Di Luar Dugaan


Haluooo. Sehat? Insyaallah sehat semuanya. Semangat buat wanita hebat. Lope lope dah ❤️❤️

****

"Mas, ngapain sih ikutan di sini. Nggak lihat kita cewek-cewek mau rumpik. Sana deh gabung sama yang lain," usir Fifi yang jengah melihat Bagas tak bisa jauh dari Azkia. Bukannya pergi, pria itu tetap di tempatnya sibuk dengan ponselnya dan seolah tak mendengarnya bicara. "Mas denger nggak sih aku ngomong? Ya Allah, itu kuping buat apaan, sih? Centelan katok a ( gantungan celana)? Kalo di rumah juga gitu, Mbak?" Fifi menoleh Azkia, wanita itu mengangguk seraya tersenyum. "Astaghfirullah. Kirain sama bini beda atau gimana gitu, eh sama aja. Berasa ngomong sama tembok nggak, sih, Mbak, ngomong sama dia?"

Ragu-ragu Azkia mengangguk. "Sedikit."

"Kalo di kasur kayak tembok juga nggak, Ki?" timpal Meysha—sepupu Bagas—sambil tertawa keras dibarengi sepupu perempuan Bagas lainnya.

Sontak wajah hingga telinga Azkia panas. Mungkin wajahnya sekarang ini merah. Pertanyaan yang tidak ia sangka-sangka. "Itu ...."

"Ya jelas nggak lah. Laki-laki mah kalo urusan ranjang ganas, Bund. Apalagi type-type tembok kayak Bagas, habis itu Kia dimakan. Dia lebih banyak bekerja, Kia yang banyak bersuara," sambar Sherin langsung disambut tawa keras lainnya.

Fifi mendekat dengan wajah penasaran. "Beneran kayak gitu, Mbak?" tanya Fifi. Azkia tidak tahu harus berkata apa.

"Fi, nggak usah ditanya. Tuh muka Kia udah kayak tomat gitu, udah yakin omonganku bener. Bagas sama Mas Erik itu sama," terang Sherin.

"Emang Erik gitu juga, Sher?" Kali ini Meysha angkat suara.

"Yaaa ... gitu deh." Sherin pun menoleh ke Azkia. "Berapa ronde, Ki, Bagas kalo lagi manjat ?" Alis Sherin naik turun menggoda wanita berhijab itu.

Azkia menunduk malu. Ia tahu yang dimaksud Sherin. Ia tidak terbiasa bercanda soal urusan ranjang. Namun, melihat keakraban mereka, ia suka. Azkia merasa mempunyai saudara perempuan, sebab ia cuma berdua dengan Hafiz.

"Ratusan. Kek wafer tango ituuu," sahut yang lain.

"Huwooo," seru mereka barengan.

"Gendeng." Bagas berdiri menarik Azkia dan membawa wanita itu menjauh dari para sepupu gilanya.

"Woi, Gas, nandi? Sek sore iki mosok kate ngarap sawah (masih sore masa mau ngarap 'sawah')?"

Ia menulikan telinga dari ledekan sepupu-sepupunya, membawa istrinya ke teras belakang. Suasana tenang dan terlebih jauh dari orang-orang gila di dalam.

Mereka duduk dalam diam. Bagas dengan ponselnya sedangkan Azkia mengedarkan pandangan dari taman sampai ke dalam tempat saudara Bagas berkumpul. Saat itulah ia menyadari bahwa Ranti duduk tak jauh darinya tadi. Astaga, kenapa ia tidak tahu ada Ranti?

Ah, pantas saja Bagas tak beranjak darinya, rupanya pria itu ingin berdekatan dengan Ranti. Lagi-lagi Azkia harus menelan kecewa, dipikirnya tadi karena Bagas memang ingin dekat dengan dia nyatanya ....

'Nyatanya kamu bodoh, Ki. Jelas-jelas cinta Bagas untuk Ranti, jadi mana mungkin Bagas melakukan itu untukmu. Dasar bodoh!'

Benar. Azkia bodoh sekali berharap hal yang tak mungkin. Apalagi jika Bagas sudah menerima surat pemanggilan dari pengadilan agama. Ia pun menghela napas agar bongkahan nelangsa di hatinya hancur.

Astaga  Azkia merasa berat. Bahkan hingga detik ini, di lubuk hati terdalam Azkia, ia berharap Allah berbaik hati padanya dan mengirimkan keajaiban untuknya dan Bagas.

Ia pun menarik napas dalam-dalam, memandang langit gelap seraya mengerjap. Azkia tak ingin air matanya menetes dan membuatnya tampak lemah di depan Bagas, meskipun saat ini yang ia butuhkan memang menangis. Dadanya seolah penuh dengan tekanan, untuk bernapas saja sukar. Namun, Azkia tak bisa berbuat apa-apa. Ia tidak tahu bagaimana mengeluarkan desakan tersebut.

"Makanlah."

Azkia menatap piring berisi makanan di tangannya. Tatapannya beralih dari piring ke Bagas beberapa kali. Kapan pria itu mengambilnya? Pertanyaan itu buyar oleh aksi demo cacing-cacing di perutnya. Sekarang baru terasa laparnya karena ia belum sempat makan.

"Aku asal ngambilnya," ujar Bagas seraya mengunyah makanannya.

"Mas, lapar lagi?" sahut Azkia setelah sadar dari tertegun nya.

"Hmm."

Aneh, karena saat kumpul tadi Bagas selesai makan. Lalu sekarang ... apa memang perut laki-laki seperti itu, cepat lapar? Tapi kenapa Bagas tidak gemuk?

"Mas itu ... eum ... apa surat panggilan dari pengadilan sudah Mas terima?"

Suapan Bagas menggantung di udara. Geraman tanpa suara membuat otot-otot leher juga rahang Bagas terlihat. Genggamannya di sendok kuat seakan ingin mematahkan benda tersebut. Ia meletakkan piring di meja. Masakannya masih separuh tapi nafsu makannya langsung hilang. "Kenapa?" Ia melihat Azkia lekat.

Wanita yang malam ini menggunakan gamis maroon tersebut, menggigil. Nyalinya ciut. Kombinasi hijab warna gold membuatnya ayu. Namun, kilatan tajam mata Bagas—seperti ingin menebasnya—membuyarkan kecantikan Azkia.

"Aku ... aku harap, Mas ... itu emm apa nggak mempersulit prosesnya nanti." Akhirnya ia berhasil mengutarakan isi otaknya. "Biar cepet selesai," tambahnya.

Tanpa Azkia kira, Bagas melesat cepat ke hadapannya dan mencengkeram kuat dagunya. Ia meringis tapi tidak berkata apa-apa. Ia berharap pria itu tidak bertindak lebih dari ini.

Bagas ingin mengatakan sesuatu tapi ia urungkan, melepaskan cengkeramannya di dagu Azkia lalu pergi. Emosinya tersulut dan ia takut melakukan hal di luar kendalinya.

*****

Azkia duduk termangu di kursi tunggu depan klinik kebidanan—salah satu rumah sakit swasta ternama di jalan Hamid Rusdi—sambil mengusap perutnya.

Ya Allah, apa ini? Mengapa di saat seperti ini dia hadir?

Minggu kedua di bulan Desember Azkia menerima kenyataan jika dirinya hamil empat belas minggu, itu artinya ia sudah mengandung saat keluar dari rumah Bagas. Sungguh di luar prediksi Azkia. Dia kira masih berumur empat sampai lima minggu, sebab setelah berhubungan intim dengan Bagas di kos-nya bulan lalu ia baru sadar telat datang bulan.

Bagaimana bisa ia melupakan jadwal bulanannya? Sebenarnya kalau diingat-ingat, gejalanya sudah ia rasakan tapi ia pikir karena capek. Dua hari ini Azkia mual muntah dan memutuskan periksa. Awalnya ia periksa ke bidan dekat rumah atas saran induk semangnya, karena banyak yang cocok biarpun tidak ada hubungannya dengan kehamilan. Dari situ ia tahu jika dirinya berbadan dua dan memutuskan untuk periksa ke dokter kandungan sekaligus USG.

Pertanyaan selanjutnya, ia harus bagaimana? Haruskah menunda perpisahan mereka sampai ia melahirkan atau bertahan di sisi Bagas? Sanggupkah dia?

"Kia?"

Panggilan ragu-ragu itu membuat Azkia menoleh ke sumber suara. Ya ampun! Kenapa harus bertemu ibu mertuanya sekarang? Mau tak mau Azkia berdiri, menyalami Wulan kemudian mengajak duduk. "Bun, kok di sini? Bunda sakit?" tanyanya.

"Nggak. Itu jenguk anak tetangga habis lahiran. Kamu sendiri ngapain di sini? Wajah kamu pucat itu. Bagas itu gimana, sih, istri sakit malah dibiarin periksa sendiri. Kalo sampai kenapa-napa gimana," omel Wulan yang ditujukan pada Bagas. "Minta dijewer itu anak." Ia mengambil ponsel di tas.

"Bun, itu ...."

"Hallo. Gas, kamu di mana?"

"Lagi di luar, Bun, habis ketemu pelanggan. Kenapa?"

"Kamu itu gimana, istri sakit dibiarin periksa sendiri. Pucat banget ini wajah Kia. Kamu itu nggak perhatian banget. Bisa jemput, kan? Di  Lavallete. Bunda tunggu di loby. Telepon kalo udah di depan. Bunda tutup."

Wulan kemudian menoleh ke arah Azkia. "Ayo ke depan," ajaknya. "Kata dokter sakit apa, Nduk?" tanya Wulan saat mereka sudah duduk di kursi tunggu loby.

Azkia menggigit bibir, berpikir haruskah mengatakan yang sesungguhnya kepada ibu mertuanya. "Itu, Bun ...."

"Apa? Bukan sakit yang berbahaya, kan, Ki?" ujar Wulan tersekat dengan pandangan khawatir. Wanita yang hari ini menggunakan blus ungu menggeleng pelan. "Terus apa? Jangan bikin Bunda khawatir, Nduk."

"Kia hamil, Bun," ungkap Azkia sembari menatap paras Wulan.

Wulan tak mampu menyembunyikan rasa bahagianya mendengar berita bahagia yang sudah ia nantikan sejak lama. "Beneran? Ya ampun Bunda seneng banget, Kia. Selamat, ya, Sayang." Wulan menarik Azkia masuk ke pelukannya. Mengucap kata syukur berulang kali. "Bunda seneng banget."

"Iya, Bun."

Tbc.

Baca cepat di Karyakarsa. Link ada di bio.







Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top