7

Versi lengkap dan sdh direvisi tersedia di playstore dan gramedia digital. Versi cetak bisa dipesan di shopee official grassmedia.

###

Setelah membersihkan diri di kamar mandi, Aluna segera menuju meja makan. Perutnya sudah meraung-raung sedari tadi minta diisi. Sebenarnya ia bisa menikmati makan siangnya itu terlebih dahulu. Namun, ia tak biasa melakukannya. Setelah makan ia terbiasa bermalas-malasan akibat kekenyangan. Lagi pula dengan mandi terlebih dahulu membuat Aluna merasa jika semua penat tubuh dan jiwanya ikut hanyut tersiram air. Ya, seabsurd itulah Aluna. 

Menu makan siangnya kali ini cukup sederhana. Semangkuk bakso berukuran jumbo lengkap dengan lontong yang ia beli sebelum masuk komplek perumahannya. Aluna tak pernah takut jika tubuhnya akan menggembung tiba-tiba. Setiap hari pekerjaannya menyita tenaga. Jika tidak diberi asupan makanan dalam jumlah yang lebih banyak ia takut akan tumbang begitu jam pelajaran masih belum berakhir. Pasti akan terlihat menggelikan jika sampai ia pingsan di kelas dan dibopong anak didiknya akibat kelaparan. Jangan sampai hal itu terjadi. Apalagi jika sampai pingsan di kelas si Ajib. Siswa bertubuh tambun yang luar biasa usil yang selalu membuat Aluna mati kutu. Ewww.... Tidaakkk....

Kalau pingsan dan dibopong si abang sih tak masalah seperti beberapa waktu yang lalu saat upacara bendera, Aluna perlu mempertimbangkan itu. Oke, fix Aluna ternyata semakin melantur.

Mungkin ia perlu desinfektan untuk mensterilkan otaknya yang semakin banyak dihuni kuman. Atau juga ia perlu menscan otaknya dengan anti virus berbayar, bukan anti virus yang bisa ia unduh gratisan.

Begitu Aluna menandaskan makan siang yang sudah sangat terlambat itu, ia baru ingat jika ia harus menghubungi seseorang. Sang penolongnya tadi pagi yang ternyata tak hanya membantunya membawa si pinky tapi juga membantu Aluna mensejahterakan isi dompetnya.

Aluna tahu diri, ia harus berterima kasih kepada pria baik hati itu. Maka segera diraihnya ponsel yang tergeletak tak jauh dari mangkuk baksonya yang telah tandas itu. Setelah menemukan kontak pria itu, ia pun segera menghubunginya.

"Halo, Aluna?" Sapaan hangat seketika terdengar di telinga Aluna beberapa saat setelah panggilannya terhubung.

"Emm... Mas Bayu sibuk nggak? Maaf ganggu." Aluna memulai percakapannya dengan ramah.

"Nggak. Nih udah hampir jam pulang kantor." Aluna mengembuskan nafas lega sambil tersenyum lebar.

"Makasih banyak atas bantuannya tadi pagi ya."

"Kamu sudah berulang kali mengucapkannya, Lun." Pria di seberang sana tampak terkekeh geli.

"Mas Bayu bukan cuma bantuin aku bawa motorku ke bengkel. Tapi juga bayarin biaya servisnya. Rumah Mas di mana? Biar aku bisa ganti biaya servis motorku atau kirim nomer rekening aja biar aku bisa transfer." Aluna tidak benar-benar berniat melakukan itu. Namun, jika ia langsung menerima kebaikan pria itu, ia akan terlihat gampangan. Ia baru tadi pagi kenal dengan Bayu. Tak mungkin ia menerima bantuan dari pria itu berkali-kali. Apalagi dalam bentuk uang seperti membayar biaya servis motor Aluna.

"Santai aja kali, Lun. Cuma uang segitu doang."

"Meskipun jumlahnya nggak banyak, tetap aja kan aku tambah ngerepotin Mas Bayu." Aluna menggembungkan pipinya. Dasar beruang, seenaknya saja menghamburkan uang untuk orang asing.

"Aku nggak repot kok, Lun. Aku senang aja melakukannya."

"Terus gimana dong aku balas budinya? Aku nggak mau punya hutang budi sama orang." Aluna ingin sekali memukul mulutnya. Ia heran dengan mulutnya sendiri. Kenapa tidak langsung diam, tutup mulut saja saat menerima kebaikan pria yang sedang berbicara dengannya itu. Mengembalikan atau membalas kebaikan pria itu pasti ada angkanya. Dan ia masih sayang dengan isi dompetnya.

"Emm... Gimana kalau makan malam bareng?"

Otak Aluna segera mengkalkulasi dengan cepat. Ia bisa mentraktir pria itu di kafe yang tak membutuhkan budget yang membuatnya harus merogoh sakunya terlalu dalam.

"Okey. Makan malam kedengarannya menyenangkan. Kapan?" Aluna balik bertanya.

"Malam ini gimana? Kamu nggak ada acara, kan?" balas Bayu. Aluna terdiam sejenak kemudian mengiyakan.

"Baiklah. Jam tujuh aku jemput kamu. Tolong kirim alamat rumah kamu, ya."

Aluna pun mengiyakan dan setelah itu tak lama kemudian ia mengakhiri panggilan.

Dilihatnya jam di ponselnya sebelum meletakkan benda persegi itu ke atas meja di hadapannya. Pukul tiga lebih tiga puluh menit. Sepertinya masih memungkinkan jika ia menghabiskan waktu sekitar satu jam untuk tidur siang, ups... Bukan tidur siang lagi, tapi sore.

Ia tak peduli jika baru saja makan siang penuh lemak dari bakso yang ia lahap. Masa bodoh, setelah makan ia memang terbiasa bermalas-malasan bahkan sampai tertidur. Ia butuh merecharge energinya. Perpaduan antara makan siang dan tidur siang benar-benar sempurna. Kekhawatiran akan kegemukan tak pernah terlintas di otaknya. Tubuh dan lidah Aluna sepertinya benar-benar kompak dan pengertian. Sebanyak apapun Aluna menelan makanan lezat yang disukai lidahnya, tak sedikit pun membuat berat badannya naik. Ya, Aluna patut bersyukur atas hal itu.

Akhirnya setelah mencuci mangkuk bekas makannya, Aluna pun bergerak ke kamarnya, menikmati kasur empuk sambil bergelung dalam selimut merasakan sejuknya pendingin ruangan di kamarnya. Duh, dalam beberapa menit saja Aluna sudah tak mampu membuka matanya. Ia pun terbuai dalam mimpi yang menjemputnya.

***
Tergesa-gesa Aluna mengambil handuk kemudian berlari ke kamar mandi. Ia hampir saja terlambat. Efek perut kenyang, kelelahan, juga kamar yang nyaman membuat Aluna tak hanya menghabiskan waktu satu jam saja untuk tidur siangnya. Ia terbangun saat hari sudah berganti petang. Bahkan ia terbangun dalam kegelapan karena tak menyalakan lampu kamar sebelumnya. Begitu terjaga ia segera bergerak menyalakan lampu di seluruh rumah. Ia tak mau rumahnya terlihat seperti rumah hantu di film animasi Monster House yang sering ia tonton. Apalagi jika rumahnya berubah menjadi monster yang menelan siapa saja yang mendekatinya. Eww... Sadar Luna. Buang khayalanmu segera jika tidak ingin terlambat. Aluna segera menepis pikiran gilanya dan memulai ritual mandi kilatnya.

Lima belas menit kemudian Aluna keluar kamar mandi dengan tubuh yang sudah segar. Ia segera menuju lemari penyimpanan bajunya. Ia tadi belum menyiapkan baju apa yang hendak ia pakai. Duh, pasti butuh banyak waktu untuk memilih. Aluna berdecak sebal pada dirinya sendiri.

Setelah memilah-milah baju mana yang akan ia pakai akhirnya ia menjatuhkan pilihannya pada sehelai dress santai namun terkesan elegan berwarna pastel. Aluna ingat baju itu berharga cukup mahal yang ia beli beberapa tahun lalu saat ia masih tidak semiskin sekarang. Baju yang berharga berkali-kali lipat jumlah gajinya saat ini.

Dulu ia tak perlu memikirkan berapa jumlah uang yang ia keluarkan untuk hanya sekedar membeli sehelai baju atau juga tas. Ia juga bebas membelanjakan uangnya untuk membeli benda apapun yang ada di depan matanya.

Ya, dulu. Semuanya hanya kenangan masa lalu. Ia harus membayar mahal atas apa yang ia lakukan. Dan hingga detik ini ia masih belum menyesal. Semoga saja ia tak pernah menyesal dengan keputusan yang telah ia ambil dua tahun lalu saat meninggalkan rumahnya dan pindah ke rumah keong yang ia tempati saat ini.

###

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top