Selanjutnya Bagaimana?
Haiii. Ayem update lagi wkwkwk. Lope-lope buat kalian dah ❤️❤️
❤️❤️❤️
"Gimana sidang kemarin, Gas?" Pertanyaan pertama saat Wulan menyambut Bagas di rumahnya. Sudah dua hari ini ia penasaran dengan jalannya sidang perceraian antara putranya dan Azkia.
"Baik, Bun."
Jawaban tidak jelas Bagas memancing kejengkelan Wulan. Ia pun menghantamkan tangannya ke lengan pria itu. "Jawab itu yang bener, Gas. Baik itu maknanya banyak. Jangan bikin Bunda emosi dong!" omel Wulan berapi-api. "Bunda itu, lho, sampai nggak bisa tidur kepikiran terus. Kamu ditanya malah jawabnya ngawur."
Bagas mengembuskan napas pelan. "Hakim menolak, Bun. Alasan Kia kurang kuat. Andai ngotot pun mungkin bakalan kalah juga. Apalagi kondisi dia yang kayak gitu," terangnya seraya memeluk bundanya. "Sementara hanya ini yang bisa aku lakukan, Bun. Sampai aku yakin benar dengan perasaanku sama dia dan bukan karena bayi itu."
Ya, Wulan setuju dengan kata-kata Bagas. Hubungan akan langgeng jika dasarnya kuat. Bukan karena alasan anak, bersalah, atau lainnya. "Terus Kia gimana?"
"Sempat marah-marah, Bun, tapi bayi itu rupanya belain aku. Mau nggak mau dia bergantung padaku." Bibir pria perawakan tinggi itu membentuk garis lengkung meskipun samar. Ada perasaan senang saat melihat Azkia harus bergantung padanya.
Wanita yang sudah tidak muda lagi itu menempelkan kepala pada kepala putranya. Tangannya menepuk-nepuk lengan Bagas yang melingkari bahunya. "Jangan lama-lama gantungin perasaan Kia, Gas. Bersama dengan perasaan abu-abu itu capek. Nggak tenang. Kepikiran terus. Nggak kasihan kamu sama dia? Nggak bagus juga buat anak kalian kalo ibunya kayak gitu terus." Wulan mengambil napas sebelum melanjutkan memberi wejangan pada Bagas. "Bunda nggak melebih-lebihkan soal kehamilan Kia. Coba kamu baca di Google gimana efek kalo kondisi emosional ibunya nggak stabil."
"Iya, Bun."
"Perhatian aja nggak cukup, Gas. Mungkin dengan Kia tahu gimana perasaanmu, dia bisa tenang."
"Iya, Bun. Masak apa, Bun?"
Wulan cepat-cepat menarik kepalanya. Sedikit mundur dan menoleh pada Bagas. "Belum makan?"
"Belum, Bun. Tahu sendiri Kia lagi gimana. Sebetulnya tadi dia mau masak tapi nggak aku bolehin. Kasihan, Bun."
"Bunda cariin rewang(asisten rumah tangga) aja gimana? Datang pagi terus sorenya pulang. Siapa tahu di tempat Mbok ada tetangganya yang mau."
"Boleh."
****
"Jadi hakim menolak gugatanmu?" tanya Diah yang datang berkunjung ke rumah Azkia. Kebetulan ia libur dan sudah berjanji pada temannya itu akan mengunjungi dia. "Kenapa bisa?" lanjutnya.
Azkia mengangguk lesu. Kepalanya sedikit pening maka itu sedari tadi ia setengah sandaran di sofa depan televisi. "Alasan yang aku ajukan kurang kuat, Di. Ditambah Mas Bagas membantah semua yang aku bilang. Dia bersedia menunjukkan bukti bahwa kami baik-baik saja. Dia juga jelasin kalo aku yang milih keluar rumah. Dia menceritakan semua dan aku nggak bisa bantah satu pun omongan dia kecuali perasaan dia."
"Kamu kan juga bisa bantah kalo dia bohong."
Sedikit memaksakan diri, ia duduk tegak. Kepalanya langsung terasa berputar. Ia pun memijat pelipisnya pelan-pelan. "Aku nggak bisa bantah wong dia benar. Kalo pun aku tetep ngotot. Aku juga bakal kalah. Dia bisa bawa Bunda atau kerabat dia lainnya buat saksi. Aku bawa Hafiz pun juga nggak bakal bisa. Wong di depan mereka kami baik-baik saja. Ditambah aku hamil. Usia kandungan ini kalo dihitung sama kami pisah juga ketahuan kalo kami masih berhubungan suami istri. Jadi kamu bisa simpulkan sendiri gimana kelanjutannya."
Diah mencerna semua penjelasan Azkia. Ia pun mengangguk paham. "Terus sekarang gimana? Nggak mungkin kan kalian gini terus?" tukas Diah. Ia bukannya ingin ikut campur atau ingin tahu bagaimana rumah tangga Azkia. Namun, akan sangat menyakitkan jika bertahan dalam hubungan yang kurang sehat.
Wanita hamil itu menghirup udara dalam-dalam. Ia tidak memiliki jawaban untuk pertanyaan Diah sebab ia sendiri tak tahu bagaimana ke depannya nanti. "Nggak tahu. Alasan Mas Bagas nggak mau pisah pun aku juga nggak tahu. Mungkin demi anak ini atau demi orang tuanya? Aku nggak tahu. Yang bisa aku lakukan sekarang bertahan semampuku. Seenggaknya ada yang bantuin. Apalagi hamil bawaannya kayak gini, bikin repot yang lain nanti."
"Yakin bisa bertahan?"
Azkia mengangguk kecil. Ia takut jika terlalu kuat kepalanya semakin pusing. "Insyaallah. Doain aku, ya."
"Pasti. Eh, kamu ditanyain Bang Hendra, Ki," ujar Diah. Ia meraih gelas di meja kaca lalu meneguknya hingga separuh. "Ke mana, kok, nggak udah lama nggak lihat katanya" lanjut Diah. "Ada rasa kali sama kamu, Ki. Nggak biasanya Bang Hendra gitu."
Decakan spontan lolos begitu saja dari Azkia. Diah kadang kalau ngomong tidak di pikir dulu. "Ada-ada aja kamu. Ya namanya tetangga kos biasa gitu."
Teman kerja Azkia itu mengubah posisi duduk menghadap Azkia. "Beneran, Ki. Nggak biasanya dia gitu. Paling nyapa aja atau basa-basi. Tapi ini beda lho. Ingat nggak kalo dia suka tiba-tiba kasih kue dengan alasan beli kebanyakan. Bantu temenlah. Kasihan nggak habis. Macem-macemlah padahal selama ini nggak gitu."
"Ck, itu cuma perasaan kamu aja, Di. Lagian mana mungkin dia ada rasa sama aku, wong aku orang baru di sana. Kamu kali yang diincarnya," sanggah Azkia tak setuju dengan argumentasi Diah. "Ngawur, deh."
Wanita rambut sebahu itu menggeleng cepat. "Nggak beneran, Ki. Nih ya setahun aku di sana, dia tuh paling cuma ngangguk doang. Atau nyapa biasa, basa-basi bentar langsung masuk. Cewek di sana nggak aku doang, lho. Mayang, Intan, Della, atau yang lain. Tapi kok sejak kamu di sana, Bang Hendra itu sedikit beda. Apa namanya coba kalo nggak ada rasa sama kamu?" bantah Diah. Ia yakin betul jika tetangga kos sebelahnya itu memiliki perasaan lebih pada temannya itu. "Beberapa kali dia tanyain kamu terus. Fix, Bang Hendra suka kamu, Ki."
"Itu ...."
"Ki."
Serentak dua wanita di sofa itu menoleh ke belakang. Mereka saling lirik. Mungkinkah? Pertanyaan sama yang ada di pikiran mereka berdua. Azkia menggigit bibirnya merasa tidak enak pada Bagas. Ia berdiri menghampiri Bagas.
"Dari tadi, Mas?" Azkia tahu pertanyaan yang dia ajukan pertanyaan bodoh karena sudah jelas jawabannya. Pria itu membawa kunci sendiri. Bagas selalu mengetuk pintu dulu, baru kalau tidak ada yang membuka ia gunakan kunci cadangan. Jadi kemungkinan besar pria itu mendengar percakapannya dengan Diah.
Bagas mengangguk singkat. "Dilanjut aja." Kemudian ia berlalu ke kamar setelah menyapa Diah sebentar.
"Aduhhh. Gimana ini, Ki. Suamimu pasti denger semua. Ya ampun. Gimana ini?" Diah bingung sendiri. Ia tak bermaksud menghasut Azkia untuk berpaling dari Bagas. "Aku nggak maksud apa-apa. Duh, aku jadi nggak enak ini." Diah melihat Azkia yang terlihat biasa saja seolah hal tadi bukan perkara besar. "Ki! Ini gimana?" desak Diah.
"Ya nggak gimana-gimana, Di. Mas Bagas pasti paham kalo denger semua. Lagian nggak bakal ngaruh apa-apa sama dia, wong dia nggak ada perasaan apa pun ke aku. Udah tenang aja."
"Yakin ini?" Diah belum bisa tenang walaupun Azkia meyakinkan semuanya baik-baik saja.
"Iya. Udahlah kamu tenang aja."
"Beneran?" tanya Diah lagi. Perasaan tak enak di hatinya masih belum sepenuhnya hilang. Ia benar-benar tak bermaksud buruk.
Azkia menghela napasnya cepat. "Iyaaa."
****
Azkia masuk ke kamar setelah mengantar Diah pulang. Kasihan temannya itu ketakutan sendiri padahal hal tersebut tidak ada efeknya sama sekali pada Bagas, sebab Azkia bukanlah nama yang ada di hatinya tapi Ranti.
"Udah lama kenal sama Hendra?"
Pertanyaan Bagas menghentikan Azkia mengambil baju ganti untuknya dan Bagas. Ia menoleh ke arah suaminya di ranjang—kakinya selonjor memangku laptop. Pakaiannya pun belum ganti. Azkia memaku pandangan pada raut suaminya. Meneliti saksama mencari ekspresi tak suka atau marah, tapi dia biasa saja.
Apa yang kamu harapkan, Ki? Dia cemburu? Mimpi! Kamu bukan wanita yang dia cinta.
Menyadari hal itu seketika membuat dadanya sesak. Terasa sempit karena penuh dengan kecewa yang membengkak. "Nggak, Mas. Kenal biasa pas nge-kos di tempat Diah." Ia melanjutkan mengambil baju gantinya. "Udah makan? Tadi aku bikin sayur sop. Cari yang cepat masaknya terus tiduran."
"Belum." Bagas menatap punggung Azkia yang baginya terlihat kecil. Mungkin karena bobot tubuhnya turun jadi terlihat kecil. "Kenapa nggak pesan? Uang belanjamu habis?"
"Ada, Mas, nggak tahu tadi kok pengin bikin sayur sup. Kebetulan Pak sayur lewat jadi aku belanja," kelitnya. Ia hanya tidak ingin boros dalam membelanjakan uang yang Bagas beri. Azkia duduk di ujung ranjang. Tubuhnya miring menghadap Bagas. "Aku siapin ya?" tawarnya.
Bagas mengangguk singkat. Ia memindahkan laptop di pangkuannya ke kasur. Menjejakkan kakinya di lantai. Ia mengambil pakaian yang sudah Azkia siapkan lalu melabuhkan kecupan kecil di kepala istrinya beberapa detik sebelum masuk kamar mandi.
"Itu ...."
Tbc.
Uhuyyy yang dapet hadiah 🤭🤭 awas Ki jangan tinggi-tinggi kalo terbang ntar jatuh sakit lho 🤣
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top