Berhenti Berharap
Holaaa!
💔💔💔
Sore itu, angin berembus membawa sisa-sisa hujan siang tadi. Awan pun mulai berarak pergi menyisakan semburat merah berceceran mewarnai biru. Namun, wanita berhijab itu bertahan di tempatnya—sofa depan jendela di kamar tidur Azkia seminggu ini. Hawa dingin tak ia rasakan, seakan kulitnya setebal badak. Ia tak terusik sama sekali dan tengah berpikir, mencerna semua pembicaraan dirinya dan Ranti siang tadi.
Kedatangan wanita ayu—rambut hitam bergelombang, hidung bangir seperti turunan tajam, alis tebal membingkai matanya yang belok. Dia begitu sempurna—cukup mengejutkan Azkia. Perempuan yang sempat menjadi ratu di hati Bagas tersebut membuat jantungnya berdenyut kencang seakan dipompa kuat-kuat dan cepat.
Tak hanya itu, lidahnya kelu seolah membeku karena siraman air es. Ia juga gemetar dan otaknya berpikir keras mengenai kedatangan dia. Azkia takut. Takut apa yang akan diucapkan oleh kekasih Bagas itu melukai dirinya. Takut kali ini benar-benar kehilangan pria itu, tapi ... sudah seharusnya bukan? Bukankah ia juga menginginkan perpisahan setelah melahirkan nanti? Benar. Namun, membayangkannya saja sudah membuatnya mual, nelangsa. Ia sejujurnya tak sanggup tapi terdesak oleh keadaan.
Ia ingin Bagas selalu di sisinya tapi di sisi lain nuraninya menentang keinginan itu. Ia tak bisa dan tak sanggup harus membuat pria itu bertahan dalam kesakitan, sebab ia tahu bagaimana rasanya. Dan cukup melelahkan hidup penuh ketidakpastian.
Di tengah lamunan, Azkia merasakan kehangatan. Tatapannya jatuh pada selimut halus yang membungkus dirinya. Jarinya bergerak membelai kain lembut itu. Ia mendongak dan bertemu pandang dengan Bagas. Pria itu tengah mengamati dirinya lamat-lamat sebelum mencecahkan kecupan di keningnya. Dalam hitungan detik binar mata Azkia sendu mengingat obrolannya dengan Ranti.
Benarkah Bagas mencintainya sebagaimana yang dikatakan Ranti? Tapi kenapa pria itu tak mengatakan perasaannya? Ah, ia lupa. Ranti bercerita kalau Bagas bukan orang yang mudah mengobral kata cinta. Pria itu lebih suka membuktikan melalui tindakan. Namun, tetap saja dirinya butuh pernyataan agar tak salah mengartikan sikap pria itu.
Jika dipikir-pikir, Bagas memang banyak berubah. Dia lebih banyak memberi perhatian padanya. Selalu di sisinya saat diperlukan terlebih setelah dirinya hamil. Namun, apakah itu cukup buatnya? Belum. Ia ingin mendengar pria itu mengatakan cinta padanya.
Usai menutup jendela kamar, Bagas duduk di sisi Azkia. Memperhatikan penampilan istrinya. Wanita itu murung. Sedih seperti orang kehilangan benda berharganya. Seakan kehilangan separuhnya nyawanya. Sama halnya dirinya kehilangan senyuman Azkia.
Seminggu ini hari-hari Bagas sepi, membosankan, dan hampa. Ia rindu akan tawanya, celotehnya, juga tatapan memuja wanita itu. Bagas ingin semua itu kembali tapi bingung bagaimana caranya. Berbicara dengan Ranti tidak juga membuatnya lega malah sakit kepala. Ia ingat betul ucapan Ranti beberapa waktu lalu saat Bagas bercerita soal Azkia.
"Mas, harus bilang kalo Mas cinta dia. Dia nggak bakal tahu kalo Mas nggak bilang. Perempuan itu nggak cuma butuh bukti atau tindakan, tapi juga butuh pengakuan. Jadi Kia nggak mikir kalo Mas perhatian gara-gara dia hamil."
"Ck. Apa masih kurang jelas dari sikapku?"
"Kuranglah. Apalagi dari awal yang dia tahu, Mas, nggak cinta dia."
Saat itu Bagas langsung pusing. "Kamu tahu sendiri aku gimana, Ran."
"Ya kan dia nggak tahu, Mas. Kia masuk di hidupmu juga baru, butuh waktu ngertiin kamu. Beda sama aku yang udah kenal dari kecil. Apalagi, Mas, irit banget kalo ngomong bikin orang salah paham. Kalo bisa diubah, Mas, biarpun dikit. Nggak ada salah cerita sama dia. Bilang apa yang kamu mau. Dengan gitu Kia ngerasa dianggap."
Haruskah ia mengikuti saran Ranti? Aneh sekali rasanya. Ia tak terbiasa bermanis-manis pada wanita tapi jika ... akhirnya Bagas memilih menghela napas dalam-dalam. "Ada apa?" tanyanya seraya menghadap Azkia. Netranya menajam menyelami gelapnya netra Azkia. Jelas tersirat kepedihan di sana dan itu karenanya, bukan? Seakan ingin menyalurkan semangat untuk Azkia, ia meraih jari-jari Azkia yang terjalin ke dalam genggaman tangannya. "Ada apa?" ulangnya.
Dia menatap tangan mereka. Telapak tangan Bagas membenamkan jari-jarinya dalam kehangatan yang ia rindukan. Ya, ia rindu padanya meskipun mereka tinggal satu atap. Perang dingin yang Azkia kibarkan ternyata menyiksa dirinya sendiri. Amat berat untuk bersikap tak acuh pada pria tersebut.
"Kenapa?" Bagas kembali bertanya tatkala Azkia bergeming. Apa mungkin ada sesuatu yang ia tak tahu? "Ki."
Wanita berwajah kalem itu menarik tatapannya dari jalinan tangan mereka. Ia memaku pandangan pada Bagas. Pria itu fokus padanya, menanti jawaban darinya. Haruskah ia bercerita? Rasanya sukar untuk dipercaya.
"Ki."
Azkia menarik napas panjang sebelum akhirnya menjawab Bagas. "Tadi Mbak Ranti ke sini," ujarnya terus terang. Percuma berbohong toh Ranti pasti akan memberitahu dia. Azkia juga menangkap ekspresi terkejut dari pria berpotongan cepak tersebut.
"Dia bilang?" Kenapa Ranti tidak bilang kalau dia menemui Azkia?
"Mbak Ranti bilang bilang kalo kalian nggak ada hubungan apa pun. Benar-benar sebagai saudara dan teman," tuturnya. "Aku kaget waktu dia datang. Tumben dia kemari eum ... maksudku kalo dia nyariin, Mas, jelas bukan di sini tempatnya apalagi di jam kerja." Iya, bukan hanya sekedar kaget tapi Azkia juga penasaran dan menebak-nebak tujuannya.
"Hanya itu?"
Wanita itu menggeleng. Menarik tangannya dari genggaman Bagas. Ia memandang keluar jendela yang kini gelap. "Banyak tapi ... aku nggak tahu harus percaya atau gimana," akunya jujur. Informasi Ranti soal perasaan Bagas untuknya terlalu mendadak dan membuatnya bingung. Ia tidak ingin terlalu cepat meyakini omongan Ranti.
"Mas tahu apa yang dibilang Mbak Ranti tadi?" Azkia menoleh ke arah Bagas. Mematri tatapannya pada pria yang berhasil membuatnya lemah karena cinta. "Mbak Ranti bilang kalo ... Mas cinta aku." Netranya menelisik wajah Bagas, mencari reaksi akan ucapannya. Tapi rupanya ia harus kecewa sebab tak mendapati apa pun dari paras suaminya. Ia tersenyum sumbang. Bodohnya Azkia. "Itu benar, Mas? Mbak Ranti nggak bohong? Mbak Ranti nggak lagi nge-prank aku, kan?" Ia berdoa Bagas membenarkan kata-katanya. Namun, pria itu bergeming. Kediaman Bagas memunculkan getir kecewa menganga di hatinya, sakit bagai dihunjam belati tajam.
Ia membuang pandangan ke arah lain. kelopaknya bergerak naik turun menghalau cairan bening yang akan luruh. Azkia juga mengembuskan napas kuat-kuat memecah bongkahan lara di dada. Ya Tuhan, kenapa rasanya lebih perih saat ini? Apa karena ia terbuai asa tinggi hingga lupa itu semua fatamorgana?
"Mas, tahu?" Azkia menatap Bagas dengan senyuman kecil. "Tadinya aku sempat tergoda untuk percaya omongan Mbak Ranti tapi ... melihat, Mas, sekarang ini rasanya sangat mustahil. Ya aku sadar sampai kapan pun hati dan cintamu cuma buat dia. Dapat perhatian, Mas, saja aku udah bersyukur banget. Seenggaknya aku pernah disayang. Bayi ini juga merasakan kasih sayang ayahnya di luar apa pun yang mungkin terjadi."
Ia terdengar seperti mengasihani diri sendiri, itu lebih baik daripada dikasihani oleh orang lain. "Aku juga berpikir, mungkin ini saat yang tepat untuk berhenti mengharapkan dirimu. Berhenti mencintaimu yang membuatku sakit juga bodoh. Tapi, Mas, nggak usah ngerasa bersalah sebab dari awal kamu sudah bilang kalo cuma Mbak Ranti yang, Mas, cinta. Akunya aja yang ngeyel."
Usai mengeluarkan semua ganjalan di hati, Azkia berdiri dari duduknya meninggal Bagas dengan tatapan terarah padanya. Ini lebih baik daripada terus menerus menyimpan sakit, batin Azkia.
Tbc.
Du Du Du kek mana Pak balok es? Yakin nggak mau bilang? Orangnya udah nyerah lho. Awas ditikung yg lain lho 🤭🤭
Yang mau baca cepat, cus ke Karyakarsa. Bisa masuk lewat link di bio-ku ya. Makasih banyak ❤️
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top