Waktu Rafael kehilangan semua tabungan dan juga pekerjaannya, itu terakhir kali aku melihat dia sedih, namun tak sesedih yang sekarang. Dia kini benar-benar terpuruk. Tangannya menangkup di depan wajahnya. Air matanya tumpah dan tidak ada satu pun orang yang duduk di sampingnya.
Tas samping yang berada di bahuku jatuh akibat bahuku turun melihat Rafael yang terisak sendirian. Perlahan kubenarkan kembali tas di bahuku itu lantas menarik napas. Aku harus tegar. Aku tidak boleh bersedih. Aku harus bisa menjadi kekuatannya. Maka setelah yakin, aku pun menghampirinya yang masih terduduk lesu di ruang tunggu.
Aku jongkok di depan Rafael. Kubuka bekal yang sedari tadi kusiapkan untuknya, dengan cinta tentu saja. Rafael mendongakkan pandangannya, menatap ke arahku.
"Makan dulu!" tawarku sembari menjulurkan sesobek roti isi.
Rafael mengangguk. Ia membuka mulutnya. Lalu disaat dia mulai mengunyah roti buatanku itu, air matanya kembali berderai.
Aku menarik napas lalu beralih duduk di samping Rafael. Ragu-ragu tanganku menjulur ke arah bahunya. Namun saat isaknya terdengar begitu menyayat dan tangannya kembali menutupi wajahnya, aku spontan mendekap bahunya itu. Aku pun merengkuh kepalanya dan memeluknya. Rafael yang tadinya hanya menangis tertahan, kini tangisnya benar-benar pecah.
"Ibu Rin ... Ibu ...," desisnya. Rafael sama sekali tak bisa melanjutkan perkataannya.
Dengan lembut, kutepuk-tepuk bahunya yang kekar itu. "Sudah Mas ... sudah ...! Ibu akan baik-baik saja," lirihku. Sekuat tenaga aku menahan diri untuk tidak ikut-ikutan terisak. Sekuat tenaga, aku mencoba untuk menjadi sandarannya. Sekali ini saja, aku harus bisa.
Setelah makan malam dengan Pak Rahman dan bertemu dengan adiknya yang akan membimbingku untuk bisa hidup di New Zealand, aku segera menghubungi Rafael. Tujuanku kala itu hanya satu yakni menghilangkan wajah Si Pinguin Antartika itu dari pikiranku. Namun aku sama sekali tak menyangka kalau jawaban dari telepon itu akan seperti ini.
Tadi waktu aku menelpon, Rafael tak kunjung mengangkatnya. Aku pun cemas. Kukira dia masih marah perihal aku yang telat datang ke ulang tahun ibunya dan diantar sama si bos lagi. Tapi ternyata bukan itu. Rafael sedang berburu waktu karena ketika dia pulang dari kantor, dia menemukan ibunya pingsan tergeletak di sebuah ruangan. Dia belum menjelaskan secara detailnya seperti apa. Dan begitulah sekarang. Aku tidak pulang. Aku juga minta kepada Rachel untuk mengantarkan aku baju ganti. Akan lebih baik jika aku bermalam di sini. Sudah kubilang, kan, kalau Rafael tidak memiliki keluarga selain ibunya yang terbaring lemah di rumah sakit sekarang?
"Pulang, Rin!" suruhnya tiba-tiba.
Aku yang baru saja bertekad akan menginap pun serta-merta membelalakkan mata. Kok bisa! Sudah susah payah loh aku ke sini! Sampai bekal makan siangku tadi tidak aku makan dan aku kasih ke Rafael. Ini malah disuruh pulang.
Rafael memaksakan dirinya untuk tersenyum. Wajahnya masih sembab, kendati demikian senyumnya masih saja menentramkan.
"Aku tidak mau orang yang kusayangi jatuh sakit lagi," ujarnya lembut.
Egoku yang tadi hendak menolak pun berangsur menurun. Aku melemparkan senyum padanya. "Aku juga tak mau salah satu lelaki yang kucintai sehidup semati, juga sakit."
"Salah satu?" Rafael menaikkan alis.
"Iya, lah. Satunya kan Ayah."
Rafael tertawa. Akhirnya sinar wajah itu keluar juga. Aku sudah khawatir kalau raut sendu akan senantiasa menemaninya malam ini. Kukira aku harus menjadi Cak Lontong duluan untuk bisa mengubah kesedihannya menjadi senyuman.
"Aku mau pulang jika kamu menjanjikan aku satu hal."
"Apa?" tanya Rafael sembari mendekatkan wajahnya.
"Kamu harus tidur sekarang! Aku tak akan pergi sebelum kamu benar-benar tidur."
"Rin ... gimana aku bisa tidur kalau aku membiarkanmu pulang sendirian?" Rafael menggeleng pelan. Dari raut mukanya dengan jelas bahwa dia khawatir dengan keselamatanku.
"Kamu ini aneh, eh, Mas!"
Sontak Rafael kaget. Bahkan wajahnya yang tadi menjorok ke arahku kini menjauh. Matanya mengerjap-ngerjap, meminta penjelasan.
"Kamu kan nyuruh aku pulang. Sedangkan kamu kan harus jaga ibumu. Jangan bilang kalau kamu mau mengantarkanku."
Rafael diam. Aku pun meringis puas. Aku bertambah yakin kalau aku paling bisa men-skakmat perkataan seseorang. Boleh nih diuji coba besok kalau pas interview.
Bicara tentang interview .... Eh Ya Allah ... aku lupa kalau interviewnya besok. Ekspresi wajahku pun berubah seketika. Panik menyebar ke segala tubuh. Jam sudah menunjukan pukul satu dini hari. Padahal besok aku harus ke kantor pusat jam tujuh pagi.
"Kenapa Rin?" tanya Rafael. Dia nampaknya sadar akan kegugupanku. Jelas saja. Bahkan aku bisa merasakan bagaimana jantungku berpacu lebih cepat tinimbang tarzan yang mendaki pohon.
Aku pun segera tersenyum. Segera kuusir raut muka khawatirku itu. "Ndak papa. Khawatir saja kalau kamu nggak bisa tidur. Atau mau aku belikan susu hangat di depan? Katanya bisa bantu buat tidur?" tanyaku masih berusaha untuk menutupi kegugupan yang ada.
Rafael buru-buru menggeleng. Aku paling tahu kalau dia tak mau merepotiku sama sekali. Jadi ini adalah trik buat suruh dia agar cepat-cepat masuk ke ruangan dan tidur di samping ibunya. Sayangnya Rafael tuh sedikit tidak peka. Dia malah berdiam lagi di kursi tunggu ini.
"Kamu mau aku temanin sampai subuh?" tanyaku.
"Nggak lah. Kamu besok kan harus kerja. Pulanglah! Please ...," pintanya halus.
Aku menyedekapkan tangan. "Kan udah aku bilang, kalau aku tuh mau pulang asalkan kamu masuk dan tidur!" tandasku.
Rafael pun akhirnya menurut. Dia masuk ke kamar rawat ibunya. Sejenak sebelum masuk, dia mengangguk ke arahku, menjulurkan lidahnya sembari menarik satu kelopak mata ke bawah. Aku sempat kesal, tapi ekspresi itu berarti satu hal, dia sudah baik-baik saja kini.
"Awas kalau mimpiin wanita lain!" semburku sebelum dia menutup pintu.
Rafael hanya mengacungkan jempol dan membuatku tertawa kecil. Dari balik jendela pintu, kulihat dia yang mulai merebahkan diri di samping ibunya. Tentu dia hanya duduk, kepalanya berbantalkan tangan. Lelaki itu pasti tidak persiapan membawa apa pun ke rumah sakit ini. Aku berjanji besok akan membawakan segala hal yang diperlukannya.
Baru aku keluar gerbang, Rachel datang bersama pacarnya. Sempat aku kaget melihat mereka berduaan selarut ini.
"Ngapain kalian berdua ...?"
Sebelum kuselesaikan kalimatku, Rachel menunjukan cincinnya. Begitu juga dengan pacarnya itu. Eh gila cepat sekali mereka bertunangan. Kukira Rachel tipe wanita yang sangat pemilih.
"Kalah start lo, Rin!" bisiknya.
Aku pun melemparkan wajah ketus. Satu karena ejekan Rachel tadi, dua karena kenapa dia bertunangan tapi aku tidak diundang?
Setelah masuk ke kursi belakang, aku akhirnya bisa bernapas lega. Kubuka ponsel yang sedari sejam lalu tidak aku periksa sama sekali. Tertera di sana ada chat masuk pertama dari Rafael yang mengatakan tak akan tidur sebelum dikirim fotoku pas di rumah. Dia memang keras kepala, meski tak sekeras aku, tapi aku suka itu. Manis. Haha.
Aku lantas menyekrol chat setelah membalas Rafael. Tentu dengan selfie dengan ekspresi yang sama seperti saat dia berpamitan denganku tadi. Tak lupa aku juga memfoto agar dia tidak khawatir. Satu yang penting sekarang. Dia sudah tenang dan akan tetidur dengan sendiri karena lelah.
"What?" teriakku spontan saat melihat satu chat dari bos.
"Kenapa Rin?" tanya Rachel sembari menengok ke belakang.
"Lo baca sendiri, deh!" ujarku sembari memberikan ponsel yang telah menampilkan chat dari si pinguin antartika.
"Ini beneran dari Si Bos?" tanya Rachel tak yakin dengan yang dia lihat. Aku saja tidak yakin, apalagi dia. Tapi itulah fakta yang terjadi sekarang.
"Rin! Dia telpon!" jerit Rachel.
Aku yang sudah dikejutkan dengan chat si pinguin yang berisi pesan ajaib, pun membelalakkan mata. Terlebih saat aku tahu kalau Rachel tidak bercanda. Dia si dingin tapi bermuka imut nan ganteng sedang menghubungiku. Di jam satu lebih seperempat dini hari lagi. Masa sih dia tidak tidur dan menunggu aku membuka chat-nya. Imposible!
Jangan lupa mampir ke DALAM TASBIH CINTAMU. Ceritanya sudah tamat loh, jadi langsung bisa estafet sampai khatam. Terima kasih.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top