Sedikit Harapan


Holaaa. Lama nggak muncul ya. Yuk, langsung baca aja. 😁

♥️♥️♥️

Keteguhan Azkia rupanya sedikit goyah sebab sampai usia pernikahannya memasuki bulan kelima belum mampu menghapus bayangan Ranti dari pikiran juga hati Bagas. Mungkin bagi orang lain, empat bulan belum seberapa lama atau bisa dibilang baru, tapi bagi Azkia yang menjalaninya, itu sungguh berat.

Beberapa kali setan hampir berhasil membuatnya mengucap kata pisah, tapi ia berhasil menahan ucapan itu di ujung lidahnya. Ia terus ber-istighfar hingga emosi akibat kipasan setan mampu ia padamkan. Ia masih berusaha untuk bertahan meskipun sakit hati tak mampu ia hindari.

"Ki, dicari Bagas tuh."

Panggilan ibu mertuanya menyentak lamunan Azkia di kursi teras belakang. Saat ini dirinya berada di rumah orang tua Bagas untuk membantu Wulan—ibu Bagas, menyiapkan acara pengajian rutin di kampungnya.

"Iya, Bun." Ia pun beranjak dari duduknya kemudian ke dalam untuk menemui suaminya. Pria itu sedang menggulung lengan kemeja batik yang ia kenakan. Spontan ia meraih gulungan kain di tangan Bagas, membetulkan lipatannya agar terlihat rapi. "Kata Bunda nyari aku, ada apa?" tanya Azkia tanpa menatap wajah suaminya. Kemudian ia beralih ke lengan satunya.

"Nginap lagi?"

Ia mendongak menatap Bagas sejenak lalu mengangguk. "Iya, Mas, nggak enak mau pulang. Besok pengajiannya pagi. Kenapa?"

Bagas tampak menarik napas dengan tak sabaran. Ia terlihat kurang suka. "Kita pulang aja. Subuh nanti ke sini lagi."

"Memang ada apa, Mas?" Tumben, tapi Azkia simpan dalam hati.

"Udah beres semua, kan, kerjaan di sini?" Alih-alih menjawab, Bagas memilih mengajukan  pertanyaan. Azkia pun mengiakan. "Ya udah kita pamitan." Bagas berjalan lebih dulu menemui orangtuanya di ruang tengah.

Saat Azkia tiba didekat mereka, ayah mertuanya melemparkan godaan yang bisa ia tebak tak jauh dari aktivitas ranjang. Terkadang ia berpikir, apakah semua ayah dan putranya akan seperti itu atau hanya berlaku di beberapa hubungan saja?

"Tuh, Bun, anakmu baru ditinggal semalam aja udah uring-uringan. Kemarin aja disuruh nikah ogah-ogahan, saiki (sekarang)? Biyuh, nemplok nggak iso ucul (nempel nggak bisa lepas)," goda Faris dengan ekspresi wajah mengejek.

Ck. Hanya itu respon yang Bagas berikan. Semakin ia meladeni omongan ayahnya, maka semakin panjang urusannya. "Pamit, Bun, Yah," ujarnya seraya mencium punggung tangan keduanya.

Wulan beranjak dari sisi Faris mengantar mantu dan anaknya sampai di luar. Ia menepuk punggung Azkia dengan halus, seakan ingin memberi kekuatan kepada Azkia. Ya, ia tahu, menikah tanpa cinta bukanlah perkara mudah, karena itu ia selalu berdoa agar Bagas segera menyadari arti Azkia dalam hidupnya. Tidak perlu pakar ekspresi untuk mengetahui perasaan Bagas pada Azkia, penolakan putranya sudah cukup menjawab semuanya.

"Hati-hati bawa mobilnya, Gas. Nggak usah ngebut," pesan Wulan pada Bagas. "Ki, kalo capek nggak usah ke sini nggak apa-apa. Ada Mbok yang bantuin Bunda. Kamu istirahat aja, sorenya kan kamu harus kerja." Wulan mengulas senyum manis untuk Azkia.

"Inggih (iya). Kia wangsul ngeh, Bun (Kia pulang ya). Assalamualaikum."

"Waallaikum salam."

****

Wanita pemilik rambut panjang hitam legam itu terbangun dari alam mimpi saat pendengarnya terusik oleh panggilan di telepon genggam Bagas. Setengah terpejam ia meraih benda tipis itu dan melihat siapa penelepon tersebut. Ranti. Untuk apa mantan pacar sekaligus sepupu jauh Bagas menelepon di jam sepagi ini?

Jeritan gawai itu tak berhenti dan ia akan membangunkan Bagas ketika si pemilik panggilan memutuskan untuk mengakhirinya. Azkia pun menarik napas lega, sebab ia tak ingin jika kedamaian mereka terusik. Ia ingin menikmati kedekatan mereka ketika di atas ranjang. Di saat semua batasan yang Bagas terapkan runtuh bertepatan kala mereka melebur menjadi satu.

Senyum lebar milik Azkia tercipta mengingat bagaimana Bagas lupa kontrol saat mereka bersatu. Pipinya terasa hangat layaknya kepulan uang menyentuh kulit bersih Azkia. Tak lupa semburat merah ikut mengisi pipi wanita tersebut. Ia pun menoleh ke arah pria yang tidur pulas dengan wajah damai di sisinya. Rambutnya yang mulai panjang menutupi parasnya. Tampak begitu matang.

Namun, di sudut lain hatinya, ia merasa sakit karena ia tak ubahnya seperti tempat pelepasan dahaga Bagas. Dan, alasan itulah semalam pria itu mengajaknya pulang. Astaghfirullah, kenapa ia mengeluh? Bukankah dari awal ia sudah tahu risikonya? Seraya menghela napas panjang, Azkia mulai turun dari ranjang dan masuk ke kamar mandi.

"Jam berapa?"

Suara serak khas bangun tidur dengan muka bantal menyambut Azkia keluar dari kamar mandi. "Setengah lima. Cepat mandi, Mas, terus subuhan." Tak pelak wajah Azkia merona menatap bagian atas Bagas yang tak tertutup apa pun.

Setelah melaksanakan ibadah wajib, wanita berparas ayu itu menyiapkan makanan untuk mereka. Ia mengisi piring Bagas ketika pria tersebut duduk di kursinya. Pagi ini ia hanya menyediakan telur dadar, sambel bawang, dan selada air rebus. Meskipun tak pernah memuji masakan Azkia, Bagas tak pernah menyisakan makanannya.

"Mas, tadi Mbak Ranti telepon. Pas mau bangunkan Mas, teleponnya mati," beritahu Azkia sambil membereskan piring kotor.

"Iya."

Kerutan timbul di antara kedua alis Azkia. Reaksi Bagas mengundang pertanyaan dalam benak wanita berhijab abu-abu tersebut. Apakah mereka bertengkar? Sebab Bagas terlihat acuh tak acuh atas informasi yang ia sampaikan. Berbeda sekali dengan selama ini, yang akan segera menghubungi Ranti kembali bila ia tak mengangkatnya.

"Ke Bunda nggak usah bawa motor, barengan saja."

"Tapi, Mas, nanti kamu telat ...." Ucapan Azkia tak berlanjut menyaksikan tatapan setajam belati yang Bagas arahkan padanya. "Iya."

Meskipun Azkia bingung karena Bagas tak seperti biasanya, tapi ia membungkam bibirnya dan bergegas ke kamar untuk mengenakan kerudung yang tadi ia siapkan. Sesampainya di kamar, ia memfokuskan pandangannya pada pintu kamar. Pikirannya bertanya-tanya ada apa dengan pria itu? Apakah ada masalah dengan Ranti hingga memperparah suasana hati Bagas?

"Sudah, Ki, itu bukan urusanmu. Urus saja hatimu, sampai kapan kuat bertahan," gumamnya untuk dirinya sendiri.

Iya, sampai kapan ia mampu bertahan?

Tbc.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top