9

Aluna seketika ternganga saat tangan Bayu membawanya memasuki sebuah ruangan yang ternyata sudah terisi beberapa orang yang tak ia kenal.

Aluna mengembuskan napas lega. Lega karena ia bukan diajak ngamar seperti yang ada dalam pikiran absurdnya. Lega karena sepertinya ia juga tak perlu mengeluarkan seperser uang pun untuk mentraktir pria di sebelahnya yang tampak terkekeh geli melihat wajah bloon Aluna yang kaget saat melihat apa yang tersaji di depannya.

"Gimana, Lun. Masih pengen ngamar? Mumpung masih di sini?" bisik Bayu tanpa menghilangkan raut jahil di wajahnya. Aluna seketika memanas. Wajahnya merah menahan malu. Dan yang lebih parah, Bayu sepertinya menyadari apa yang dirasakan Aluna.

"Sudah nggak usah dipikirin. Yuk, ah. Udah ditunggu tuh," tunjuk Bayu pada orang-orang di hadapan mereka.

Aluna mengekor di belakang Bayu. Pria itu pun memperkenalkan Aluna pada teman-temannya. Dari apa yang ia dengar, salah satu teman Bayu sedang merayakan ulang tahun.

Bukan pesta yang penuh hiruk pikuk disertai musik yang memekakkan telinga. Namun, lebih cenderung pesta sederhana yang dipenuhi suasana akrab dan hangat. Beberapa anak-anak tampak berlarian di sana. Mungkin mereka adalah anak teman-teman Bayu.

Makanan yang tersaji juga benar-benar luar biasa. Lidah dan perut Aluna benar-benar dimanjakan. Bayu memang segera mengajak Aluna menikmati hidangan setelah memberikan ucapan selamat kepada sang tuan rumah. Sepasang suami istri yang sudah mempunyai seorang bayi berusia tujuh bulan. Dimas, sang suami adalah teman Bayu. Pria itu adalah teman Bayu saat mereka masih berseragam putih abu-abu. Sedangkan istrinya, Kinanti adalah adik kelas mereka.

Aluna sempat mencoba menggendong bayi menggemaskan pasangan orang tua muda itu. Ia dan Bayu bahkan menyempatkan diri mengambil foto-foto mereka saat menggendong baby Cantika.

Duh jika melihat hasil jepretan di kameranya. Aluna dan Bayu sepertinya sudah cocok menjadi pasangan mama dan papa baru. Aluna terkikik sendiri membayangkan khayalannya yang kembali melantur.

***
Saat jam sudah menunjukkan angka sembilan, Aluna dan Bayu pun berpamitan pulang. Namun, mereka ternyata tak langsung kembali ke rumah.

"Lun, besok pagi kamu masuk, kan?" tanya Bayu mengusir hening. Sejak masuk mobil mereka memang sibuk dengan pikiran masing-masing.

"Iya. Kenapa emang?" Aluna menolehkan kepalanya ke samping menatap Bayu yang berkonsentrasi pada jalanan di depannya.

"Kamu keberatan nggak kalau kita pulang lebih malam?" Aluna terdiam sejenak mencoba mempertimbangkan.

"Emang mau kemana, Mas?"

"Yah, mungkin hanya sekadar menghabiskan malam sambil melihat bintang," jawab Bayu sambil mengulum senyum.

Yah, terdengar cukup menarik. Selama ini Aluna belum pernah menghabiskan malam dengan seorang pria apalagi sambil melihat bintang. Selama di kota ini Aluna memang belum pernah melihat bintang. Cahaya lampu jalanan yang terang juga kota yang gemerlap membuat bintang di atas sana tak sekalipun terlihat.

Mungkin keberuntungan jika aliran listrik di area komplek perumahannya kebetulan mati ia bisa melihat langit yang gelap dan bintang yang tampak bertaburan di atas sana. Itupun hanya sesekali.

Namun, satu lagi yang mengganjal di hati Aluna. Saat dulu ia masih tinggal dengan kedua orang tuanya, pukul sepuluh adalah batas maksimal ia di luar rumah. Itu pun hanya pada akhir pekan. Selain akhir pekan, ia diharuskan pulang sebelum pukul sembilan malam. Kebiasaan itu tak berubah hingga ia tinggal sendiri di kota ini. Yah, dengan beberapa pengecualian tentu saja. Seperti beberapa hari yang lalu saat ia keluar makan malam dan nonton dengan Satria.

Satria? Ya ampun... Kenapa Aluna baru ingat. Bukankah ia sedang melakukan pendekatan pada pria tampan itu. Kenapa sekarang Aluna malah keluar dengan Bayu?

Tapi... Aluna kan hanya keluar makan malam karena ingin membalas kebaikan Bayu. Tidak ada niat tebar pesona, pedekate ataupun keinginan menjerat pria yang juga tak kalah tampan dari Satria di sebelahnya ini.

Eh? Bener gak sih? Aluna jadi bingung dengan keinginannya sendiri. Terlalu lama menjomlo membuatnya seketika meraih kesempatan yang ada di depan mata.

"Lihat bintangnya di mana emang? Di sini kan juga bisa lihat bintang." Benar kan ucapan Aluna?

Bintang bisa dilihat di belahan bumi mana pun selama hari belum berganti terang. Atau setidaknya mereka bisa mencari tempat yang tidak terlalu terang.

Bayu tampak mengembuskan napasnya, mencoba memahami ucapan gadis di sampingnya itu.

"Lihat bintangnya di kaki gunung, Lun. Sambil ditemani minuman hangat dan mungkin juga jagung bakar yang beraroma menggiurkan. Di sana udaranya juga lebih segar dan bersih tanpa adanya hiruk pikuk kendaraan. Dan yang pasti tidak panas seperti di sini. Aku jamin kamu pasti suka."

Aluna seketika melebarkan matanya.

Kalau keinginan Bayu seperti yang baru saja ia ucapkan berarti kan mereka harus keluar kota. Setidaknya mereka butuh waktu tak kurang dari satu jam setengah untuk sampai di sana. Jika sekarang sudah pukul sembilan lewat lima belas menit, lalu akan sampai jam berapa mereka di lokasi? Pasti di sana mereka tak akan segera pulang. Dan bisa jadi Aluna sampai kembali ke rumahnya dini hari atau bahkan subuh.

Oh No! Jelas Aluna tak akan mau melakukan itu. Besok ia harus masuk sekolah pagi hari seperti biasa. Ia tak mau datang terlambat dan berurusan dengan pak Sasongko lagi. Ia juga masih cukup waras untuk tak ikut pria yang baru dikenalnya di sebelahnya ini. Ia masih belum mengenal Bayu dengan baik. Belum tentu pria ini adalah pria baik-baik. Kalau terjadi sesuatu yang buruk pada diri Aluna, siapa yang akan bertanggung jawab?

Terlalu banyak berita kriminal yang Aluna lihat di televisi setiap hari. Seorang wanita yang dimutilasi kekasihnya, gadis yang diperkosa pria yang baru dikenalnya melalui sosial media, hingga pembunuhan yang bertujuan untuk mengambil barang berharga milik korban. Eww... Aluna tentu saja tidak mau menjadi salah satu korban dalam kasus itu.

Ia masih ingin hidup bahagia, masih ingin mendapatkan kesuksesan tanpa campur tangan orang tuanya. Masih ingin menikah dan mengasuh anak-anaknya. Oke, lupakan kalimat terakhir. Jangankan menikah dan punya anak. Pacar saja Aluna tak punya. Ini juga masih tahap pendekatan dengan si abang Satria.

"Gimana, Lun? Sepuluh menit lagi kita mau masuk tol nih." Bayu kembali mengulang pertanyaannya membuat Aluna seketika menghentikan monolog di kepalanya.

"Emm... Jangan sekarang, Mas. Lain kali aja. Sudah terlalu malam. Besok aku harus kerja. Mas Bayu pasti juga gitu, kan? Kapan-kapan aja ya." Aluna mengambil jalan tengah. Jujur ia juga ingin mengiyakan ajakan Bayu, tetapi hal itu terlalu beresiko. Aluna memang ceroboh, tapi setidaknya ia sudah berusaha mengurangi kecerobohannya kali ini.

Setidaknya jika Aluna mengatakan 'lain kali' berarti Aluna masih punya kesempatan untuk mengenal Bayu lebih dekat lagi. Bayu bukanlah Satria. Jika bersama Satria, Aluna tak perlu merasa waspada. Ia sudah sangat mengenal Satria. Pria yang Aluna tahu berhati baik luar biasa selama dua tahun mengenalnya.

"Kamu yakin?" Sekilas Bayu memandang Aluna.

"Iya, Mas. Lain kali saja," jawab Aluna sambil menyunggingkan senyum. Bayu seketika mengangguk-anggukkan kepala tanda mengerti dengan apa yang baru saja didengarnya.

"Baiklah, tidak masalah. Pasti kamu masih perlu mengenal aku lebih jauh lagi, kan? Semoga kamu tidak keberatan jika lain kali aku ajak keluar seperti sekarang."

Aluna tentu segera merespons. Dan jawabannya adalah ia dengan senang hati akan menerima ajakan Bayu kapanpun itu asalkan ia sedang tidak mempunyai kegiatan.

Kali ini keputusan Aluna sudah benar kan?

###

Cerita ini juga bisa diakses di google play store dan gramedia digital. Versi cetak bisa dipesan di shopee official grassmedia.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top