Tak Berjudul


😁😁😁 datang lagi. Langsung baca aja dah hehehe.

❤️❤️❤️
Selama makan malam—esok harinya—Azkia masih tak berani mengangkat kepalanya. Ia masih terlalu malu menatap Bagas terlebih pria itu juga yang memakaikan baju saat ia tidur. Bahkan ketika Wulan bertanya, Azkia menjawab tanpa melihatnya. Ia malu luar biasa. Sungguh dirinya tak habis pikir, mengapa ia berani menggoda Bagas dengan bertingkah seperti wanita penghibur. Astaga. Andai tersedia pintu ke mana saja milik Doraemon, mungkin Azkia akan pergi jauh untuk bersembunyi.

"Kamu sakit, Ki? Kenapa nunduk terus? Pusing?" tanya Wulan khawatir. Ia kemudian menatap Bagas tajam menuntut jawaban. Tapi yang ditatap hanya menggeleng. Pria itu seolah mengerti arti dari pandangan Wulan. "Ki?" Wulan menunggu jawaban Azkia.

Azkia mengangkat kepalanya pelan meskipun ia yakin wajahnya sekarang ini merah seperti tomat. Ia tidak berani membalas tatapan Bagas. "Nggak, Bu. Itu ...."

"Terus?" tuntut Wulan.

"Itu ... eum ...." Bagaimana ini? Tidak mungkin kan ia bilang malu karena sudah bertindak di luar kebiasaannya pada Bagas? Azkia menggigit kuat bibirnya seraya memikirkan jawaban untuk Wulan.

"Mungkin dia malu sama Bunda. Tadi, Bunda, ke sini dia tidur," sahut Bagas cepat. Sudut bibir Bagas tertarik samar menatap wajah Azkia yang merah padam. Sikapnya yang canggung. Entah mengapa ia suka melihatnya terlebih jika itu karena dirinya.

"Oalah. Gitu aja kok ya di pikir, Ki. Bunda lho nggak masalahin itu. Namae orang hamil bawaan bayi macem-macem, udah maklum Bunda. Udah nggak usah di pikirin terus," tegur Wulan. Ia kemudian meneguk air minum dan menyisakan setengahnya. "Gas, Bunda nggak jadi nginap wes. Ayah ribut aja itu, lho. Heran udah tua masih aja tingkahnya kayak abg," gerutunya.

Bagas mengangguk. "Mau diantar?"

"Nggak usah," tolak Wulan. Ia membantu Azkia membereskan meja makan. "Ayah udah jalan. Pasti ngebut itu kakek-kakek," gerutunya sambil memeriksa tasnya. "Ki, besok pagi Bu Ida ke sini. Udah Bunda suruh bawa belanjaan sekalian, soalnya belum tahu di sini ada pak sayur apa nggak."

Azkia merasa tidak enak hati jadinya karena harus menambah pengeluaran Bagas. Ia duduk setelah menaruh kopi di depan pria itu. "Bun, harusnya nggak perlu. Aku bisa kok kerjain sendiri tapi ya memang jadi lelet."

"Ngeyel," sahut Bagas singkat. Ia kemudian menyeduh kopi ke tatakan gelas.

"Tapi aku nanti jadi malas, Mas. Udah biasa apa-apa sendiri terus nggak ngapa-ngapain kan ya nggak enak," bantah Azkia tak terima.

Mencium bau-bau perdebatan, Wulan segera menyela, "Nggak gitu, Ki. Bagas itu nggak tega lihat kamu kepayahan gitu. Udah lemes masih kudu masak, beresin rumah. Belum lagi masih urusin dia. Terus kalo kamu lagi pengin ini itu nggak ada yang bantuin bikin atau beliin. Dia nggak mau kamu capek. Nggak repot mikirin masak apa kalo dia pulang. Ada yang temenin biar kamu nggak kesepian. Kalo ada apa-apa Bu Ida bisa kasih kabar," papar Wulan. "Dia nggak maksud bikin kamu malas atau manja. Mungkin kalo udah baikan kamu bisa kerjakan lagi urusan rumah tapi tetap dibantu Bu Ida."

Benarkah? Azkia pun menatap pria itu. Benarkah Bagas memikirkan dirinya sampai hal seperti itu? Bolehkah ia gembira akan perhatian Bagas? Bisakah ia beranggapan jika pria tiga puluhan itu sudah menerima dirinya?

"Emang dia nggak bilang apa-apa?" sela wanita yang masih cantik itu , padahal usia tidak muda lagi.

Azkia menoleh ke arah ibu mertuanya. "Bilangnya cuma biar bisa istirahat gitu aja, Bun."

Ia pun berdecak. Putranya itu terlalu pendiam atau bagaimana sebenarnya, Wulan jadi bingung sendiri. Apa masih belum bisa menerima kehadiran Azkia jadi menganggapnya tidak penting? "Kamu itu, lho, Gas. Kalo ngomong ya yang jelas. Jangan irit-irit gitu malah bikin salah paham."

"Hmm."

****

"Kenapa belum tidur? Udah jam sepuluh lebih."

Bagas mengganti bajunya dengan yang lebih nyaman. Ia sempat berhenti, melihat Azkia dari kaca lemari. Wanita itu memalingkan mukanya, mungkin dia takut kejadian itu terulang kembali. Bagas tersenyum samar karena ibu hamil itu tersipu. Ia pun meraih handphone di meja televisi dan membawa ke tempat tidur. Jarinya bergerak membuka pesan masuk.

Wanita hamil itu menoleh ke samping. Ia memperhatikan wajah serius Bagas. Ragu-ragu Azkia mengutarakan keinginannya. "Besok boleh nginep di rumah Ibu?" Ia berharap Bagas mengizinkan. Ia kangen sama ibu dan Hafiz.

Bagas mendongak, membalas tatapan Azkia. "Biar Ibu saja yang ke sini. Besok biar Pak Yanto yang nyusul ke sana."

"Kenapa harus Ibu yang ke sini? Yang lebih muda kita, harusnya kita yang ke sana." Ia tak mengerti mengapa Bagas seolah tidak suka ia ke rumah ibunya. "Mas nggak perlu ikut nginap di sana kalo nggak mau," tambahnya dengan sedikit kesal. "Cukup kasih izin aja. Aku tahu, kok, selama ini, Mas, kurang nyaman di sana karena tempat Ibu kecil." Jengkel sekali Azkia jadinya. Pria itu benar-benar membuatnya kesal.

Terlihat pria itu menghirup napas dalam-dalam sebelum kembali menatap Azkia. "Bukan masalah kecil atau nggak, tapi ini soal Ibu. Kamu nggak kasihan sama Ibu?" tuturnya lembut.

Azkia tak paham maksud Bagas. Apa hubungannya Ibu sama kasihan? Pandangannya menyiratkan pertanyaan yang wajib Bagas jawab. "Maksudnya ...."

"Kasihan Ibu kalo harus ngurusi kamu, Ki.  Beliau bakal kerepotan kalo kamu mual-mual di sana. Kalo Hafiz di rumah aku nggak masalah, tapi dia juga kuliah, kan? Belum lagi di warung. Kalo sampai kecapekan, tensinya Ibu bisa naik." Bagas harap penjelasannya dapat diterima Azkia. "Kalo Ibu yang ke sini, ada Bu Ida yang bantuin. Ibu juga nggak terlalu capek."

Ah, kenapa ia tak berpikir sejauh itu. Azkia terlalu memikirkan dirinya sendiri. Ia juga terlalu menuruti emosinya saja. "Tapi aku pengin banget ke sana, Mas." Suaranya begitu lirih sekaligus bergetar mengandung pengharapan agar diperbolehkan oleh Bagas.

"Nggak usah nginep. Istirahat siang besok aku antar. Pulang kerja aku jemput."

Hati Azkia berbunga-bunga mendengar hal itu. Keinginannya melepas rindu pada ibunya terwujud. Ah, rasanya ia sudah tak sabar menunggu besok. Namun, sejurus kemudian wajahnya kembali murung. Itu akan sangat merepotkan Bagas. Azkia sungkan sebab mengganggu waktu kerja pria itu juga. "Aku naik ojek aja, ya, Mas? Kalo kamu bolak-balik gitu nanti keteteran kerjaannya."

Pria itu menajamkan tatapannya saat Azkia lagi-lagi membantahnya. Bagas merasa hari ini wanita itu suka sekali memancing perdebatan. Mungkinkah pengaruh hormon kehamilan? Sebab yang ia dengar dari cerita teman-teman, wanita hamil mood swing-nya tidak kira-kira. Bahkan teman-temannya ada yang dibuat kelabakan karena permintaan istrinya. "Pilihannya dua. Aku antar atau nggak usah ke sana."

Putusan final harus ia jatuhkan agar tidak ada bantahan lagi dari wanita tersebut. Ia kemudian meletakkan ponselnya di nakas. Turun dari ranjang untuk mematikan lampu utama setelah menyalakan lampu tidur. Bagas lalu masuk di balik selimut, memejamkan mata mengabaikan tatapan permohonan Azkia.

Ia masih terus mengamati Bagas terlelap. Kenapa pria itu marah? Apa yang salah dengan ucapannya? Ia bukannya tak mau diantar tapi Azkia tak mau merepotkan Bagas. Lagi pula jarak rumah mereka ke Ibu tidak jauh, lebih jauh dari tempat kerja Bagas ke rumah. Lalu di mana salahnya?

Dengan perasaan nelangsa ia merebahkan tubuh. Menarik selimut sampai bawah dada. Ia memilih memunggungi Bagas walaupun ia tahu itu salah, tapi saat ini hatinya merana. Azkia menangis karenanya hingga beberapa waktu menyerah pada kantuk.

Netra tajam Bagas terbuka. Ia menghela napas sejenak sebelum berbalik menghadap Azkia. Diamatinya punggung wanita itu sebelum menyisipkan tangan di bawah kepalanya. Menarik pelan tubuh rapuh itu menghadapnya. Meletakkan tangan Azkia di perutnya. Ia mengeratkan pelukannya sebelum menghadiahi kecupan di kepala wanita tersebut.

Tbc.

Si bapak! Kalo cinta ngomong gitu lho. Ih, gemes pen gablok deh. Mulut dipake Pak jangan buat ngokopin doang 🙄

Seperti biasa, udah tamat di karyakarsa. Link ada di bio. Untuk cerita Riga dan Nitya juga udah aku up di sana.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top