Tangis Jadi Senyum
Sepulang kerja tadi, aku buru-buru pergi tempat janjiku dengan Rafael. Bahkan aku yang biasanya mengecek email untuk memastikan ada pesan atau tidak, pun tidak melakukannya. Pikiranku terlalu tertuju pada Rafael. Aku sama sekali tak bisa membayangkan nasib dia sekarang. Seharusnya aku tidak berkata kasar padanya beberapa hari yang lalu.
Sepanjang hari moodku kacau. Bahkan ada sampai titik aku hampir saja memarahi seorang pria paruh baya yang bertanya terus-menerus tentang rekeningnya sudah bisa digunakan atau belum. Untung saja Rachel pengertian dan menyuruhku untuk ke belakang sebentar, menggantikan diriku, menanangani nasabah satu ini.
Maka ketika jam kerja habis, aku segera menuju ke tempat pertemuan yang aku dan Rafael tentukan. Dan pas aku menginjakkan kaki pertama dari kantor menuju ke parkiran, si pinguin bisa-bisanya menghadang. Namun aku sok tidak kenal bahkan pura-pura tak melihatnya. Aku tahu sifatnya, dia pasti tak akan memanggil. Benar saja, sampai mobilku sudah menapaki jalan, dia tak memanggilku sama sekali. Bodo amat urusan dengan si bos. Aku punya urusan yang lebih penting.
Rafael menyambutku dengan senyumannya. Aku sedikit tersenggal-senggal karena memutari alun-alun demi mencari parkiran yang pas. Maklum malam ini adalah malam sabtu yang berarti malam pasangan dari segala umur berkumpul di sini. Karena semenjak diterapkannya kebijakan kerja lima hari, hari libur agak sedikit terasa dampaknya. Apalagi bulan ini bulan Februari, pasangan yang memadu kasih tambah banyak.
Aku pun mendekati Rafael. Seluruh emosi yang kupendam semenjak mendengar kabar buruk dari Rachel pun keluar sudah. Terasa sekali wajahku memanas. Bahkan mataku berkaca-kaca. Sebenarnya aku pun tak tahu apa yang mengakibatkan aku begitu emosi kali ini. Hanya saja kurasa aku begitu sebal dengan diriku sendiri.
"Kamu anggap aku itu apa, sih?" sergahku.
Rafael hendak berbicara tapi urung. Dia justru menundukkan wajahnya.
"Kamu udah nembak aku di depan orang tuaku, meminta restu mereka lalu menghilang gitu aja?" protesku kembali.
"Katanya kamu nggak mau ...."
"Aku nggak mau kalau hubungan kita direcokin oleh orang tua. Aku hanya ingin mengenalmu lebih dekat secara personal bukan dari pandangan orang tuaku, tapi dari mataku sendiri. Tapi kenapa kamu ...." Napasku mulai memburu. "Tapi kenapa kamu justru pergi begitu saja. Apakah yang dikatakan olehmu kepada orang tuaku itu hanya bualan semata, hah?"
"Nggak. Rin ... aku benar-benar menyukaimu. Aku ingin hubungan kita berlanjut bahkan sampai ke pernikahan."
"Kalau gitu, kenapa kamu nggak nganggap aku sebagai pendamping hidup mulai sekarang? Kenapa kamu mikul semuanya sendirian? Kenapa kamu justru tak memberitahuku apa pun. Aku malah tahu kabarmu dari seorang temen," amukku tanpa memberi Rafael kesempatan untuk berbicara.
Rafael mengangkat tangannya. Ia seperti hendak menyentuhku yang tengah menangis, namun lagi-lagi tak jadi. Rasanya aneh. Rafael yang sedang dihimpit oleh kesulitan, tapi aku yang menangis sejadi-jadinya.
Aku mendongak. Terlihat tubuh Rafael mulai sesenggukan. Bahunya mulai bergetar.
"Aku ... aku minta ....."
Aku mengeluarkan cokelat sebelum dia menuntaskan kalimatnya. Rafael pun seketika membelalakkan matanya. Tangisnya yang mau tumpah seketika buyar. Dia pun menatapku dan aku pun berusaha untuk tersenyum.
"Minta cokelat, kan?" tanyaku.
Rafael hendak menggeleng. Namun segera kucegah. "Jangan minta maaf untuk sesuatu yang tidak salah. Justru aku yang salah karena telah menelantarkanmu sendirian seperti ini."
Aku mengambil napas. Kudongakkan kepala lalu menyeka air mata. "Aku tidak percaya dengan valentine. Yang aku percaya hanyalah kasih sayang tiada akan ada batasnya. Namun untukmu, sepertinya membutuhkan ini. Nih!" Aku julurkan kembali cokelat ke Rafael.
Rafael hanya menatapnya. Kalau sudah halal, aku ingin sekali memeluknya. Tapi aku sadar akan batas. Aku juga yakin jika memeluknya kali ini hanya akan menyebabkan dia malu, bukan malah menjadi tenang.
"Ayo ambil. Aku juga masih punya kok, untukku sendiri, karena aku yakin kamu juga tidak pernah memberikan cokelat di hari valentine," seringaiku.
Rafael pun mengangguk. Dia pun mengambil cokelat yang kuberikan lalu membukanya. Perlahan-lahan dimakannya cokelat itu.
"Mas!" panggilku.
Rafael mendongak lalu tiba-tiba sebuah flash menyorot wajahnya dan kudapatkan jepretan yang bagus.
"Airin!" panggilnya setengah berteriak. Lucu juga mendengar panggilannya dengan suaranya yang masih parau.
"Hmm?" sahutku setengah acuh. Aku sibuk menyimpan foto aib milik pemuda satu ini.
"Hapus nggak!" ancamnya.
"Aih hp-hp aku, bebas dong!" Aku tersenyum, lebih tepatnya senyum jahat. Lalu setelah yakin menyimpan foto itu, aku pun menunjukkannya pada Rafael.
"Demi apa, jelek banget!" Rafael membalalak. "Hapus!" teriaknya kemudian.
"Nggak mau!" Aku pun menjulurkan lidah ke arahnya lantas melarikan diri.
"Airin!" teriak Rafael yang langsung mengejar.
"Biarin. Agar nanti kalau kamu jahat sama aku, aku punya bahan yang bagus buat balas dendam!" kekehku sembari terus berlari.
Malam itu, kami pun berlari dengan riang. Aku tak tahu mengapa dengan mudahnya aku bisa membalikkan kesedihannya. Hanya saja hatiku benar-benar seperti terguyur embun kala mendengar tawanya kembali. Bahkan aku lebih suka mendengar gelak tawanya tinimbang mendengar gelak tawaku sendiri. Tunggu! Emang ada ya orang yang suka dengan gelak tawanya sendiri? Ah entahlah.
Kami pun akhirnya berhenti dan duduk bersampingan di sebuah bangku taman. Napas kami sama-sama terengah-engah. Namun di sela-sela itu, aku dapat mendengar suara tawa Rafael yang lagi-lagi dapat menarik perhatianku sepenuhnya.
"Nih!" Aku pun menjulurkan gawaiku ke arah Rafael.
Rafael menggeleng. "Simpanlah. Anggap saja itu jaminan bahwa aku hanya akan sama kamu, selamanya," ujarnya begitu tenang.
Seketika di telingaku seperti mendengar lantunan surga. Indah sekali mendengar perkataan itu dari seseorang yang benar-benar kucintai. Apalagi kini dia mengatakannya sembari tersenyum. Hati ini benar-benar terasa diterangi salah satu cahaya surga. Benar-benar menentramkan.
"Aku yakin kalau aku selingkuh dan kamu menunjukan foto itu kepada selingkuhanku, dia akan kabur," kelakarnya.
Aku tertawa. "Oh jadi kamu mau selingkuh?"
"Iya!" ujar Rafael.
Aku yang dari tadi tersenyum manis pun seketika melongo. Namun belum sempat aku bertanya, Rafael sudah berdiri. Dia menuju ke pedagang wedang ronde di dekat kami. Kulihat punggungnya yang kekar dari belakang. Agak lama dia di sana sebelum kembali membawakan dua gelas mangkuk kecil berisikan wedang yang anget itu.
"Lidahku yang ingin selingkuh dengan semua makanan di dunia ini. Jadi tak akan pernah ada makanan yang aneh dan nggak enak yang akan dimakanmu."
"Apaan sih," tawaku.
Kami diam. Sedikit demi sedikit aku pun menyesap salah satu minuman khas Indonesia ini. Hal yang paling kusukai dari wedang ronde adalah bulatan kenyal warna putihnya. Ketika bulatan itu kugigit, rasa manis legit dan hangatnya wedang ronde pun bersatu padu di mulutku. Enak banget asli.
"Maaf, ya! Aku hanya bisa menraktir minuman ini saja," kata Rafael lirih.
"Kamu tahu minuman ini mahal, kan?"
"Ha?"
"Iya mahal. Mau aku bayar berapa pun minuman ini, tak akan bisa membeli minuman plus senyummu itu," kataku.
Rafael kembali tersenyum. Dia pun membuang mukanya. Sepertinya malu, karena aku lebih jago menggombal daripada dia.
"Rin ...," panggilnya setelah berhasil menghilangkan raut wajah saltingnya.
Aku pun menyahut dan mengalihkan pandangan dari mangkuk ke wajah Rafael.
"Maukah kamu menungguku? Aku berjanji akan menikahimu setelah berhasil memulai karirku kembali."
Aku tak langsung menjawab, melainkan membuka ponsel. "Kamu lihat?" tanyaku sembari menunjukan foto aib Rafael yang kuambil beberapa waktu lalu. "Kalau bukan denganku, wanita mana lagi yang akan menemani cowok jelek seperti ini?"
Rafael tertawa. Aku pun. Dalam hati terdalamku, aku benar-benar bersyukur dapat memiliki hati lelaki di sampingku ini. Dia benar-benar jawaban dari segala doaku tentang jodoh.
Jangan lupa mampir ke Dalam Tasbih Cintamu. Sudah tamat loh. Terima kasih telah mendukung karya-karyaku.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top