Bolehkah Azkia Berharap?
Hulaaa. Bagas kambek. Jangan pernah bosen ya nungguin mereka update 😁. Selamat membaca ❤️❤️
****
Azkia menutup wajahnya dengan tangan. Ia malu saat teringat tingkahnya dua hari lalu, di mana ia berlaku seperti wanita binal di hadapan Bagas. Entah apa penyebabnya, tak biasanya ia berani menggoda Bagas sampai pria itu lepas kendali. Selama ini jangankan menggoda, menatap terang-terangan saja Azkia tak punya nyali tapi kemarin itu ... astaghfirullah, sungguh memalukan.
Setahu Azkia, memang tidak ada salahnya seorang istri menjadi berbeda di depan suaminya tapi tidak dalam kasusnya. Bagas tak memiliki perasaan apa-apa. Pria itu hanya butuh tubuhnya untuk menyalurkan hasratnya, jadi tidak seharusnya Azkia bertindak liar.
"Ngelamun aja. Mikirin apa?" Diah duduk di samping Azkia saat istirahat siang berlangsung.
Wanita itu menggeleng. "Nggak mikirin apa-apa, sih."
"Tapi?" sambar Diah cepat. Dia tahu betul kebiasaan Azkia yang bersahabat dengan 'tapi'.
"Rasanya beda aja sekarang hubungan kami." Kerutan di dahi Diah membuat Azkia mencari penjabaran yang pas dan dipahami oleh dia. "Apa ya, Di. Duh, gimana sih jelasinnya. Eum, gini lho. Aku tuh kok ngerasa hubungan kami lebih dekat habis pisah gini, ya? Eum ... emang bukan deket yang gimana-gimana tapi beda aja. Paham nggak maksud aku?" tanyanya. "Kayak dia itu ada aja alasan buat nyamperin. Nggak maksud GR juga, cuma gimana sih."
Kawannya itu menyahut cepat. "Iya aku paham. Intinya hubungan kalian nggak kayak kemarin, kan? Kalian lebih enak ngobrol gitu, kan?" terang Diah. Wanita berhijab itu mengangguk. "Ya bagus gitu. Kebanyakan kalo udah pisah baru nyadar kalo mereka penting." Diah melanjutkan menyuap nasinya.
Benarkah seperti itu? Benarkah Bagas merasa kehilangan dirinya? Senyum Azkia pun tersungging, hatinya menghangat menyetujui ucapan Diah. Namun, bahagia itu tak berlangsung lama ketika satu pikiran melintas begitu saja. "Tapi, Di ...."
Diah berdecak. "Aku tuh paling kesel kamu kayak gitu. Kamu itu kakean tapi iku lho, makane akeh bimbange (kebanyakan tapi jadinya banyak bimbang ya). Apalagi?" Kesal sekali Diah dengan temannya ini. Tapi tapi dan tapi terus, lama-lama otak Azkia dia cuci biar bersih.
"Soalnya aku nggak mau salah artiin sikap dia. Bisa aja kan kami lebih enak ngobrol gitu karena bentuk makasih dia sama aku. Kan aku minta pisah dan nyuruh Mas Bagas balikan sama Mbak Ranti," ujar Azkia mengeluarkan ganjalan hatinya. Bisa saja, kan? Karena itu dia segera menghancurkan harapan yang terbesit tadi.
Diah melihat Azkia seraya menopang dagu. "Menurutmu dia pria yang kayak gitu?"
Pertanyaan Diah membungkam Azkia. Beberapa bulan bersama ia sedikit mengerti bagaimana Bagas. "Nggak, sih ...,"jawabnya ragu.
"Terus?"
"Masa iya Mas Bagas ada something gitu sama aku?" gumamnya. "Kayak nggak mungkin banget, deh." lanjutnya seraya menatap Diah. "Aku nggak mau ke-gr-an takutnya kecewa lagi."
Wanita berkulit langsat itu mengangguk. Mungkin dengan berpikiran seperti itu Azkia membentengi dirinya dari kecewa yang lebih dalam lagi. Mungkin temannya itu tak ingin terlalu terluka hatinya walaupun saat ini sudah luka. "Wajar, sih, kamu kayak gitu. Mungkin aku juga bakal gitu kalo di posisimu. Tapi inget, Ki, semua jadi mungkin kalo Allah udah berkehendak. Jadi nggak usah kaget kalo nanti suamimu kayak gimana sama kamu. Ya mungkin Allah lagi ngetuk hatinya biar terima kamu." Ia menepuk pelan tangan Azkia di meja. "Terus minta yang terbaik aja. Kekuatan doa seorang istri insyaallah pasti diijabah."
Azkia terdiam. Bolehkah ia berharap jika Bagas sudah mencintai dia? Beranikah ia berharap kalau pria itu tak menginginkan perpisahan ini dan dia tengah berupaya memperbaikinya? Ya Allah, andai boleh jujur ia tidak ingin perpisahan itu terjadi. Ia ingin menghabiskan hidupnya bersama Bagas.
****
"Mbak."
Ketukan di pintu kamarnya—saat ini ia menginap di rumah ibunya—membuat matanya terbuka. "Iya, Fiz," sahutnya sedikit berteriak.
"Mas Bagas di depan."
Mata Azkia membesar. Bagas di sini? Ia tak salah dengar, kan? Pasti Hafiz mengerjainya tapi ... secepat kilat ia menyambar hijab instan di meja lalu memakainya. Memacu langkahnya segera ke ruang tamu ... benar saja, pria itu sedang bercengkrama dengan ibunya. Suara Bagas merasuki pendengarannya, membuat jantung Azkia kebat-kebit. Hatinya seketika bersorak kegirangan. Bagas menyusulnya tanpa diminta. Mimpi apa ia semalam? pikirnya.
Azkia memejamkan mata, menyentuh dadanya lalu menghela napas untuk menenangkan gemuruh dadanya yang kesenangan. Ia kembali menarik napas seraya menghampiri dua orang terpenting dalam hidupnya. Tolong tenanglah, pinta Azkia pada jantungnya yang berdegup cepat. Ia takut organ itu jebol karena terlalu kencang berdetak.
"Bu."
Aminah menoleh. "Lho, kopi buat Bagas mana?" tanyanya sewaktu melihat Azkia tidak membawa apa-apa.
"Kopi apa, Bu?" Kali ini Azkia yang melempar pertanyaan kepada ibunya.
"Ya kopi buat suamimu to. Tadi Ibu nyuruh Hafiz kasih tahu kamu sekalian bikin kopi buat Bagas. Adikmu nggak bilang, to?" Azkia menggeleng. Aminah berdiri. "Loalah, yok opo seh bocah kui. Yo wes Ibu buatno, ya."
"Ndak usah, Bu, nanti saja," tolak Bagas tak enak hati.
Wanita setengah abad itu mengangguk. "Ya wes Ibu ke warung dulu, ya. Mau lihat barang yang habis."
"Inggih, Bu," jawab keduanya bersamaan.
"Kok tahu aku di sini?" tanya Azkia usai ibunya pergi. Ia duduk di kursi seberang Bagas. Pria itu tampak letih, mungkin dari toko langsung ke sini.
Bagas membuka kancing manset lalu menggulung lengan kemejanya sampai siku sebelum menjawab pertanyaan Azkia. "Tadi ke tempatmu. Kata temanmu kamu ke sini." Tatapan Bagas lekat di wajah wanita itu sampai-sampai Azkia menunduk.
"Maaf, Mas, aku nggak izin." Azkia memilih jarinya sedikit keras. "Aku pikir nggak perlu kasih tahu kamu, soalnya pesanku nggak pernah Mas balas."
"Nggak balas bukan berarti aku nggak peduli, Ki."
Sontak kepala Azkia terangkat dan memandang Bagas saat menangkap kemarahan dalam suara suaminya. Kenapa dia kesal? Bukankah ucapan Azkia betul? Tapi setelah dipikir-pikir kata-kata Bagas benar. Pesannya memang hanya dibaca tapi tak lama pria itu menghampirinya. "Maaf, Mas." Ia kembali menunduk tapi sebentar kemudian ia kembali menatap Bagas. "Sudah makan?"
"Belum."
"Aku siapin, ya? Mau makan apa mandi dulu?" tawarnya. Namun, ia teringat tak ada baju Bagas di rumah ini. "Nanti bajunya aku pinjamkan Hafiz. Kayaknya ukurannya sama."
"Nggak usah, di mobil ada." Kemudian Bagas beranjak keluar rumah.
Wanita itu segera ke dapur merebus air untuk mandi Bagas. Dasternya yang panjang sedikit memperlambat gerakannya. Ia hampir tersandung saking terburu-burunya.
"Nggak usah buru-buru, Ki."
Azkia menoleh, ternyata pria itu sudah di belakangnya. Ia pun mengangguk. "Aku buatin kopi sama siapin makannya sambil nunggu airnya panas, ya?"
Bagas mengiakan saja usulan Azkia. Ia lelah dan ingin segera istirahat. Hari ini dia harus melakukan pengecekan dibeberapa toko milik keluarganya kemudian kemari. Padahal tadinya ia berniat menginap di tempat Azkia.
Pandangan Azkia tak lepas dari Bagas yang lahap mengunyah masakan buatannya. Senyumnya pun tercipta dan ekspresi bahagia terpancar dari wanita itu. Ya Tuhan, bolehkah ia berharap memiliki pria di depannya ini? Bolehkah Azkia berharap cinta untuknya tumbuh di hati Bagas?
"Kamu nggak makan?"
Wanita itu menggeleng. "Lagi nggak pengin. Nggak tahu kenapa udah hampir seminggu kayak gitu."
Bagas menarik perhatiannya dari nasinya. Mengamati saksama wajah Azkia. Perasaannya saja atau memang benar dia tampak pucat. "Kamu sakit?"
"Nggak. Cuma nggak tahu kenapa lihat makanan kayak eneg gitu. Nasinya mau nambah?" Bagas mengiakan. Ia menambah satu centong penuh nasi ke piring Bagas begitu pula cah sawi hijau dan telur dadar. Untuk sambal biasanya Bagas mengambil sendiri.
"Dipaksa, Ki, jangan dituruti. Minum vitamin juga, cuaca lagi nggak bagus."
"Iya, Mas," sahutnya. Hati Azkia pun menghangat mendapat perhatian kecil dari suaminya. Mungkinkah Tuhan mengabulkan doa agar meluluhkan hati Bagas untuknya.
Tbc.
Seperti biasa wkwkw yang mau baca sampai tamat bisa ke Karyakarsa. Link ada di bio ya bebeb. Makasih 😘😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top