Meragu

Masih setia sama Bagas kan? Masih dong 😁 boleh lah ya minta love dan komennya.

*****

Azkia melotot tak percaya waktu jam dinding menunjukkan pukul setengah enam pagi. Ia kesiangan dan yang paling utama terlewat subuh. Ia ber-istighfar di hati lalu bergegas ke kamar mandi. Azkia memukul dahinya kuat ketika ingat harus mandi wajib. Iya mandi wajib gara-gara Bagas semalam. 

Sebenarnya ia sudah menolak. Bagaimana mungkin mereka menyatu sedangkan mereka akan berpisah, tapi Bagas memantahkan argumentasinya dengan pertanyaan kapan ia ia menjatuhkan talak pada Azkia. Wanita tersebut tak bisa mengelak, tak ada jalan untuk menghindar dari tugasnya. Ingin beralasan haid itu juga tidak mungkin, sebab Bagas tahu ia salat isya'. 

Lima belas menit kemudian Azkia keluar dari kamar mandi. Ia mengambil baju lalu ganti, usai ganti ia menata baju yang akan dipakai suaminya, dan tanpa ia sadari sepasang mata memperhatikan dirinya sampai ia berbalik. Azkia kaget melihat Bagas tengah menatapnya. Ia pun tertunduk malu, meskipun pria itu sudah berkali-kali mengetahui lekuk tubuhnya dengan detai, tetap saja ia malu.

Rona mawar menjalari paras cantiknya. "Eum ... itu ... itu baju, Mas, udah aku siapkan. Aku bantu Bunda dulu di dapur." Tanpa ba-bi-bu Azkia melesat keluar. Ia benar-benar malu. 

Seringai kecil Bagas tersungging. Menyenangkan sekali melihat wanita itu gugup dan malu-malu, terlebih pipinya yang dihiasi semburat merah, rasanya ingin sekali Bagas gigit. 

Sementara itu, Azkia berjalan lambat menghampiri mertuanya sebab tak enak hati karena telat bangun. "Bun ...."

Wulan menoleh, matanya memindai hijab instan Azkia yang basah. Wajah yang berseri dan ia tahu apa itu semua. Ia mengulum senyum dan mengangguk. "Sini, Ki, bantuin Bunda bikin sarapan. Mbok lagi nggak enak badan, jadi Bunda minta istirahat," beritahunya tanpa menyinggung topik hal yang membuat Azkia telat bangun. "Masak yang simpel aja, Ki. Bikin Sop, telur dadar, sama udang tepung."

"Iya." Azkia meraih pisau dan mulai memotong sayuran yang sudah Wulan bersihkan. 

"Wah lagi gosipin apa ini? Suara ketawanya sampai depan." Suara suami dari Wulan itu menginterupsi kesenangan dua wanita memasak itu. "Masak apa, Bun?"

Wulan yang sedang meletakkan sayur di meja mencubit ringan lengan Faris. "Ayah kepo aja. Urusan perempuan nggak usah ikutan."

"Walah, onok bolone Ayah maleh nggak dibolo(ada kawannya, Ayah jadi nggak dikawan). Awas ae lek Kia nggak nok kene golek konco( awas aja kalo Kia nggak di sini, cari temen)," ancam Faris main-main. Ia suka menggoda istri manjanya itu. 

"Hemmm." Hanya itu jawaban Wulan. Sebenarnya ia ingin merajuk tapi malu ada Azkia. "Ya udah nanti Bunda ikut Kia aja kalo dia pulang."

"Lho lho. Ayah sama siapa?" 

Azkia mengulum senyum menyaksikan interaksi mertuanya. Iri pun menyusup di hati, sebab ia menginginkan hal yang sama. Namun, itu harapan kosong. Dia dan Bagas tak mungkin seperti itu. Berbicara lama saja jarang apalagi bercanda. 

Wanita itu begitu larut dalam pikirannya hingga tak menyadari Bagas di sisinya. Ia pun mengikuti arah pandang Azkia. "Kopiku?" 

Wanita dengan daster panjang itu berkedip-kedip sambil mengembalikan orientasi otaknya. Untuk beberapa saat ia masih terdiam sampai suara Bagas kedua kalinya menyadarkan dia. "Oh ya, Mas, tunggu." 

****

"Kemarin ke mana? Pas aku pulang lampu kamarmu gelap. Kirain tidur duluan ternyata kosong. Ke rumah Ibu?" tanya Diah ketika mengisi stok kerupuk dan camilan di rak sisi kasir. 

"Iya. Bunda nyariin." Keningnya mengkerut bertemu Diah pagi ini sebab dia harusnya masuk siang. "Kok pagi? Bukannya siang ya? Apa aku yang salah ingat?" 

Temannya itu menggeleng. "Gantiin Rony. Istrinya kemarin mau lahiran. Makanya sama Bu Vega disuruh masuk."

"Oh. Eh ya, Di, kamu ada temen yang bisa bantu urus perceraian gitu nggak? Mauku urus sendiri tapi liburnya mesti nggak pas," keluh Azkia dengan wajah murung. Ia ingin segera menyelesaikan semuanya agar tak dihinggapi rasa bersalah. 

"Kayaknya ada temen sodaraku. Coba nanti aku tanya ke dia ya. Btw, kamu nggak mau nyoba bertahan dulu, Ki?" Azkia menatap bingung Diah. "Bukan apa sih ... cuma ... maksud aku ... eum sadar nggak, sih, kalo komunikasi kalian buruk? Dilihat dari ceritamu, lho, ya. Kayak orang asing gitu ya. Kalian sama-sama nggak banyak omong, kalo nggak ada yang mulai bakal banyak salah paham. Ngerti nggak, sih, maksudku?" tutur Diah. "Ya, emang aku nggak di posisimu tapi apa ya ... beberapa temen aku ada yang gitu, jadi harus ada yang ngalah."

Azkia mencoba mencerna ucapan Diah. Apa benar yang temannya itu katakan? Apa dirinya harus menjadi wanita cerewet agar komunikasi mereka lancar? Tapi itu bukan dirinya sekali. "Masa aku harus cerewet, Di? Kayak gimana gitu. Apa, ya, aneh aja."

"Ya bukan yang cerewet banget juga. Apa ya ... intinya kalo dia diem, kamu jangan ikutan diem. Ajak ngobrol aja, entah itu penting nggak penting. Lama-lama dia bakal kepancing juga. Itu sih yang aku dapat dari cerita temenku." Diah bersandar di meja kasir sambil menunggu jam resto buka. Matanya memindai teman-temannya yang lain membersihkan ruangan dan menata meja juga kursi.

"Nggak usah jauh-jauh, deh. Dulu pas aku jalan sama Rendra juga gitu, endingnya putus gara-gara salah paham. Apa, ya, mungkin buat cowok nggak semua hal itu perlu diceritakan. Sedangkan kita, sekecil apa pun itu wajib tahu. Terus ya kita gampang banget narik kesimpulan sendiri tanpa konfirmasi ke pasangan, ujung-ujungnya berantem. Nah belajar dari pengalamanku dan beberapa temen, menurut aku komunikasi wajib lancar, kalo nggak ya wasalam."

Wanita penyuka warna ungu itu menghela napas. Apa benar seperti itu? Apa benar jika ia terlalu cepat menarik kesimpulan? Jika dipikir-pikir, komunikasi mereka memang tersendat. Ia tak berani memulai obrolan bila tak ada hal yang penting.

"Wes lah aku ke belakang dulu siap-siap. Ntar aku tanyain, ya. Mangats."

Sepeninggalan Diah, Azkia lagi-lagi termangu. Bila ditelaah dengan pikiran jernih, ia juga bersalah dalam perpisahan mereka. Azkia tak memberi kesempatan Bagas untuk membatah semua ucapannya. Membuat keputusan tanpa mendengar argumentasi suaminya karena ia tak ingin mendengar apa pun dari Bagas, dan bukankah pria itu hanya berkata 'terserah' bukan 'iya'.

Ya ampun. Apa ia salah mengartikan jawaban Bagas waktu itu? Bukankah 'terserah' itu kata yang abu-abu? Tapi ... tidak. Azkia tidak boleh mundur. Ia ingin bebas dari rasa bersalah walaupun hatinya harus remuk redam. Cintanya harus hancur berkeping-keping. Ia tidak bisa memaksa Bagas bertahan dengannya bila mereka sama-sama terluka. 

Tbc. 





Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top