Sesi Wawancara


Tenang Rin .... You can hold this! tenangku pada diriku sendiri.

Aku menarik napas. Segera kubunuh rasa gugup yang menjalar memenuhi dadaku. Enak saja. Sudah berbulan-bulan aku menyiapkan diri, dan mau gagal dengan hanya gara-gara rasa gugup? Big no.

Aku pernah merasakan jauh lebih buruk dari sekadar rasa gugup ini. Aku pernah. Aku pernah. Makanya aku tidak boleh sama sekali kalah dengan grogi seperti ini. Sekali lagi aku menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya, kubuka pintu dengan bacaan basmallah. Rafael dan ibunya pasti baik-baik saja. Kata dokter ibu Rafael hanya pingsan karena kelelahan. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Makanya aku harus bisa lolos tes tahap wawancara ini. Masalah dengan Rafael pikir nanti.

Aku mengangguk sopan lalu menyalami tiga orang pewawancara. Tahap pertama dari wawancara, jangan duduk sebelum disuruh. Itu salah satu tips interview yang manjur. Soalnya posisi aku di sini adalah tamu. Tamu tidak boleh dong kalau asal nylonong dan duduk saja.

"Silakan duduk!" kata salah seorang pewawancara.

Aku mengangguk lagi. Kursi yang hendak kutempati kugeser sedikit. Biasanya kursi wawancara seperti ini akan dihadapkan tepat ke pewawancara sehingga aura yang lagi diinterview terkunci. Sadar atau tidak posisi kursi ini akan membuat aku nantinya tak bisa bicara sama sekali alias gugup level tinggi. Setelah aku duduk, satu per satu dari pewawancara memperkenalkan diri. Mereka tidak menyebutkan bertugas sebagai apa. Hanya nama saja. Untung saja aku sudah browsing, sehingga aku tahu kalau empat orang di antara mereka ada yang dari akademisi, psikolog, dan tentu utusan dari kantor pusat. Kutebak orang itu jabatannya HRD. Kalau satunya, entahlah. Informasiku kurang detail.

"Silakan perkenalkan diri Anda!" suruh salah satu dari pewawancara.

Sejenak aku tersenyum sambil menarik napas kecil. Sangat tidak baik terlihat gugup di depan psikolog. Satu tingkah kecil sedikit saja akan membuat dia menyadari kalau kualifikasi diriku sangat tidak pas.

Aku pun memperkenalkan diri persis seperti esai yang kutulis sebelumnya. Esai berjumlah lima ratus kata yang juga mencangkup tujuan bidang studi yang akan diambil dan juga kontribusinya terhadap bank apa. Perkenalan diriku tidak usah panjang kali lebar. Akan sangat membosankan karena aku hanya karyawan biasa.

"Bisa diceritakan perjalanan karir dan prestasi Anda?"

Pertanyaan kedua diluncurkan. Sebenarnya semua jawaban dari pertanyaan itu sudah aku tuangkan secara jelas di CV yang aku buat. Namun tetap saja harus aku jawab sebaik mungkin. Mana mungkin aku ngegas sambil teriak, "Bapak baca CV saya, kan? Di situ sudah ada lho." Kalau pewawancaranya si Pingiun Antartika sih mungkin saja aku akan menjawabnya seperti itu.

Pertanyaan demi pertanyaan lainnya pun berdatangan dari segala sisi. Baik pertanyaan formal seperti mengapa aku mengambil jurusan ini di kampus ini. Mengapa harus New Zealand bukan yang lain? Sampai dengan pertanyaan mendalam tentang keluarga.

"Saya dengar kamu punya calon yang akan menikahimu. Jadi kalau dia tidak mau diajak ke luar negeri? Apakah kamu akan membatalkan beasiswa ini?"

Aku sedikit tercengang ketika mendengar pertanyaan itu. Dari mana petinggi-petinggi ini tahu kalau aku akan menikah. Segera pikiranku terlontar ke si Pinguin. Sebagai pemimpin cabang, apa dia yang ember ke atasan? Hebat banget dia menyudutkanku sampai segininya.

Untung saja aku berhasil menguasai diri sebelum si psikilog tahu kalau aku kaget dengan pertanyaannya. Ada gunanya juga melatih berbicara kepada orang tanpa harus melihat matanya. Jadi aku tak terlalu bingung mendengar pertanyaannya.

"Tidak. Saya akan tetap mengambil beasiswa ini," jawabku singkat padat dan jelas. Untuk kali ini, aku mempertajam mataku. Kupertegas dengan posisi tubuh yang tegar. Aku sama sekali tidak bohong masalah ini. Setelah menimbang-nimbang, aku mantap akan mengambil beasiswa ini. Masalah nikah, bisa kami rundingkan. Masih ada LDR, kan?

Orang yang menanyaiku tentang hubungan, menyandarkan kembali punggungnya ke kursi. Agaknya sesi pertanyaannya telah berakhir. Dan setahuku setelah psikolog, akan ada sesi pertanyaan terakhir tentang rencana masa depan. Satu sesi lagi. Aku yakin sejauh ini telah melewatinya dengan baik.

***

"Bagaimana?" tanya Qiana penuh antusias ketika aku keluar dari ruang wawancara. Sebenarnya aku sudah bilang kepada si Pinguin untuk tak memaksa adiknya ini untuk menemaniku. Kalian tahu apa jawabannya?

"Aku tidak mau kamu membuat bank saya pimpin terlihat menyedihkan."

Sumpah ketika dia bilang itu dengan muka datarnya, aku gemas sekali ingin nampol. Serasa gitu loh, aku cuma jadi alat popularitas baginya coba. Dasar bujang lapuk, dingin lagi. Untung saja wajahnya imut. Eh tidak. Aku tarik ucapanku soal imut. Amit-amit malah.

"Alhamdulillah ...," desahku.

"Wah berhasil, dong?" kejar Qiana.

"Insya Allah. Hanya Allah yang tahu hasilnya sekarang."

"Dan tiga hari lagi Kakak yang akan tahu."

Alisku segera terangkat. "Maksudmu Pak Rahman akan tahu pengumumannya lebih awal?" tanyaku memastikan. Masa sih pemimpin cabang yang merekomendasikan bisa tahu terlebih dahulu. Ya tidak fair dong. Harusnya langsung ke email peserta.

Qiana mengangkat bahunya. "Aku hanya dengar singkatnya saja. Tapi sepertinya kayak gitu, deh."

Semoga nggak ya Allah! Harapku dalam-dalam. Mana sudi pengumuman itu sampai di tangan si Pinguin terlebih dahulu. Satu, dia itu pria terdingin yang pernah aku temui. Dan kedua, mana bisa si Pinguin mengadakan surprise. Adanya malah cuma bisikan datarnya lagi.

"Selamat kamu lolos, Rin."

Idih membayangkannya saja ogah, apalagi kalau kejadian nyata.

"Makan dulu, yuk. Ini dikasih uang sama Kak Rahman."

"Maaf, Na. Tapi aku harus segera pergi."

"Yah ... kalau gitu, uang Kak Rahman nggak boleh aku gunain dong."

"Ha? Kok bisa?"

Qiana menggerak-gerakan ujung kakinya. Sepertinya dia sedang menimbang-nimbang akan sesuatu. Wajahnya saja sedikit tertekuk. Aku jadi bertanya-tanya, keajaiban apa lagi yang akan diciptakan Pak Rahman ke adiknya ini.

"Sebenarnya aku nggak boleh ngomong sama Kak Rahman. Tapi ya gimana ya. Cuma hari ini aku bisa mlorotin uang Kakak yang nggak pernah kepake buat apa pun," cerocos Qiana.

"Udah bilang aja. Aku bukan wanita ember, kok," ujarku halus yang sebenarnya aku bosan mendengarkan gundah gelisahnya soal kakaknya sendiri. Aku juga masih heran kenapa mereka bisa dilahirkan dari rahim yang sama. Apakah ketika mengandung Pak Rahman, ibunya ngidam ngemil es batu setiap hari? Lalu ketika mengandung Qiana, ibunya justru ngidam berjemur di bawah terik mentari pagi? Kok sifat mereka beda banget.

"Kak Rahman bilang kalau mau makan di restoran mewah, Kak Airin harus ikutan. Aku juga disuruh selfi nanti buat bukti. Katanya dia takut kalau karyawannya sampai pusing akibat tegang abis wawancara."

Aku melongo. Sumpah. Mulutku yang terbuka sama sekali tak kusensor. Ini si Pinguin kenapa sih? Selfie? Ok, fine. Akan aku tunjukan wajah super jelek ke arahnya. Dan jika perkiraanku benar, dia tak akan pernah sudi bertemu denganku lagi. Haha.

"Ok, deh, Na. Ayo kita habiskan uang kakakmu!"

Seperti apa rencanaku tadi, kami pun langusng ke restoran. Aku memang sudah lapar. Memaksa tubuh untuk bersikap formal dan melatih ekspresi tanpa tekanan, ternyata membutuhkan banyak energi. Jadilah perutku keroncongan seperti tidak makan apa pun dari pagi.

Qiana duduk di sebuah restoran Italy. Aku pun demikian. Qiana memesan carponata, sebuah makanan yang terbuat dari terong goreng cincang, seledri, caper, minyak zaitun, dan saus tomat asam manis yang ditambahi berbagai macam seafood. Sedangkan aku cukup simpel saja. Aku hanya memesan ayam parmigiana. Sebuah ayam yang dimasak dengan saus dan keju lalu dihidangkan dengan sphageti.

Qiana mengambil gawainya. Ia pun mengarahkan kamera depan kepada kami berdua. Aku pun bersiap.

"Mba Airin yakin mau foto kayak gitu?" tanya Qiana keherenan.

"Udah foto aja!" paksaku.

Dengan senyuman sinis dan pelengkap makanan seperti ini, aku berfoto. Aku yakin seribu persen, si Pinguin akan segera menghapus foto yang dikirimkan Qiana kali ini. Mana ada orang yang tahan dengan penampilan menjijikan seperti yang sedang kupergakan kali ini. Makan ini dasar bos dingin nan super sadis. Kali aja kan aku akan dikasih keringanan pekerjaan karena bos akan jijik dengan fotoku ini. Haha.


Sambil nunggu update bab barunya. Ayo mampir ke Dalam Tasbih Cintamu. Sudah end dan siap buat marathon.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top