Si Pinguin Antartika
"Terus kamu jawab apa, Rin?" tanya Rachel ketika aku mengutarakan apa yang terjadi semalam.
"Aku ngomong kalau aku belum bisa jawab." Aku menunduk lemas. Sebenarnya kalau seandainya saja beasiswa ini tidak keluar, aku pasti akan menjawab 'ya' tanpa keraguan sama sekali. Untuk pertama kali dalam hidupku, aku merasakan banyak pilihan berat.
"Duduk di sana, aja yuk!" ajak Rachel sembari menunjuk sepasang bangku kosong di tepi gedung. Kami sudah pulang kerja dan rasanya lapar sekali. Hari senin selalu menyebalkan. Seluruh nasabah menyerangku di meja customer service. Menyebalkan memang. Belum lagi para kaum kolonial yang tidak mengerti akan sistem digital. Berulang kali aku menjelaskannya, tapi tetap saja mereka hanya mengangkat alisnya. Sumpah ya rasanya ingin teriak. Tapi namanya juga customer service harus penuh dengan senyum walau hati sudah meledak-ledak.
Kafe hampir saja penuh. Kafe di dekat kantor memiliki dua lantai. Lantai bawah di desain indoor, sedangkan atasnya outdoor, sengaja agar bisa menikmati sepoi angin di senja hari. Menyebalkannya, yang selalu saja penuh itu terus-menerus adalah ropftop. Untung saja pondasinya kuat. Kalau tidak orang-orang sudah pada berjatuhan tuh dari atas.
Meski sedikit meragukan dengan olahan semen pondasinya, tak dapat kupungkiri kalau rooftop kafe ini memang paling enak digunakan sehabis kerja. Rasa setres langsung musnah gitu. Dan alhamdulillahnya, aku dan Rachel mendapatkan kursi.
Angin sedikit bertiup kencang kali ini. Desirannya sampai membuat rambutku berkibar ke sana-ke mari. Untungnya aku selalu bawa karet ke mana pun aku pergi. Tanpa berlama-lama lagi aku langsung mengucir rambutku.
"Terus bos gimana? Kalau nggak salah kemarin dia manggil kamu, kan?" tanya Rachel, menyambung percakapan kami sebelumnya.
Aku memasukkan satu sendok nasi sebelum akhirnya kembali memandang Rachel. Aku pun mengangguk sembari mengunyah.
"Dia bilang apa?"
"Dia tanya bagaimana persiapanku."
Aku menggulung-gulung spagethi sedang pikiranku mulai kembali ke masa-masa itu. Beasiswa yang kudapat bukan beasiswa sembarangan. Semua ditanggung oleh kantor. Sebagai karyawan yang sudah mengabdi selama tiga tahun, aku berhak mengikuti seleksi beasiswa yang ditawarkan kantor. Dan satu-satunya yang lolos seleksi administrasi dari cabang bank di daerah ini, ya cuma aku doang. Makanya bos atau kepala cabang benar-benar berharap padaku.
Kala itu aku tak berpikir panjang lagi. Aku langsung mendaftar dan menyiapkan seluruh berkas yang diperlukan. Sepulang kerja yang biasanya kupakai untuk istirahat, kini untuk menyiapkan belajar bahasa Inggris. Perlu waktu agar nilai IELTS serta TOEFL IBTku bisa naik. Aku lemah dalam listening, maka aku ubah semua lagu, tontonan, bahkan bacaan dengan yang berbahasa inggris.
Selain itu, aku juga menyiapkan personal statment yang hanya terbatas lima ratus kata dan itu harus mencakup semuanya tentang diriku, ketertarikanku tentang jurusan yang akan aku ambil, pun juga alasannya. Lima ratus kata itu sungguh singkat, makanya aku sering bolak-balik mengecek dan minta pendapat sama alumni beasiswa lainnya.
Semua kerja keras itu nyatanya tak sia-sia. Hanya saja sialnya waktunya tidak tepat. Atau mungkin aku terlalu beruntung sehingga beasiswa dan lamaran Rafael datang di waktu bersamaan.
"Seriously? Dia manggil kamu kemarin cuma tanya persiapanmu gitu?" Rachel menaikkan alisnya, tak percaya.
"Iya bener. Wajar kali, ah!"
"Menurutku sih nggak wajar. Kamu tahu lah si bos itu dinginnya kayak gimana. Bahkan kayaknya dia nggak peduli tuh kalau karyawannya ada yang meninggal. CS yang dulu aja sampai resign gara-gara apa? Ya gara-gara bos pinguin antartika itu nimpuk dia pake kerjaan di luar job desk-nya lah. Lah kamu? Kamu malah begitu banget diperhatiin sama dia."
Aku tertawa kecil. Sayangnya semua yang aku beberkan tak pernah aku kurang-kurangi. Toh, buat apa? Satu dunia sudah tahu kalau aku sukanya dengan Rafael.
"Duduk, Rin!" kata Pak Rahman datar. Pandangannya tak lepas dari layar komputer. Tangan kanannya masih sangat lihai mengetikkan sesuatu, sedang tangan kirinya sibuk mengeklik mouse.
Pandanganku tak bisa lepas dari wajah tampannya. Jika aku memilih lelaki berdasarkan wajah, aku pasti sudah memilih bosku ini. Betapa tidak, ia kekar, tubuhnya tegap. Pakaiannya selalu mulus, tanpa ada lusuh sedikit pun. Wajahnya putih sempurna. Kalau aku disuruh milih antara nonton film atau memandangi wajah bosku ini, sudah pasti aku milih dia. Dan karena aku milih pendamping hidup dari agamanya, maka pilihanku jatuh pada Rafael.
Namun kadang aku mikir, di umurnya yang sudah memasuki tiga puluh tiga, kenapa si bos tak kunjung menikah. Aku dengar-dengar keluarganya sudah sering menjodohkannya, tapi dengan anehnya dia malah membuat wanita ilfill. Hal yang ingin banget aku lihat. Sayangnya di depan kami para kacungnya, si bos selalu terlihat dingin.
"Kerjaanmu sudah beres?" lanjut Pak Rahman, lagi-lagi matanya masih fokus melihat monitor.
"Sudah," kataku, mencoba untuk bersikap sedinginnya. Agak geram rasanya, padahal laporan pembuatan kartu atm dan rekening baru sudah aku rangkum dan kukirim ke emailnya, kenapa masih tanya soal kerjaan?
"Gimana dengan persiapanmu untuk interview? Ada yang kurang?" tanyanya tanpa mengalihkan mukanya dari monitor. Tidak sopan banget ya. Ini bos niatnya ngomong sama aku atau layar datarnya itu sih? Atau jangan-jangan dandananku ada yang salah? Aku rasa tidak. Buktinya Rafael tetap setia tuh sama aku.
"Sejauh ini sih baik-baik saja Pak," kataku to the point. Tak betah rasanya berlama-lama di ruangan si dingin ini.
"Aku dengar-dengar Rafael nggak ngizinin."
Eh-eh, tunggu-tunggu, apa? Sejak kapan si bos menyampuri urusan pribadi orang? Kalau urusan kerja aja disuruh profesional, ini kenapa makhluk satu ini malah menjelma jadi ibu-ibu tetangga?
"Dengar dari siapa, Pak?" aku siap-siap memasang kuping. Biasanya si bos kalau disinggung pasti jawabannya ngelantur. Siapa tahu kali ini dia pun lagaknya sama.
"Ya ... kan sudah tanggung jawab saya untuk mengetahui kondisi karyawannya."
"Benar sih, Pak. Tapi apa perlu sampai menyelidiki segitunya?"
Dan pelu Bapak tahu, aku bahkan belum ngomong ke Rafael masalah ini. Lalu gimana ceritanya Rafael mutusin nggak setuju? Orang dia aja belum tahu, batinku.
Kutatap wajah Pak Rahman. Wajah dingin itu akhirnya terlihat sedikit gelisah. Matanya tak mau bersitatap dengan mataku, dia tetap saja memerhatikan monitornya itu. Andai saja aku tak sabar, sudah terbang tuh monitor. Aku pun kembali memasang telinga lekat-lekat. Aku yakin kali ini si pinguin antartika pasti akan menceracau tidak jelas.
"%%%***%%%."
Kan bener.
"Dengan segala hormat saya, Pak. Mohon maaf sekali. Perkataan Bapak ndak jelas."
Pak Rahman menarik napas dan aku kembali memasang telinga lekat-lekat. Aku tahu jawabanku tadi adalah skakmat buatnya.
"Sudahlah, tapi lebih baik, kalau pacarmu itu nggak dukung, tinggalin aja. Banyak lelaki yang lebih pantas buatmu."
Aku hanya bisa memiringkan dahi. Ini kenapa jadi aneh banget. Sejak kapan Pak Rahman jadi konselor percintaan?
Baru saja aku mau membuka mulut untuk menyangkalnya kembali, Pak Rahman malah mengambil jasnya lalu berdiri.
"Persiapkan dirimu dengan matang, Rin. Kesempatan ini tidak turun dua kali." Dan dia pun pergi.
***
Hingga kini aku masih bertanya-tanya mulut siapa yang menyebarkan informasi mengenai Rafael. Kurasa aku hanya curhat kepada teman-teman barisan front office saja dan aku yakin mereka tidak mungkin ember. Terus siapa yang bilang ke dia?
"Kurasa perhatian Pak Rahman biasa-biasa aja, lah. Secara program beasiswa ini kan nguras dompet kantor banget. Dan yap, yang jadi award-nya tentu harus dipersiapkan secara matang. Toh, besok kalau aku lolos interview aamiin lalu lulus dari New Zealand, kan ada kontraknya untuk terus bekerja di perusahaan ini," sanggahku ke Rachel.
"Make sense, sih. Tapi kalau dikaitkan dengan fakta bahwa si bos masih jomblo itu jadi mencurigakan." Rachel tertawa kecil.
"Ah, garing. Udah tahu si bos itu jomblo gara-gara sifatnya yang nyebelin, kenapa aku juga yang dibawa-bawa? Dan kamu tahu kan kenapa dari generasi ke generasi dia dijuluki pinguin antartika?"
Rachel tidak menjawab. Ia menyedot es tehnya sembari mengangkat kedua pundaknya. Who's know.
Hai maaf ndak update-update. Soalnya selain nulis di sini aku juga nulis di beberapa platform lain seperti Karyakarsa. Ada juga di wattpad yang on going. Judulnya Salam Tasbih Cintamu. Untuk karyakarsa linknya ada di komentar ya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top