Rindu?
Holaaa. Lama ya kagak up muehehehe. Cuz lah kagak banyak omong. Jangan lupa love dan komennya. Muach!
###
Reaksi Bagas benar-benar membuat Azkia jengkel. Apa susahnya mengiakan perpisahan mereka? Mengapa ingin berpisah saja sulit. Azkia memejamkan mata, menghirup udara sebanyak-banyaknya lalu melihat Bagas yang terlihat santai di sisinya. "Ya sudah kalo, Mas, nggak mau ngomong ke Bunda sama Ayah. Aku yang bakal ngomong."
"Terserah kamu," ujarnya menahan kemarahan. Ia berdiri dan berniat pergi. Namun, saat akan meninggalkan Azkia, ponsel Bagas berdering dan nama ibunya tertera.
"Ya, Bu?" jawabnya sambil melirik Azkia yang tengah memperhatikan dirinya. "Kia sama aku."
"Malam ini ke rumah, Gas, besok ada acara lamaran adekmu. Kalian nginep sini."
"Iya, nanti aku ngomong dulu sana Kia. Sudah ya, Bu, aku mo jalan ini." Setelah mengucap salam, Bagas mematikan sambung telepon dengan ibunya. Memasukan ponsel berwarna hitam ke saku celana bahan yang dipakainya.
Ia menoleh ke arah Azkia yang tengah mengamati dirinya. "Bunda minta kita nginap di sana, besok ada acara lamaran Fifi."
Wanita berhijab itu menggigit bibir bawahnya, menandakan ia berpikir. Apakah ia harus datang, sedangkan ia tak sanggup jika harus melihat tatapan penuh cinta Bagas untuk Ranti?
"Aku ... aku nggak bisa."
Bagas menajamkan sorot matanya saat Azkia menolak ikut dengannya ke rumah orangtuanya. "Apa alasannya?" desis Bagas menahan geram.
Iya apa alasan kuat ia tak ikut? Besok acara penting bagi keluarga Bagas. Keluarga besar mertuanya pasti hadir dan bisa jadi ibu serta adiknya juga diundang. Ya Allah, kenapa posisinya selalu terdesak seperti ini? Azkia pun menghela napas dalam mengusir lelah yang ia rasakan. Tak hanya lelah karena kerja tapi ia juga lelah melawan Bagas. "Ya sudah, aku ganti dulu." Azkia pun mengeluarkan kunci kamar lalu membukanya.
Tanpa Azkia duga Bagas ikut masuk. Mata pria itu menjelajahi setiap sudut ruangan berukuran 3x4 mater yang menjadi tempat tinggal Azkia dua bulan ini. Tidak banyak barang di kamar ini, hanya ada ranjang kecil, lemari, meja pendek, dan didekat jendela ada meja berukuran sedang untuk meletakkan kompor dan rak piring. Di sudut ruangan ada kamar mandi kecil, sehingga setiap penghuni kosan tidak perlu antre.
Bagas merebahkan tubuhnya di kasur, memejamkan mata. Ia lelah, begitu banyak hal yang menyita pikirannnya dan saat ini ia ingin beristirahat dengan tenang. Tak lama napas Bagas pun dengar konstan hingga menarik perhatian Azkia.
Wanita pemilik hidung bangir itu memperhatikan suaminya secara seksama. Tanpa disadari, kaki Azkia mendekat, duduk di sisi Bagas. Tangannya terulur menyentuh ringan wajah pria itu hingga kulitnya bertemu cambang di rahang dan dagu Bagas.
Beberapa hari membatasi interaksi mereka, memicu kerinduan besar yang Azkia rasakan pada Bagas dan itu hal sangat berbanding terbalik harapannya. Rindu itu juga menyiksanya tiap malam hingga tak bisa tidur nyenyak. Ya Tuhan, ternyata sebesar itu efek yang ditimbulkan oleh Bagas untuk Azkia dan ia sedikit kesal tak mampu mencegahnya.
Tak tahan hanya menatap, ia jalankan jari-jarinya menyusuri paras tegas Bagas. Wajah yang mampu menarik perhatian kaum hawa, dan penyebab tidur Azkia gelisah selama beberapa waktu ini.
Jempolnya mengusap ringan—sangat ringan—bibir Bagas yang mampu membuatnya mendesah setiap kali mereka bercinta. Azkia akui meskipun mereka menikah tanpa cinta tapi untuk aktivitas ranjang Bagas tak pernah absen.
Saking fokusnya Azkia melepas rindu, ia tak menyadari mata Bagas terbuka dan memandang lekat wanita di depannya itu. Tak menyiakan kesempatan, Bagas menangkap tangan Azkia, menarik kuat hingga menimpa Bagas. Azkia kaget. Ia berusaha menjauh dari tubuh Bagas, sayangnya kalah cepat dengan Bagas. Kepala Azkia ditahan kuat oleh Bagas dan langsung menyerbu bibir tanpa lipstik miliknya.
❣️❣️❣️
Azkia mendongak saat segelas minuman jahe hangat diletakkan di depannya. Mereka kini berada di rumah Wulan dan Azkia sedang istirahat di teras belakang setelah membantu persiapan acara lamaran Fifi.
"Minumlah biar hangat. Setelah ini kamu istirahat saja." Bagas duduk di kursi kosong tak jauh dari Azkia. "Bunda nggak akan keberatan."
"Tapi masih ada yang belum selesai, Mas," bantah Azkia usai menyeruput wedang jahe tersebut.
"Ganti kerudungmu dulu."
"Kenapa?" Azkia meraba penutup kepala hitam itu. Sontak rona warna merah mendominasi pipinya. Ia malu, pantas saja mertua dan keluarga Bagas lainnya tersenyum simpul padanya. "Kenapa nggak bilang kalo basah? Aku kan malu, Mas," sungutnya. "Pasti mereka mikir yang nggak-nggak," lanjutnya, tapi bukankah itu benar? Sebelum ke rumah Wulan, mereka sempat membentuk kehidupan di rahim Azkia.
Pria itu melihat Azkia tak percaya. Kenapa dia yang salah? Harusnya wanita itu lebih paham. "Habiskan jahe hangatnya terus istirahat."
"Mas." Panggilan Azkia menarik atensi Bagas dari layar ponsel. "Mbak Ranti nggak datang?"
Alis Bagas bergerak naik. "Kenapa?"
"Nggak, cuma ...."
"Nggak tahu."
"Mas nggak hubungi dia?" Rasa ingin tahunya menyingkirkan celekit di hati Azkia, ibarat kata, ulo marani gepuk alias cari masalah.
Lagi-lagi Bagas menaikan alisnya, lebih tepatnya heran dengan pertanyaan Azkia. "Buat apa?" Ia mengubah posisi duduknya menghadap Azkia. Kini, wanita itu fokus utamanya. "Katakan, sebenarnya kenapa?" tanyanya dengan tatapan lekat. "Kamu mau ngomong apa?" desak Bagas. Ini di luar kebiasaan wanita tersebut, karenanya ia harus tahu apa yang tengah di pikirkan dia.
"Eumm ... itu ... nggak apa-apa ...."
"Tapi?" sambar Bagas cepat.
Tapi apa? Apa yang ingin ia katakan? "Seenggaknya aku nggak harus ngerasa bersalah lihat kalian pura-pura sebagai sepupu."
"Oh ya? Apa itu ada gunanya sekarang?"
Azkia terkesiap. Ia tak menyangka Bagas menyerangnya terang-terangan. Kenapa kaget? Bukankah yang memulai duluan dirinya, lalu kenapa seperti seorang korban? "Itu ... ya ... nggak ada tapi setelah kita pisah, mungkin rasa bersalahku bisa berkurang," tuturnya dengan kesungguhan.
Pria itu memajukan tubuhnya hingga wajah mereka berdekatan. Matanya mengamati paras manis di depannya. Bulu mata panjang walaupun tidak lentik, bibir penuh menggoda, kulit wajah yang bersih, dan hidung bangirnya, paduan sempurna yang dimiliki Azkia.
Terlebih rona merah di pipinya Azkia, membuatnya suka. Bagaimana bisa wanita seusia dia tersipu malu saat diperhatikan dengan saksama. Bagas mengulum senyum sewaktu Azkia mendorongnya menjauh. "Yakin? Bisa saja rasa bersalahmu nggak akan berkurang sama sekali."
"Maksudnya?" tanya Azkia tak mengerti.
"Nggak apa-apa. Kalo mau bantu-bantu lagi, ganti dulu hijabmu. Nggak usah terlalu malam, besok kamu masih kerja, kan?" Bagas kemudian masuk diiringi pandangan heran Azkia.
Beberapa saat setelah kepergian Bagas, Azkia masih mencerna ucapan pria itu. Maksudnya apa? Sungguh buntu otaknya diajak berpikir.
Tbc.
Tersedia di KBM dan Karyakarsa.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top