EPSIODE KETUJUH
Thrid POV
Di ruang eskul, Risma dan Alfa sedang berdiri membicarakan sesuatu. Anggota lainnya belum datang.
"Hei, Risma, kenapa kamu suka dengan film horror?" tanya Alfa.
"Memangnya tidak boleh?" jawab Risma.
"Bukan tidak boleh, aku hanya ingin tahu?"
"Walau wajahmu dingin, ternyata kamu orangnya penasaran juga... Entahlah... aku juga tidak tahu? Mungkin aku suka film yang membuat hatiku berdetak kencang... Mungkin?"
"Padahal kamu ini takut dengan hantu, tapi suka film horror."
"Si-Siapa yang takut?! Aku enggak takut?!" bentak Risma.
"Apa itu yang di belakangmu?"
"AAAAA!!" Risma langsung berlari ke belakang punggung Alfa, bersembunyi. "Dasar, Alfa!" Ternyata dia sedang dijahili, dia langsung mendorong Alfa cukup keras. Tapi, Alfa tidak jatuh, hanya jadi sedikit menjauh.
"Tuh, kan, kamu takut."
"Enggak! Aku hanya kaget!!"
"Risma, ada sesuatu yang putih di atasmu."
"AAAAA!!" Dengan ketakutan, Risma jongkok, menutup telinga, dan matanya.
"Risma, kamu kenapa? Risma!" Nisya mengguncang pundak Risma.
"...Ni-Nisyaaa!" Risma langsung memeluk badan Nisya. "Aku...Aku...Aku dijahili Alfaaa!"
"Hah? Kamu bicara apa? Dari tadi aku dan Alfa sedang mengantarkan buku paket ke perpustakaan."
"Heh? Benarkah?!" Lalu datang Alfa dengan wajahnya yang khas.
"Hei, Alfa, apakah tadi kamu menjahili Risma?"
"Menjahili Risma? Mana aku sempat menjahilinya kalau selalu disuruh oleh guru?"
"Ja-Ja...Jadi... yang tadi itu, siapa?"
***
Elyna POV
"Begitu, ya. Mereka langsung mengundurkan diri?"
"Iya, Kak Nisya. Aku tidak tahu alasan yang sebenarnya, tapi kata mereka, mereka banyak urusan di rumah," jawab Tio.
"Jadi, kita kehilangan dua artis kita..."
"Sudahlah, lagipula kita mendapatkan satu artis yang baru, benar, Siska?" ucap kak Risma.
"I-I-Iya..." balas seorang siswi berambut hitam panjang twintail, berkacamata, beberapa bintik menghiasi kedua pipinya, dan tingginya mungkin 170cm, karena hampir sepantar dengan Alfa. Dia anggota yang masuk karena ingin menjadi orang yang luar biasa, dan dia kelas dua.
"Dimana Elyna dan Alfa?" tanya kak Nisya.
"Entahlah?"
Aku dan Kak Alfa sedang berada di belakang gedung sekolah, atau tepatnya taman belakang.
"Ka...Ka...Kak Alfa!"
"Apa?"
"Mungkin ini mendadak, tapi aku harus melakukannya! Mau...Mau...Maukah Kakak menjadi pacar palsuku?"
"Apa maksudnya?"
"Wajar saja kalau Kakak heran begitu... Aku...Aku selalu diikuti oleh seorang siswa kelas satu, dia teman sekelasku, namanya Dimas."
"Boleh, aku akan menjadi pacar palsumu."
"Te-Terima kasih, Kak Alfa!"
"Jadi, intinya aku harus menjadi pacarmu sampai kamu tidak diikuti lagi oleh siswa itu?"
"Iya."
"Kalau begitu, sebagai rencana pertama, kita akan pergi kencan."
"Ke-Ke-Kencannnn?!" kagetku.
"Iya, itu kan hal yang biasa dilakukan oleh sepasang kekasih?"
"Be-Benar juga..." Selanjutnya kami membicarakan tentang tempat pertemuan kita.
Sekarang adalah hari minggu, hari kencan pura-pura dengan Kak Alfa. Aku berjalan menuju toko roti, tempat pertemuan kami. Selama di perjalanan, entah kenapa, aku selalu bercermin di kaca toko, atau kebetulan ada cermin besar.
"Ke-Kenapa aku harus mencemaskan penampilanku?! Ini kan bukan kencan beneran?! Tapi... tidak ada salahnya aku berpenampilan rapih, kan? Kita kan harus terlihat seperti sepasang kekasih! Ini demi untuk menghentikan Dimas mengikuti, hanya demi itu! Bukan karena aku ingin kencan dengan Kak Al...fa..." Aku langsung bisa melihat jelas wajahku yang memerah di kaca toko tempat kami akan bertemu.
"Oh, Elyna, kamu sudah datang," panggil kak Alfa.
"Kak Alfa, kamu terlambat! Tidak baik membuat wanita menunggu di terik panas ini!"
"Menunggu? Bukankah waktu janjian kita itu jam sepuluh, sekarang baru jam sembilan."
"Bu-Bukan berarti aku datang cepat karena ingin segera kencan dengan Kak Alfa, ya!!" elakku malu.
"Terserah. Ternyata benar, kamu memang sedang diikuti."
"Kalau begitu, kita jalankan rencananya."
"Kamu mau kemana?" tanya kak Alfa.
"Kita pergi ke toko alat melukis!"
Kami pun pergi menuju toko alat melukis, yang letaknya cukup jauh. Kami memutuskan untuk berjalan kaki, karena melihat bis yang selalu penuh. Panas, serangan sinar matahari yang sangat panas, membuat tubuhku basah keringat.
Akhirnya, setelah terkena serangan sinar matahari cukup lama, kami pun sampai di toko alat lukis. Panas tubuhku terganti dengan dingin AC di toko ini. Pengunjung toko ini tidak terlalu banyak, jadi hawa panas tidak terlalu terasa.
Bersama dengan Kak Alfa, aku pergi menuju rak tempat kuas dan piringan. "Kak, menurut Kakak, bagus yang mana?" Aku menunjukkan piringan berwarna merah dan biru.
"Hmm... Sepertinya yang biru."
"Kalau begitu, aku beli yang biru."
"Kamu yakin? Ini hanya pendapatku, belum tentu kamu suka?"
"Kita kan sedang pura-pura kencan, jadi aku akan beli barang yang menurut pacarku bagus."
Kak Alfa hanya mengangguk kecil, lalu pergi melihat-lihat. Sedangkan aku, mencari cat warna minyak yang bagus. Setelah selesai membeli semua peralatan melukisku, aku pergi ke kasir. Sudah ada Kak Alfa di depan kasir itu, baru selesai membayar sesuatu yang dibelinya.
"Aku tidak tahu apakah kamu suka dengan motif ini, tapi menurutku ini terlihat bagus." Dia mengambil sesuatu di dalam tas belanja. Ternyata itu sebuah celemek berwarna putih dengan beberapa bintang kecil berwarna kuning emas.
"Kakak tidak perlu membelikan sesuatu untukku."
"Kalau kamu tidak menggunakan ini, bajumu akan kotor. Dan lagi, kita kan sedang pura-pura pacaran, setidaknya aku menunjukkan perhatian sebagai seorang pria."
Hatiku sedikit tergetar atas perhatian dari pria yang berwajah tanpa ekpersi, dan terlihat tidak baik. Aku merasakan sesuatu yang aneh, apakah aku mulai menyukainya? Akhirnya aku menerima pemberiannya dengan kepala menunduk, dan tidak lupa mengatakan "Terima kasih banyak."
Kami pun keluar dari toko, dan menghadapi serangan sinar matahari lagi. Tapi kali ini, tubuh luar dan dalamku terasa panas. "Kak, biar aku saja yang membawakannya. Itu kan belanjaanku."
"Enggak apa-apa, nanti saja kalau aku tidak kuat lagi. Setidaknya sekarang aku masih kuat untuk membawakannya."
Tak terasa, hari sudah sore. "Kamu yakin pulang sendiri?"
"Iya, terima kasih, Kak Alfa. Aku pulang duluan, dadah!" Aku pun melambaikan tanganku dan menyebrangi menuju trotoal di seberang.
Dan pagi hari, di hari senin. Aku berjalan menuju sekolah membawa tas dan peralatan melukisku di tas kecil yang kubawa. Sesampainya di kelas, dan pelajaran dimulai, yaitu seni budaya. Guru masuk dan menyuruh kami untuk melukis di kanvas yang sudah kami bayar secara kelompok. Kelompokku terdiri dari empat orang, dua orang bertugas menggambar sketsanya, dan dua lagi mewarnai. Aku bertugas sebagai mewarnai.
Selesai kedua temanku menggambar sketsanya, aku dan temanku yang satu lagi menyiapkan kuas dan piringan. Tidak lupa, aku memakai celemek yang diberi Kak Alfa. Kami pun mulai mewarnainya.
"Elyna, kamu kenapa senyum-senyum sendiri?" tanya temanku.
"Enggak ada apa-apa," balasku. Dengan penuh rasa senang, aku melanjutkan mewarnainya.
***
Jill POV
My name is Jill Valentina, seorang siswi SMA, kelas dua. Aku menjabat sebagai ketua pengurus OSIS yang baru. Dan wakilku bernama Mawar, siswi kelas satu. Aku hidup dengan ayahku sekarang, karena ibuku sudah meninggal. Jadi, aku dan ayahku tinggal di negara ayahku, yaitu Indonesia, tepatnya di Jakarta.
Sekarang, aku bersama dengan wakil ketua, berjalan di lorong menuju ruangan OSIS. "Mawar, apakah menurutmu seorang pangeran itu ada?" tanyaku.
"Kenapa tiba-tiba Kakak bertanya hal aneh seperti itu?" heran Mawar.
"Aneh? Pertanyaanku ini aneh, ya?"
"Tidak, maaf! Aku hanya kaget, kenapa tiba-tiba Kakak menanyakan hal itu. Padahal Kakak biasanya tidak bertanya hal-hal yang seperti itu."
"Entahlah, aku hanya ingin bertanya saja."
"Kalau menurutku sih... Ada..."
"Begitu, ya."
Aku bertanya hal itu karena teringat tentang cerita dongeng yang selalu diceritakan oleh ibuku sewaktu beliau masih hidup. Ceritanya berisi tentang seorang tuan putri yang terjebak di sebuah menara istana naga. Lalu, seorang pangeran datang untuk menyalamatkan tuan putri itu. Pangeran itu harus melawan naga besar yang bisa mengeluarkan api di mulutnya. Dan akhirnya pangeran itu bisa menyelamatkan tuan putri itu, dan hidup bahagia selamanya.
Saat itu, aku sangat mengaggumi pangeran itu, dan selalu berpura-pura menjadi tuan putri itu. Aku mengaggumi pangeran itu karena dia pria yang sangat baik, rela mempertaruhkan nyawanya untuk menyelamatkan tuan putri, dan pemberani. Dan sampai sekarang pun aku masih mengaggumi sesosok pangeran itu, mungkin di dunia nyata adalah seorang pria yang baik hati, bisa menolongku di saat kesusahan, rela terluka untuk melindungiku. Tapi, kurasa sesosok itu tidak akan ada di dunia ini.
Tiba-tiba, ada seseorang yang memanggil namaku. Siswa yang memanggilku itu mendekatiku dengan wajah seriusnya. "Jill, kamu dipanggil oleh Pak Dhani, di ruang guru," ucapnya.
"Oh, iya. Mawar, maaf ya, bisakah kamu urus dulu rapatnya sendiri?"
"Baik."
Aku dan siswa berwajah serius itu pergi menuju ruang guru. Selama di perjalanan, aku merasa penasaran dengan wajahnya itu. Wajahnya yang terlihat malas itu berjalan di depanku.
"Namamu siapa?"
"Alfa Tomo," jawabnya. Wajahnya masih tertuju ke depan.
"Kamu teman sekelasku, ya?"
"Benar."
Kami pun tidak berbicara lagi, dan aku mempercepat langkahku karena bosan. Aku tidak ingin membuat Mawar menunggu, dia pasti sedikit kesulitan memimpin rapat. Namun, tiba-tiba sebuah tangan memegang lenganku. Ternyata itu Alfa. Lalu sebuah jendela kaca terbuka ke atas tepat di depan wajahku. Jendela itu dibuka oleh seorang siswa di dalam kelas.
"Hati-hati, kalau jalan jangan terlalu dekat dengan jendela kelas," ucap Alfa.
"I-Iya, thank you."
Aku berpindah tempat, sedikit menjauhi jendela kaca kelas. Kami jalan kembali, dan sampai di depan ruang guru. Aku masuk ke dalam ruangan, dan Alfa hanya menundukkan sedikit kepalanya kepada Pak Dhani yang sedang duduk di kursi mejanya, lalu pergi.
"Ada apa, Pak?"
"Bagaimana programnya, berjalan lancar?" tanyanya.
"Belum, tinggal sedikit lagi."
"Kalau bisa, secepatnya selesai, ya?"
"Iya... Oh iya, Pak. Apakah Bapak mengenal siswa yang mengantarku tadi?"
"Kenal, namanya Alfa, sekelas denganmu. Memangnya kenapa?"
"Bukan apa-apa, hanya sedikit aneh dengan wajahnya. Dia tadi tidak senyum kepada Bapak. Kenapa Bapak menyuruh orang yang seperti itu?"
"Hahahah. Jill, wajahnya memang seperti itu, karena dia terkena kecelakaan. Dia tidak akan bisa tersenyum, menangis, bahkan tertawa. Jadi wajar saja dia berwajah menyeramkan seperti itu, walau begitu dia baik. Bahkan, dia dikenal oleh banyak guru dengan kebaikannya."
"Benarkah?"
"Iya, walau mungkin dia lebih dikenal dengan sebutan "si wajah dingin dan tubuh baja", tapi sebenarnya dia baik."
"Begitu, ya... Pak, aku permisi dulu. Kasihan Mawar, dia harus mengurus rapat sendiri."
"Iya." Aku pun pergi menuju ruangan rapat.
Tidak habis pikir, orang yang berwajah seperti itu ternyata baik. Padahal aku yakin dia adalah seorang pembunuh berdarah dingin. Ternyata benar kata Ayahku, "Jangan melihat sampul bukunya, lihatlah isi bukunya."
Lalu aku melihat Alfa sedang membawa setumpuk buku tulis, dan seorang Ibu guru di sampingnya. Mereka terlihat sedang mengobrol, dan terlihat cukup dekat. Mereka melewatiku, dan Alfa menundukkan sedikit kepalanya ke arahku, sepertinya dia sedang menyapaku. Lalu mereka sudah melewatiku dan memasuki ruang guru.
Kesimpulanku tentangnya salah besar, dan aku menerapkan kalimat "jangan melihat sampul bukunya, lihatlah isi bukunya" mulai sekarang. Mungkin, aku bisa sedikit santai, karena mungkin saja Mawar bisa menangani rapat.
Tapi, saat sampai diruangan rapat. Aku melihat Mawar hanya berdiri kaku, dan beberapa kali inginberbicara, tapi malu. Sedangkan anggota yang sedang duduk ada yang mengobroldengan teman sebangkunya, memperhatikan kegugupan Mawar, dan ada yang sedangbermain handphone. Walau begitu, aku masih beranggapan "jangan melihat sampulbukunya, lihatlah isi bukunya".
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top