beda sayang kamu cuma tahu ngaji, hafalandoa-doa dan surah saja. Apa kamu tahu bagaimana cara memandikan jenazah danmengirimkan doa kepada orang meninggal?" tanya ibu.

Aku menggeleng karena tak pernah belajar tentang hal tersebut.

"Najwa ingat dengan ini 'kan, Rasulullah Shallallahu'alaihi Wasallam bersabda,

"Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia yang lain."

Ibu menghela napas pelan dan menatapku dengan pandangan melembut.

"Ibu ingin kamu menimba ilmu agama agar dapat menjadi orang yang bermanfaat bagi orang lain. Kamu dapat dirikan TPA nantinya. Mengamalkan ilmumu, dan jika ibu atau bapak meninggal kamu bisa memandikan jenazah kami, mendoakan kami ... ibu hanya minta itu, Nak. Tolong pikirkan kembali," ujar ibu mengakhiri pembicaraan kami.

Aku bimbang harus bagaimana, selama ini ibu selalu mendukungku. Lalu tiba-tiba memintaku untuk mengabulkan permintaannya yang takbiasa bagiku.

***

Esoknya saat sedang bermain di rumah temanku, Nesa. Aku bertanya pendapatnya tentang masuk pondok pesantren.

"Kamu disuruh masuk pondok pesantren sama ibumu?" tanyanya. Aku mengangguk.

Nesa langsung duduk di sampingku.

"Jangan deh, kamu mau jadi apa masuk pesantren? Gak ada sekolah umum nanti kamu malah jadi kurang update lagi. Hafalan terus, gak boleh ke luar main, kayak di penjara gitu, emang kamu mau?" tanya Nesa.

Aku menggeleng, tentu saja gak mau. Aku bakal gak bebas, belum lagi di sana pasti gak ada televisi, aku gak bakal bisa nonton Naruto.

"Ih, belum lagi nanti kamu punya kutu rambut, kayak kakak sepupuku itu. Terus tiap hari pasti pakai rok, baju panjang, dan jilbab. Mengaji saja kerjaaanmu nanti," tambah Nesa.

Kutu?! Rok?! Astaga ... demi apa?! Aku paling benci pakai rok, rok seragam sekolah aja aku pakai dengan terpaksa, apalagi wajib pakai rok. Gak kebayang gimana ribetnya pakai rok setiap hari. Apalagi kalau punya kutu, hihh ... jijik banget pasti.

"Dan juga kakakku cerita kalau makannya itu sedikit, lauknya tempe terus sayurnya kangkung aja lagi, setiap hari bayangkan!" tambah Nesa lagi.

Aku semakin tak ingin masuk ke pondok pesantren. Bisa-bisa jadi kurus aku kalau makannya begitu. Tapi, di sisi lain aku juga gak tega melihat ibu yang memohon kepadaku untuk masuk ke sana.

Aku pulang ke rumah lalu mencari ibu untuk mengutarakan penolakanku. Setelah mendapatkan informasi dari Nesa, aku sangat ingin menolak permintaan ibu.

"Bu, aku tetap gak mau masuk pondok pesantren. Di sana nanti aku pakai rok terus, aku gak suka!" ujarku kesal.

Aku berdiri di belakang ibu yang sedang menyiangi ikan.

"Lah, malah bagus kalau pakai rok nanti terlihat anggun," balas ibu lembut.

"Tapi , Bu ... aku gak suka. Risi banget. Gak bebas gerak," ujarku kesal.

"Najwa, kalau kamu gak mau masuk pesantren. Ya, gak usah sekalian sekolah. Kalau masih mau sekolah ya sudah masuk pesantren. Ibu gak mau repot," balas ibu yang juga terlihat kesal.

Tanpa membuang waktu, aku beranjak pergi ke kamar dan menangis menumpahkan kekesalanku karena teringat kata-kata ibu seperti itu.

Astaga, kenapa dengan pondok pesantren sih?! Kuno banget, gak ada pelajaran umumnya dan gak ada kebebasan juga. Mau jadi apa aku masuk ke sana?! Masa jadi ustazah, gak banget.

Pada akhirnya aku meminta bantuan bapak agar bisa membujuk ibu untuk gak memasukkan aku ke pondok pesantren.

"Pak, Najwa gak mau masuk pesantren. Nanti makannya kangkung sama tempe terus. Nanti gak bisa nonton televisi, gak bisa main. Najwa gak mau, Pak. Bantuin Najwa," ujarku saat hanya berdua dengan bapak.

"Nduk, Bapak gak bisa bantuin kamu karena tujuan ibu menyekolahkan di pondok pesantren itu benar," ucap bapak membalasku.

Aku terdiam sambil manyun karena bapak saja tidak lagi membelaku.

" Bapak tanya kenapa kamu gak mau masuk ke pesantren? " tanya bapak.

"Aku gak mau ngaji terus, Pak. Nanti aku gak pernah belajar pelajaran anak SMP jadinya," jawabku.

"Kata siapa gak belajar pelajaran anak SMP?" tanya bapak lagi.

"Lah, memang di pondok pesantren bisa belajar pelajaran umum? " Aku berbalik tanya.

" Ya jelas bisa, karena pondok pesantrennya ada sekolah umumnya juga. Jadi, kamu dapat ilmu agama dapat juga ilmu umumnya, " jawab bapak.

"Lagi pula ibumu khawatir dengan pergaulan saat ini, kamu itu mudah terpengaruh teman. Makanya ibu mau mendaftarkan kamu di pondok pesantren," jelas bapak.

Aku terdiam dan berpikir kalau masih dapat pelajaran umum, bisa saja. Tapi keraguan yang masih bersarang di hatiku membuat aku akhirnya mencari pendapat lain.

Dan aku memutuskan untuk bertanya kepada ustaz di TPA tempatku mengaji.

" Pak, saya disuruh ibu masuk pesantren tapi saya gak mau, Pak. Saya harus gimana? " tanyaku.

"Najwa, ingatlah bahwa ada hadis tentang ini. Dari Abdullah bin 'Amru radhiallahu 'anhuma, ia berkata, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,

رِضَى الرَّبِّ فِي رِضَى الوَالِدِ، وَسَخَطُ الرَّبِّ فِي سَخَطِ الْوَالِدِ

"Rida Allah tergantung pada rida orang tua dan murka Allah tergantung pada murka orang tua."

Aku menunduk mendengarkan nasihat dari pak ustaz.

"Najwa, turuti saja kata ibumu, karena setiap orangtua menginginkan anaknya mendapatkan hal yang terbaik. Ingat jangan sampai kau durhaka kepada ibumu," jelas beliau.

Aku mengangguk paham menanggapi nasihat beliau.

Jadi teringat dongeng Malin Kundang yang durhaka kepada ibunya, padahal semasa kecil ia sangat disayangi, hingga ibunya mengutuk Malin menjadi batu karena durhaka.

Aku takut jika ibu nanti akan mengutukku juga, membayangkannya saja membuatku ngeri.

"Kalau kamu masuk pesantren, kamu akan dapatkan pengalaman yang berbeda dan saya yakin kamu pasti akan betah bahkan ketika lulus kamu selalu rindu kebersamaan saat di pesantren," ujar pak ustaz memberitahuku.

Lalu aku bangkit setelah mendapat beberapa nasihat dari beliau yang membuat hatiku mulai yakin untuk menuruti permintaan ibuku.

"Terima kasih pak ustaz, saya mau pulang dulu," ucapku. Lalu menyalami beliau dan pamit pulang ke rumah.

Setelah aku bertanya beberapa pendapat, aku berpikir tak ada salahnya untuk mencoba. Aku ingin membahagiakan ibu dan bapak.

***

Malamnya aku menghampiri ibuku yang sedang duduk menonton siaran televisi. Terlihat fokus sekali menyaksikan siaran tersebut. Aku mendekati Ibu pelan, lalu duduk di belakangnya.

"Bu, Najwa mau masuk pondok. Tapi jangan yangmasak sendiri ya," ucapku.

Ibu langsung menoleh dengan wajah sumringah dan tersenyum cerah.

"Iya, nanti masuk pondok tempatnya Mbak Devi. Biar ada yang kamu kenal," balas ibu.

"Bu, nanti di sana aku gak bisa nonton Naruto lagi dong, "ujarku mengutarakan sedikit kegelisahanku.

"Astagfirullah, Naruto itu bakal diulang terus di televisi. Kamu gak usah khawatir gitu," balas ibuku tampak kaget. Tak habis pikir dengan pertanyaanku yang di luar nalar ini.

Aku hanya cengar-cengir karena jawaban yang diberikan ibu.


"Bu, kalau sekolah di sana ada sekolah umumnya 'kan?" tanyaku memastikan.

"Ya ada, ibu tahu kalau kamu takut gak ada pelajaran umum 'kan?" tebak ibu.

Aku mengangguk membenarkan tebakan ibu.

"Gak usah dengar kata orang tentang pondok pesantren, yang penting kamu niat belajar Allah pasti meridai jalanmu, Nak."

"Katanya makannya gak enak, Bu. Terus gak bisa ke mana-mana," ujarku lagi.

"Halah, kamu aja apa-apa yang ibu masak dimakan, masa gara-gara makanan takut cari ilmu," balas ibu.

"Iya, Bu."

"Belajar tirakat, perbanyak amal, belajar yang benar, jangan takut sebelum mencoba. Nanti kamu malah ketagihan dan gak mau pulang ke rumah kayak Mbak Devi."

"Kok bisa, Bu?" tanyaku.

"Di sana banyak temannya dan ramai, in syaa Allah kamu bakal betah," jelas ibuku.

Melihat ibu tampak bahagia, aku merasa bahagia juga. Semoga jalan yang kupilih ini benar.

Pak ustaz pernah bilang bahwa, "Yang tidak pernah meninggalkanmu selain Allah, adalah doa ibumu".

Bismillah ...

Glosarium :

[1] TPA adalah singkatan dari Taman Pendidikan Al-Qur'an.

6035_ty

NatashaKhairunissa9

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top