3
Versi lengkap dan sudah direvisi tersedia dalam bentuk buku yang bisa dipesan di shopee grassmedia official. Ebook bisa diakses di Gramedia digital dan google playstore.
###
Pagi ini Aluna begitu malas bangun. Yah, sebenarnya bukan hanya pagi ini, tapi setiap pagi Aluna juga malas bangun. Jika tidak memikirkan gajinya yang perlahan akan menyusut ia pasti lebih suka bermalas-malasan. Dengan rajin bekerja saja masih di bilang kurang disiplin, apa kabar kalau dia sampai malas-malasan?
Salahkan saja pak Sasongko yang menuntut hasil kerja yang begitu sempurna. Padahal Aluna kan manusia biasa yang tidak bisa sempurna. Oh, tidak! Hentikan pikiran unfaedahmu Aluna. Aluna berdecak sendiri.
Akhirnya dengan langkah berat ia menyeret kakinya ke kamar mandi. Satu hal yang ia syukuri, rumahnya masih memiliki fasilitas air hangat di kamar mandinya. Jadi setidaknya penat tubuh juga hati bisa terkurangi.
Pukul enam pagi, Aluna sudah siap dengan peralatan dan kendaraan tempurnya. Pinky cantik, skuter matik kesayangannya. Tote bag dan Stiletto juga sudah mempercantik penampilannya. Ada beberapa media pembelajaran yang ia bawa hari ini. Tote bag sepertinya adalah pilihan yang tepat untuk membawanya.
Urusan make up, jangan ditanya. Aluna selalu tampil sempurna ditambah dengan rambut bergelombang sepunggung yang tergerai indah dengan diberikan sedikit semprotan hair spray agar terlihat lebih rapi. Ingat, Aluna ke sekolah naik skuter matik, rambutnya akan tertutup helm. Jika tak dibantu hair spray, ia tak menjamin sampai sekolah nanti rambutnya tak berubah seperti surai singa atau bahkan sarang burung pipit yang biasanya nongkrong di atas pohon mangga di depan ruang kepala sekolah.
Aluna tak mau mengikat rambutnya. Pasti kerja keras sedari pagi menata rambut dengan menggunakan curling iron---untuk membuat kesan bergelombang sampai tangan nyaris lepas---jadi sia-sia. Eww... Itu adalah hal yang tak pernah Aluna harapkan.
Setelah mengunci pintu pagar, Aluna pun memacu si pinky membelah jalan raya yang selalu padat di pagi hari. Dua puluh menit kemudian ia sudah sampai di halaman parkir khusus guru dan staf tata usaha. Setelah memastikan penampilannya sempurna melalui kaca spion si pinky, Aluna pun bergegas memasuki lobi sekolah. Meletakkan ibu jarinya pada mesin finger print untuk mengisi daftar hadir.
Sapaan demi sapaan Aluna jawab dengan ramah. Inilah yang ia sukai saat menjadi seorang pendidik di sekolah ini. Ia begitu dihormati oleh para anak didik juga rekan kerjanya. Rasa kekeluargaan yang tinggi benar-benar membuat Aluna betah untuk tetap berada di sekolah ini, mengabaikan perintah orang tuanya.
Aluna akan membuktikan bahwa ia bisa mandiri tanpa bantuan siapa pun. Tanpa merepotkan siapa pun. Meskipun saat ini ia kalang kabut memenuhi kebutuhannya sendiri. Namun, ia yakin, ia akan tetap bertahan.
Aluna sudah matang mengambil jalan ini dua tahun yang lalu saat ia keluar dari rumahnya yang begitu nyaman. Tak masalah jika kehidupannya akan berubah. Toh ia selalu berprinsip 'Bisa itu karena terpaksa' jadi ia pasti akan bisa hidup susah jika keadaan sudah memaksanya. Lihat sekarang. Meskipun Aluna pontang-panting sendirian, hingga detik ini ia masih bisa hidup, kan? Masih bernapas. Ia juga tidak pernah kelaparan.
***
Begitu bel yang menandakan jam pertama dimulai telah terdengar, secepat kilat Aluna melesat ke kelas. Jangan sampai Pak Sasongko mendahuluinya. Kemungkinan sembilan puluh persen jam mengajarnya akan dikurangi jika sampai hal itu terjadi.
Setelah membuka pertemuan pagi itu dengan berdoa dan memberikan salam juga perkenalan singkat kepada anak didik barunya, Aluna pun memulai pelajaran.
Lima menit kemudian Pak Sasongko memasuki ruangan dengan membawa beberapa lembar kertas di tangannya. Aluna menduga, pasti itu adalah lembar penilaiannya. Aluna menarik napas dalam, berdoa agar semuanya berjalan dengan lancar.
Dua kali empat puluh menit atau delapan puluh menit, pelajaran pun berakhir. Aluna mengembuskan napas lega. Dikemasnya buku-buku juga media pembelajarannya di meja guru depan kelas. Setelah ini ia tidak mempunyai jadwal mengajar. Ia akan mengajar lagi nanti setelah jam istirahat.
"Bagaimana, Pak?" Aluna bergegas menyejajarkan langkahnya dengan sang kepala sekolah yang sudah berjalan meninggalkan kelas terlebih dahulu.
Pria itu berhenti, mengamati Aluna dari atas ke bawah. "Anda lulusan mana, Bu?"
Aluna menautkan alisnya bingung.
"Universitas Negeri di kota ini dong, Pak," jawab Aluna bangga. Pak Sasongko tampak mengembuskan napas lelah.
"Berapa Indeks Prestasi Komulatif, Bu Luna?"
Lagi-lagi Aluna merasa heran. Bukannya saat ia melamar di sekolah ini, semua data dirinya sudah di kantongi kepala sekolah?
"Bapak kan dulu sudah tahu data diri saya saat saya melamar di sini, kan, Pak?" Eits dasar bocah semprul. Di tanya malah berputar-putar. Mungkin begitulah batin pak Sasongko saat melihat kebebalan Aluna.
"Anda cuma tinggal jawab saja, Bu."
Aluna mencebik. "Tiga koma delapan lima, Pak," jawab Aluna dongkol.
"Berapa lama Bu Luna menempuh pendidikan?"
Waduh apa lagi ini!? Aluna menarik napas dalam dan mengembuskannya kuat. Tak peduli jika pria itu menilainya tidak sopan.
"Empat tahun dong, Pak, dan saya juga punya gelar SE, lo di belakang nama saya selain S.Pd, itupun kalau Bapak masih ingat. Kok Bapak dari tadi bertanya terus tapi tidak membahas dan memberikan penilaian atas apa yang sudah saya lakukan di kelas barusan?"
Pak Sasongko menatap Aluna, sekali lagi memotret gadis di depannya itu dengan matanya, "Kamu lebih cocok jadi artis dari pada jadi guru." Hanya itu. Dan Pak Sasongko pun pergi meninggalkan Aluna yang menganga kebingungan dengan perkataan pria paruh baya itu.
###
Hai friends... Masih ada yang nunggu cerita ini kan? Terima kasih sudah menjadi pembaca setia cerita ini dan dengan sukarela menunggu tulisan absurd bin alay saya wkwkkwkwkw....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top