17
Cerita lengkap tersedia di buku. Buku bisa didapat di shopee grassmedia official. Versi digital bisa diakses di google play store dan gramedia digital.
###
Sejak hari beranjak gelap Aluna sudah menyiapkan dirinya. Malam ini Satria akan ke rumahnya, Aluna sedang malas untuk keluar rumah. Ia berharap Satria tak keberatan apabila mereka cukup berbincang di rumah Aluna saja. Setidaknya ia sudah menyiapkan beberapa hidangan sederhana untuk makan malam mereka.
Meskipun lebih sering rasa malas yang bertengger manis pada diri Aluna namun sebenarnya Aluna masih mempunyai kemampuan mengerjakan pekerjaan rumah tangga sederhana seperti memasak, membersihkan rumah, juga beberapa pekerjaan rumah lainnya. Meskipun tidak bisa dikatakan hasilnya sempurna setidaknya Aluna masih bisa mengerjakan semua itu.
Seperti malam ini, Aluna sudah menyiapkan hidangan sederhana dan bisa dibilang cukup mudah dikerjakan seperti ayam goreng dan telur dadar. Sedangkan hidangan lainnya ia sudah memesan di rumah makan padang di depan komplek rumahnya. Setidaknya jika Satria bertanya ia bisa membanggakan diri jika mampu memasak dengan baik meskipun hanya ayam goreng dan telur dadar. Aluna terkikik sendiri membayangkan ide cemerlangnya.
Pukul tujuh malam Satria tiba di rumah Aluna. Pria itu tak mengira jika Aluna akan mengajaknya makan malam di rumahnya. Padahal awalnya ia akan membawa Aluna makan malam di salah satu tempat favoritnya. Di salah satu rooftop hotel yang cukup terkenal di kotanya. Pemandangan kota dari lantai teratas hotel cukup mengagumkan di malam hari. Apalagi dilengkapi dengan sajian bintang yang begitu nyata di atas kepala. Tampaknya ia harus membatalkan rencananya. Mungkin lain kali ia akan melakukannya.
"Abang nggak keberatan kan jika kita makan di rumah aja? Aku sudah masak lumayan banyak." Aluna terkikik menunjukkan gigi-gigi putihnya sambil mengangkat kedua jari telunjuk dan tengahnya membentuk huruf V.
"Nggak apa-apa. Kita bisa makan di luar lain kali," jawab Satria sambil mengulas senyum lembut.
'Duh bang, jangan asal senyum dong. Hati adek semakin meleleh nih. Kalau sudah meleleh nggak mungkin bisa dibekukan kembali.' Aluna bersorak dalam hati mendapatkan persetujuan Satria.
Mereka pun melangkah memasuki ruang makan mungil rumah Aluna. Aluna tak ingin menunda makan malam mereka. Mereka harus mengisi perut terlebih dulu sebelum membahas masalah yang bagi Aluna cukup berat itu.
"Wah, ini kamu semua yang masak, Lun?" Satria memandang takjub meja makan yang tersaji berbagai macam hidangan di atasnya. Ia tak menyangka, gadis yang terlihat tak pernah menyentuh dapur itu bisa memasak begitu banyak hidangan yang terlihat lezat di depannya.
Aluna hanya mengulas senyum bangga sambil memutar tubuhnya ke kiri dan ke kanan layaknya anak taman kanak-kanak yang terlihat malu-malu saat ditanya oleh gurunya.
"Ini..." Satria sampai tak bisa berkata-kata. "Wow banget, Lun. Masakan Padang, lo. Dan kamu bisa membuat semuanya. Benar-benar luar biasa," lanjutnya
Seketika Aluna menghentikan gerakan tubuhnya. Ya ampun, berarti si abang salah paham, atau kalimat Aluna yang ambigu?
"Maksud aku yang semuanya masakanku itu yang di situ tuh, Bang. Yang di ujung." Aluna menunjuk ujung kiri meja makannya.
"Yang aku masak sendiri cuma ayam goreng, sama telur dadar. Kalau masakan Padang ini semuanya aku pesan di rumah makan Padang di depan komplek. Enak banget, Bang. Makanya aku pesan untuk tambahan menu makan malam kita." Satria seketika menganga membuka mulutnya. Benar-benar luar biasa gadis di depannya ini. Penuh kejutan. Bertahun-tahun mengenalnya ternyata masih belum bisa membuat Satria benar-benar tahu bagaimana sifat-sifat Aluna yang begitu sulit ditebak.
Bagaimana mungkin gadis itu mengatakan jika ia memesan menu masakan Padang untuk tambahan menu makan malam mereka? Catat! Ada kata tambahan di sana. Bukannya terbalik? Di meja di hadapan mereka tersaji berbagai macam menu masakan Padang yang Aluna pesan sedangkan gadis itu hanya memasak ayam goreng dan telur dadar. Ya, lebih banyak makanan tambahannya dari pada makanan utama. Satria tak mampu berkata-kata.
Padahal beberapa menit yang lalu ia begitu takjub pada kemampuan gadis bercat kuku indah itu. Sangat jarang gadis modern seperti Aluna bisa memasak berbagai hidangan yang terlihat lezat itu seorang diri. Mereka pasti menyayangkan kuku-kuku cantiknya jika sampai tergores pisau yang cukup tajam saat memasak.
"Nggak apa-apa kan, Bang?" Ucapan pelan Aluna seketika membuyarkan pikiran Satria yang masih berkutat pada makanan di depannya.
"Oh, eh. Iya. Nggak masalah, Lun. Aku cuma nggak nyangka kamu bisa
Masak meskipun cuma ayam goreng dan telur dadar." Satria tersenyum canggung tak tahu harus berkata apa.
"Kalau cuma ayam goreng sih gampang banget, Bang. Tinggal rebus ayam sama bumbunya terus di goreng. Kan di semua mini market pasti jual bumbu-bumbu siap pakai. Dadarnya juga gitu. Mudah banget anti repot." Aluna sekali lagi terkikik geli. Namun, tersirat rasa bangga di sana. Benar-benar gadis aneh.
"Yuk, ah. Kita langsung makan aja. Dari tadi ngobrol terus bisa-bisa besok pagi kita makannya." Aluna mempersilakan Satria duduk di kursi meja makan. Gadis itu kemudian membantu Satria menyiapkan makanan yang akan dinikmatinya.
Satu jam kemudian mereka sudah duduk di sofa ruang tengah di hadapan televisi layar datar yang menempel di dinding rumah Aluna. Secangkir kopi juga sudah menemani Satria.
"Lun, gimana jawaban kamu." Tiba-tiba saja Satria sudah membuka pembicaraan tanpa Aluna kira. Aluna yang sibuk mengganti saluran televisi sontak menghentikan kegiatannya. Diletakkannya remot yang ia pegang di atas meja di hadapannya.
Rasa gugup seketika menjalari tubuhnya. Ia masih belum siap memberikan keputusannya. Ia sebenarnya masih butuh waktu lebih lama lagi untuk mempertimbangkan keputusannya.
"Bisa nggak kalau aku minta waktu satu minggu lagi, Bang?" Aluna mencoba mengulur.
Satria tampak mendesah tak puas, ia sudah terlalu lama menunggu. Ia ingin segera mendapatkan kepastian.
"Kamu tidak membutuhkan waktu selama itu untuk membuat keputusan, Lun. Aku yakin kamu sudah mempunyai jawaban meskipun mungkin masih ragu. Setidaknya yang terpenting sekarang adalah perasaan kamu kepadaku. Apa kamu bersedia untuk aku ajak berkomitmen menuju hubungan yang lebih serius lagi? Kamu cukup jawab iya atau tidak." Benar yang dikatakan Satria. Ia sebenarnya sudah mempunyai jawaban. Namun, pernikahan bukan hanya untuk menyatukan dua orang manusia saja, tapi juga dua keluarga.
"Jika cuma keputusan itu hanya berasal dariku saja pasti aku sudah bisa memberikan jawaban, Bang. Namun, pernikahan kan lebih dari itu. Ada keluarga kita yang juga harus turut andil dalam mengambil keputusan " Aluna masih bingung mencari kata-kata yang tepat untuk mengungkapkan maksudnya.
"Keluargaku sudah pasti menyetujui apapun keputusanku, Lun. Jadi hal itu bukan masalah. Apa yang membuatmu tak yakin adalah keluarga kamu?" Satria langsung menangkap maksud Aluna. Ia tiba-tiba saja merasa tak nyaman. Ditatapnya Aluna dalam, gadis itu terlihat salah tingkah.
"Emm, sebenarnya... Gimana ya aku bilangnya sama abang. Aku bingung harus mulainya." Aluna semakin gusar. Ia terlihat meremas ujung dress yang dikenakannya. Memilinnya berulang-ulang hingga kusut. Satria menarik napasnya berat. Apa yang akan disampaikan Aluna sepertinya bukan hal yang menyenangkan. Ia hanya berharap tak ada hal yang menghalangi niat baiknya.
"Ceritakan saja, Lun. Aku akan berusaha memahaminya," balas Satria masih dengan tatapan dalamnya.
Aluna menghela napas dalam, "Sebelumnya aku minta maaf jika tidak memberitahu Abang. Lagi pula kan memang belum ada kesempatan. Kita baru tadi pagi bertemu." Aluna mencoba berputar-putar.
"Sebenarnya... Aku akan balik lagi ke Jakarta, Bang." Akhirnya kalimat itu meluncur juga.
"Balik ke Jakarta gimana maksud kamu?" Satria bertanya setelah menunggu Aluna melanjutkan kalimatnya. Namun, ternyata gadis itu tak berkeinginan melanjutkan.
"Aku pindah ke Jakarta. Pulang ke rumah. Aku ingin kembali berkumpul dengan mereka. Papa baru saja sembuh. Aku takut beliau kenapa-napa lagi. Aku ingin membahagiakan kedua orang tua aku, Bang. Dan kebahagiaan mereka adalah jika aku bisa berkumpul kembali dengan mereka seperti sebelumnya." Satria mengangguk-anggukkan kepala mendengarkan penjelasan Aluna. Ia diam, mencoba mencerna dan mengambil sikap atas keinginan Aluna.
"Kita bisa tetap berhubungan meskipun jarak jauh, Lun. Kita kan belum menghadap orang tua kamu. Aku ingin bertemu dengan kedua orang tua kamu dan menyampaikan maksudku. Aku yakin mereka bisa memberikan solusi. Yang penting apapun itu dikomunikasikan terlebih dahulu." Aluna terbelalak. Sejauh ini pria di sebelahnya masih belum beranjak sedikit pun dari tujuannya. Apa ia harus melempar bom terakhirnya?
"Emm... Sebenarnya tidak hanya masalah itu, Bang. Ada lagi masalah yang lebih besar." Satria mengerutkan keningnya. Kecemasan semakin dalam menyerangnya.
"Sebenarnya, aku disuruh pulang karena aku akan dijodohkan. Papa dan mama sudah merencanakan hal itu dua tahun lalu. Namun, saat itu aku lebih memilih meninggalkan rumah dan hidup di sini sendirian. Sekarang mereka kembali memintaku pulang untuk melaksanakan niat mereka. Kali ini aku nggak mungkin menolaknya lagi. Aku ingin membahagiakan mama dan papa. Ketika papa sakit beberapa hari yang lalu membuatku mendapatkan banyak pelajaran. Aku tak ingin kehilangan mereka berdua sebelum aku bisa membahagiakan mereka."
###
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top