12

Aluna menutup panggilan telepon pada ponsel di tangannya setelah terlibat pembicaraan serius dengan mamanya. Sejenak ia terdiam. Memikirkan langkah apa yang harus ia lakukan sekarang. Saat sebuah pikiran melintas di otaknya, segera, dengan tangan bergetar ia kembali menekuri ponselnya. Saking terburu-burunya ponsel yang ia pegang bahkan terjatuh bersama isi tasnya. Semuanya berhamburan di lantai. Hal yang seketika saja menjadi perhatian orang-orang di sekitarnya.

"Kamu kenapa, Lun? Siapa yang menghubungi kamu barusan?" Satria seketika menangkap kejanggalan di wajah Aluna yang semula ceria menjadi panik bahkan matanya tampak berkaca-kaca sambil memungut barang-barang yang terjatuh di lantai.

Aluna tak mampu bersuara. Ia yakin jika ia membuka mulutnya, maka hanya akan ada tangisan yang keluar. Ia tak mungkin melakukan hal itu di sini, di depan anak didik juga orang asing yang membina mereka. Ia hanya memilih menutup mulutnya sambil tangannya tak berhenti bergerak memungut sisa barang-barangnya yang tercecer.

"Jangan bikin aku tambah khawatir, Lun. Siapa yang menghubungi kamu barusan?" Satria menghentikan pergerakan tangan Aluna. Pria itu menatap gadis di depannya penuh permohonan. Mau tak mau Aluna  berucap pelan.

"Mama." Dan cairan bening pun seketika meluncur di pipi Aluna. Selama dua tahun jauh dari rumah, Aluna begitu jarang menghubungi orang tuanya. Ia sengaja melakukan itu. Ia tak mungkin terlalu sering menghubungi mereka jika Aluna masih tak menuruti permintaan kedua orang tuanya. Permintaan yang justru akhirnya membawa Aluna pergi dari rumah dua tahun yang lalu.

Ia masih punya mimpi, punya keinginan untuk bisa hidup bebas tanpa dibebani keinginan orang tuanya. Menjauh dari rumah adalah solusi yang tepat baginya dua tahun yang lalu.

Namun, semua keteguhan hatinya seketika lenyap kala suara mamanya beberapa menit yang lalu terdengar di telinga. Suara lembut yang tak mungkin tak ia rindukan. Suara yang biasanya menenangkannya itu terdengar panik, ketakutan dan entah ungkapan mengerikan apa lagi yang tepat.

Papanya di sana sedang berjuang antara hidup dan mati. Jika sudah seperti ini, Aluna benar-benar menyesal. Ia menyesal telah pergi meninggalkan rumah. Meninggalkan kedua orang tuanya.

Bagaimana jika sesuatu yang buruk menimpa papanya? Aluna masih belum pernah berbakti dan membalas kasih sayang orang tuanya. Ia belum pernah membahagiakan mereka. Ia belum pernah menjadi anak yang baik bagi mereka.

Jika terjadi sesuatu yang buruk pada papanya, ia tak mungkin bisa memaafkan dirinya sendiri. Selama dua tahun ini dia sudah cukup lama bersenang-senang menikmati kebebasannya. Sekaranglah saatnya ia berbakti dan membahagiakan kedua orang tuanya. Ya, Aluna bertekad akan melakukan itu. 

"Kenapa mama kamu, Lun. Beliau ngomong apa ke kamu? Tolong jangan seperti ini, Aluna. Tolong cerita. Aku akan membantu kamu sebisaku." Satria tampak memelas dihadapan Aluna yang masih berjongkok.

Aluna menarik napas dalam, "Mama bilang kalau papa masuk ICU. Papa pingsan sepulang dari kantor tadi dan sampai sekarang masih belum sadar." isakkan Aluna akhirnya terdengar.  Satria memerosotkan bahunya. Pria itu tersenyum sendu kemudian membantu Aluna berdiri lalu mendudukkan gadis itu pada kursi di depannya.

"Kamu yang sabar, ya. Papa kamu pasti baik-baik saja. Kamu harus berdoa dan yakin akan hal itu."

Aluna mengangguk pelan.

"Sekarang rencana kamu apa? Mau langsung pulang?" lanjut Satria.

Sekali lagi Aluna mengangguk. Diraihnya tisu dari dalam tas untuk menghapus lelehan air mata yang tak kunjung berhenti. 

"Oke. Kita akan cari penerbangan yang bisa bawa kamu secepatnya.  Semoga saja masih bisa."

"Loh, ada apa ini Bu Luna? Ada masalah?" Pak Sasongko tiba-tiba sudah ada di hadapan Aluna dengan wajah cemas. Pria baya itu sedari tadi menangkap keganjilan setelah melihat Aluna berbicara melalui ponselnya. Ia yang telah meninggalkan meja tempat mereka makan terlebih dahulu akhirnya kembali lagi karena Aluna dan Satria yang tak kunjung keluar rumah makan.

Dengan terbata-bata Aluna menceritakan apa yang dikabarkan mamanya melalui telepon barusan.

"Bu Luna pulang saja. Anak-anak kan sudah ada yang melatih. Tidak masalah kok. Lagi pula saya juga akan membantu mendampingi mereka. Biar nanti saya yang mengantarkan Bu Luna ke terminal bus atau Bu Luna mau memesan travel? Atau terserah Bu Luna mau pulang naik apa," tawar pak Sasongko.

"Maaf, Pak. Bu Luna bukan berasal dari kota kita. Orang tua Bu Luna tinggal di Jakarta." Satria menginterupsi kesalahpahaman pak Sasongko. Pria itu selama ini tak tahu jika anak buahnya itu sebenarnya bukan berasal dari kota yang sama dengannya.

"Oo,  jadi begitu. Terus gimana ini? Mau naik apa? Pesan tiket saja. Coba Pak Satria yang membantu mencarikan, siapa tahu masih bisa." Ucapan pak Sasongko dijawab anggukan Satria dan Aluna.

Satria meraih ponsel di tangan Aluna, menekuri benda persegi itu. Setelah beberapa menit terlewati, ia pun membuka mulutnya. "Yang tersisa cuma penerbangan tengah malam nanti. Gimana, Lun? Mau?" Aluna mengangguk pasrah setelah Satria menunjukkan hasil pencariannya.

"Yang penting aku bisa pulang secepatnya."

Satria menyerahkan kembali ponsel Aluna. Setelah mempertimbangkan berbagai hal, akhirnya Aluna melakukan transaksi. Ia harus pulang malam ini juga.

Sepuluh menit kemudian Aluna dan semua orang sudah tiba di kamar yang mereka tempati. Satria membantu berkemas. Sebenarnya ia berkeinginan mengantarkan Aluna ke bandara. Namun, karena ia masih mempunyai tanggung jawab untuk melatih anak didiknya, terpaksa ia mengurungkan keinginannya.

Kali ini pak Sasongko yang akan mengantarkan Aluna ke bandara.  Awalnya Aluna menolak, ia bisa memesan taksi saja. Namun, karena pak Sasongko memaksa akhirnya Aluna menurut juga. 

Pria baya itu akhirnya menemani Aluna, yah meskipun sebenarnya cukup sopirnya saja yang berangkat.  Pria itu bisa saja tetap tinggal. Tapi entah kenapa pria baya itu malah justru menemaninya. Mungkin ia tak tega melihat Aluna yang biasanya ceria tiba-tiba muram. Atau mungkin karena rasa pedulinya kepada bawahan? Aluna juga tak tahu.

Setidaknya dengan adanya pak Sasongko yang mengantarkannya, ia bisa sedikit tenang. Ada seseorang yang akan memberinya semangat selama di perjalanan yang bagi Aluna begitu mengerikan akibat terus menerus memikirkan keadaan papanya yang masih jauh di sana.

###
Yang masih belum baca upgrade, Juni dan isi dompetmu, Another Sunshine, Kejar tenggat, The pursuit of perfection, dan Serpihan Rindu. Yuk meluncur ke playstore sekarang.

Kalau punya akun di Karya karsa dan KBM bisa juga baca di sana.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top