Terungkap
Halooo. Ayem koming wkwkwk. Happy reading sista
****
Bagas membantu Azkia naik ke ranjang setelah waktu mual wanita itu selesai. Ia keluar kamar sebentar dan kembali membawa teh lemon hangat untuk diberikan pada Azkia. Setelah menerima teh hangat itu dari tangannya, Azkia langsung minum sedikit demi sedikit hingga separuh gelas.
"Makasih, Mas." Azkia meletakkan gelas itu di nakas sebelahnya.
"Hmm. Istirahatlah." Bagas beranjak tapi tangannya ditahan oleh Azkia. Ia pun menoleh ke arah wanita itu, tatapannya seolah bertanya ada apa? Bagas akhirnya mendudukkan kembali bokongnya di posisi semula.
Azkia mendadak gugup setengah mati. Ia memilih menunduk karena tak tahan dipandang lekat oleh pria pemilik hatinya, bahkan membuat rangkaian kata yang Azkia susun ambyar. Untuk beberapa saat ia tak tahu harus mengucapkan apa. Otaknya buntu untuk diajak berpikir.
"Kamu butuh apa?" Pria itu akhirnya membuka suaranya.
Ia menggeleng. "Nggak ada cuma ...." Azkia menarik napas dalam-dalam untuk mengurangi kegugupan dia. Kepalanya terangkat memberanikan diri menatap Bagas. "Maaf jadi ngerepotin, Mas, juga ... mungkin perpisahan kita sedikit tertunda," ujarnya setenang mungkin, padahal hatinya tengah diremat kuat hingga sakit.
Sontak rahang Bagas mengetat, urat-uratnya menyembul. Kilatan penuh amarah menghiasi matanya, seakan mampu membunuh musuh tanpa menyentuh. Tak hanya itu, kepalan tangan Bagas begitu kuat hingga jari-jarinya memutih. "Apa cuma itu yang ada di pikiranmu?" geramnya. "Apa kehadiran dia nggak ada artinya buatmu?!" sentak Bagas penuh amarah mengabaikan wajah pucat istrinya.
Bola mata wanita itu membulat, tak lama cairan bening mulai menggenang. Azkia menunduk dengan tubuh bergetar. Air matanya luruh tanpa bisa ditahan padahal ia bukan orang cengeng yang sedikit-sedikit menangis. "Maaf, Mas, aku ...."
"Itu kemauanmu bukan kemauanku," sela Bagas cepat. Kedua tangan Bagas meraup wajahnya kasar disertai embusan napas kuat.
"Apa aku pernah setuju dengan keputusanmu? Kamu ...."
"Tapi itu juga gara-gara, Mas! Mas nggak kasih aku kejelasan. Semuanya abu-abu buatku. Aku nggak tahu gimana perasaan Mas buatku. Yang aku tahu, Mas, cinta banget sama Mbak Ranti. Kalo sudah begitu, aku harus gimana?" Untuk pertama kalinya Azkia berhasil mengeluarkan kemarahannya. Sudah terlalu lama ia menekan amarahnya dan saat ini, Azkia tak mampu lagi menahannya. Wanita itu terisak hebat hingga tubuhnya bergetar.
Pria dengan kemeja polos itu menghela napas panjang lalu merangsek maju memeluk Azkia. Tangannya bergerak naik turun di punggung wanita itu. Ini salahnya dan ia tak akan menyangkalnya. Pikiran buruk Azkia tercipta karenanya dan wajar bila wanita itu mengamuk.
*****
"Duduk, Gas," perintah Wulan dengan tatapan tak bersahabat. Emosinya tengah mendidih dan siap disiramkan pada putranya. "Apa ini?" Wulan melempar amplop cokelat dari pengadilan agama kelas 1A Malang, usai Bagas duduk di ujung ranjang lainnya —saat ini mereka berada di rumah Bagas.
Wulan begitu kaget melihat amplop tersebut di meja ruang tamu kediaman Bagas. Ia tak percaya dengan tulisan lembaga yang tertera. Ia tak tahu jika menantu dan putranya tengah berkonflik. Surat panggilan itu berhasil menghancurkan kebahagiaan yang tengah ia rasakan karena kehamilan Azkia. "Jelaskan sama Bunda apa ini? Kenapa Azkia menggugatmu? Apa yang terjadi dan kenapa kalian membohongi kami?" cecarnya berapi-api.
"Sabar, Bun. Sabar. Kasih Bagas kesempatan jelasin," ucap Fariz menenangkan istrinya.
Dengan kecepatan kilat Wulan menatap tajam Fariz. "Sabar gimana maksud, Ayah? Sabar ngeliat rumah tangga mereka hancur? Ini mereka mau pisah, lho. Mana bisa Bunda sabar." Ia kembali melihat putranya. "Kamu bikin ulah apa? Apa yang bikin Kia menggugatmu? Kia itu anaknya nggak neko-neko, nriman, sabar. Jadi kalo sampai gini, pasti kamu bikin sesuatu yang nggak bisa diterima."
"Ya belum tentu, Bun, bisa aja ...."
"Apa? Ayah mau bilang kalo Kia aneh-aneh, gitu? Bunda nggak percaya. Bagas itu turunan Ayah, wes pasti kelakuan jeleknya nurun dan sedikit banyak niru Ayah!" sahut Wulan berang.
"Lho, kok, Ayah dibawa-bawa. Ayah kan nggak ngapa-ngapain, Bun."
"Iya udah tua, makanya tobat. Dulu kelakuan Ayah kayak setan."
"Wes kenek maneh. Wes, Gas, aku tak meneng ae timbang diungkit-ungkit sing biyen (dah kena lagi. Dah Gas aku diem aja daripada diungkit-ungkit yang dulu)."
Wanita setengah abad lebih itu tak menanggapi ucapan Fariz. Ia kembali menghadap Bagas sang tertuduh. "Jadi kenapa Kia sampai gugat kamu?" tanya Wulan ulang.
"Sedikit salah paham, Bun," jawab Bagas singkat. Ini salahnya dan masalah, jadi orang lain bahkan orang tuanya pun tidak perlu tahu.
"Salah paham gimana? Kalo bukan hal besar dia nggak mungkin gugat kamu, Gas."
"Nggak, Bun, salah paham aja," kilah Bagas. Ia tidak ingin membuat bundanya khawatir.
"Bisa kamu jelasin sama Bunda?" Wulan ngotot ingin tahu. Ia tahu tidak seharusnya ikut campur tapi ia tak ingin rumah tangga putranya bubar di tengah jalan.
Bagas lagi-lagi menghirup udara mendengar permintaan Wulan. Ia tak terlalu suka membicarakan hal ini dengan yang lain. "Salah paham aja. Bunda nggak usah khawatir." Ia berusaha menenangkan emosi Wulan agar tensinya tidak naik.
Refleks Wulan melayangkan pukulan keras ke tubuh Bagas. "Nggak usah khawatir gimana? Dia lagi hamil dan kalian mau pisah. Mana bisa Bunda tenang."
Bagas menggeser tubuhnya lebih dekat dengan Wulan. Ia merangkul ibunya erat. "Bunda nggak usah khawatir. Itu nggak bakal terjadi. Bunda yang tenang biar tensinya nggak naik."
"Nggak bakal bisa tenang kalo belum lihat kalian baik-baik aja," jawabnya pelan. Tangannya mengelus lengan Bagas yang melingkari bahunya. Ia menarik napas hingga dadanya lega. "Apa, sih, yang kamu lakukan sampai dia kayak gitu? Apa masalah kalian nggak bisa dibicarakan baik-baik? Bunda nggak mau kalian pisah, apalagi dia hamil, Gas."
"Insyaallah nggak, Bun."
Ia menoleh dengan pandangan memohon ke arah putranya. "Bener, ya, Gas? Dia itu perempuan baik lho. Jangan dibiarin lepas. Bunda nggak rela."
"Iya."
Tbc.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top