Selamat!
Aku duduk di belakang kursi. Komputer di depan sudah menyala. Sialnya hari ini customer sepi. Mungkin karena hari Kamis. Biasanya di kantor kalau hari tengah-tengah begini selalu saja sepi. Tapi itu justru yang tak aku inginkan di minggu ini. Karena jika kantor sepi, hal yang harus aku lakukan adalah masuk ke ruangan kepala cabang dan menyerahkan berkas laporan.
"Lo aja yang masukin berkas nih ke ruangan Pak Rahman!" pintaku pada Rachel.
"Dan lo mau bantuin gue nyelesaian laporan?" tanggap Rachel enteng.
Aku mencibir. Enak aja nih orang. Asal ceplos. Sudah kubilang juga untuk mengurangi interaksi sama pacarnya. Ujung-ujungnya apa? Dia juga yang rempong masalah kerjaan yang selalu saja tidak selesai pada tenggat waktunya. Untung saja Si Pinguin tidak melabrak Rachel. Atau lebih tepatnya belum. Eh bentar-bentar. Ini kok aku jadi muji Si Pinguin. Ih amit-amit. Pahit-pahit.
Hadeh ... nggak ada pilihan lain, nih, desahku dalam hati.
Aku pun dengan berat hati mulai melangkah. Sumpah rasanya setiap kali aku mengangkat kaki, berat banget. Kayak ada cintanya Rafael yang nyangkut, eh. Mungkin karena cintaku dengan Rafael juga sehingga aku ogah ketemu sama si bos. Coba kalau aku tidak ada hubungan, pasti senang-senang aja tuh nyerahin laporan. Apalagi karena dia ganteng.
Airin! Stop! Stop nyebut Si Pinguin ganteng! cerca hatiku sendiri.
Benar. Kalau sedikit saja muji dia, bisa-bisa aku beneran cinta lagi sama dia. Tidak. Itu tak akan terjadi. Selama langit belum menyentuh bumi, tak akan kusembahkan hatiku pada si pinguin.
Dengan lirih, aku mengetuk pintu Pak Rahman. Si bos ini pendengarannya tajam. Ada ribut sedikit saja di luar, dia bisa tuh keluar dan ngecek. Makanya kami kalau ghibahin si bos, eh salah, kalau kami sedang mengadakan focus grup discussion tentang si bos, kami harus keluar dari kantor.
Pernah dulu ya, ketika kami lagi asyik-asyiknya membahas apakah Pak Rahman masih bujang atau tidak, dia tiba-tiba keluar dari ruangannya coba. Lalu kami semua yang ada di front office kan auto diam. Nah saat itu dia nyeletuk, "Saya masih bujang dan belum punya keinginan untuk menikah."
Sontak saat itu, kami semua bengong. Amsyong dong. Front office itu di lantai satu. Sedang ruangan kepala cabang itu di lantai dua. Ini lalu bagaimana caranya Pak Rahman bisa dengar. Maka mulai dari situ, kami sekantor memutuskan untuk mengadakan focus grup discussionnya di luar kantor saja. Atau ya minimal di grup WA lah. Aku yakin kalau Pak Rahman bukan haker.
"Masuk!" cetus Pak Rahman.
Segera nyaliku pun menciut. Asem banget. Kenapa dia di kantor sih. Kenapa juga dari satu hari dari satu minggu, harus hari ini dia di kantor. Kenapa pula tidak ke bank pusat, mengurus apa kek di sana.
Aku menelan ludah lalu membuka pintu perlahan. Dia, Pak Rahman yang terhormat dengan gagahnya duduk di singgasananya. Tentu dengan aura yang dingin dan tak menghiraukan sama sekali yang masuk ke ruangannya. Tidak normal. Bahkan biasanya manusia akan melihat siapa yang masuk ke ruangannya. Minimal ya melirik sedikit lah. Ini Si Pinguin malah tidak sama sekali.
"Duduk, Rin!" ujarnya tanpa melirikku sama sekali.
Aku pun menuruti perintah lalu melempar tatapan sinis ke arahnya. Bisa-bisanya dia tahu kalau aku yang datang dan bukan karyawan lain. Padahal dengan jelas, sedari aku masuk ke ruangan Pak Rahman, aku selalu mengarahkan pandangan ke dia. Dan dia sama sekali tidak mengalihkan matanya dari berkas-berkas di atas mejanya.
Kalau Pak Rahman itu ayahku, aku mungkin bisa maklum. Lah dia bukan siapa-siapaku kok. Mana mungkin dong dia hafal dengan langkah kakiku.
"Sepatumu sedikit rusak, ya?" tanyanya tiba-tiba. Wajahnya masih tidak beralih dari tumpukan kertas.
"Maksud Bapak?" Aku pun mengangkat alis. Memang sepatu hakku sedikit bermasalah. Tapi kok ini jadi semakin mengerikan. Atau cuma perasaanku saja?
Pak Rahman tiba-tiba menghentikan kerjaannya. Dia pun membungkuk, menghilang dari pandanganku sejenak. Dia meraih sesuatu di kolong meja lalu beberapa saat lagi keluar.
"Hari ini, hari ulang tahunku. Bagikan ini kepada karyawan yang lainnya," ujarnya tanpa ekspresi apa pun.
Bentar-bentar! Ini kok tidak masuk akal sekali. Tadi bahas sepatu, lalu tiba-tiba kok bahas ulang tahun. Korelasinya di mana coba? Tapi ngomong-ngomong kok kasihan sekali manusia satu ini. Sampai harus mengakui hari ulang tahunnya segala. Tidak ada yang mengadakan atau bagaimana.
"Baik, Pak," jawabku singkat. Rasanya sedikit ogah untuk mengucapkan selamat ulang tahun. Jika benar sangkaan Ryan bahwa orang di depanku ini sedang naruh hati padaku, akan sangat riskan untuk sekadar mengucapkan happy birtday padanya. Bisa-bisa dia GR.
"Tapi ingat harus orang lain yang buka duluan! Jangan kamu!"
Aku memutar bola mata. Yee siapa juga yang peduli. Aku juga nggak mau kok makan pemberian Bapak ini! semburku dalam hati.
"Laporan customer-nya taruh saja. Kamu boleh pergi sekarang!" sambungnya singkat.
Aku yang sedari menatap sinis ke arahnya pun tambah sinis. Curiga. Tidak mungkin ada hari di mana Pak Rahman tidak mengoreksi hasil laporanku. Setidak mungkin akan ada hujan kucing di bumi ini. Tapi hari ini kok bisa! Aneh! Aneh.
Namun aku tak mau buang-buang waktu lagi di ruangan sedingin kulkas ini. Segera kuucapkan terima kasih lalu melenggang, menjauh dan menutup pintu. Kalau dia tidak mau mengoreksi, alhamdulillah dong. Aku jadi tidak susah-susah buat revisi.
Aku baru turun dan baru saja mau memberikan kotak yang entah berisi apa, Pak Rahman ikutan turun. Dia tanpa memandangku sama sekali langsung keluar begitu saja. Tampaknya begitu tergesa-gesa.
Kalau buru-buru gitu, kenapa nggak pergi dari tadi saja sih Pinguin! umpatku dalam hati.
"Itu apaan, Rin?" tanya Rachel ketika aku hendak duduk.
"Ini?" tanyaku sembari mengangkat kotak yang sedari tadi aku pegang.
Rachel mengangguk.
"Ini dari Pak Rahman. Dia bilang lagi ulang tahun. Katanya ini buat kita makan. Tapi gue nggak boleh buka duluan. Lo gih buka!" jelasku singkat lalu menyerahkan kotak ke Rachel.
"Ulang tahun? Gue inget banget kalau si bos ulang tahunnya masih lama," celetuk Ryan yang mulai beranjak mendekat. Kebetulan ini juga jam-jam hendak tutup. Jadi tak ada customer yang akan masuk kantor lagi.
"Sok tahu, lo, Bang! Orang si bos bilang sendiri ke gue kalau dia hari ini ulang tahun!" debatku.
Ryan merogoh sakunya untuk mengambil gawainya. Setelah jari-jarinya menari sejenak di sana, dia pun menunjukan tampilan layar yang muncul. Dan aku pun membelalak melihat potongan CV milik Pak Rahman.
"Gue punya kenalan HRD. Ya meski ini ilegal, tapi gue selalu dapat updatetan berita terbaru dari dia."
Aku manggut-manggut. Jadi ini alasan Ryan selalu mengetahui kabar terbaru yang akan terjadi di kantor.
"Terus ngapain dia bohongin gue gitu? Nggak masuk akal!"
"Doi minta diberi hadiah kali sama lo!" tebak Ryan.
"Boro-boro hadiah. Tadi dia bilang lagi ulang tahun aja, gue nggak kasih selamat."
Ryan hendak berkata lagi, tapi urung. Rachel keburu memotong perdebatan tidak berfaedah kami dengan memanggilku. Segera saja aku dan Ryan mendekati Rachel. Kali ini Rehan yang sedari tadi anteng saja, tengah memasukkan uang, kini turut mendekat.
"So sweet banget!" komen Rachel ketika mengangkat sebuah kertas dari dalam kotak.
"Wah, selamat, Rin!" ujar Rehan.
"Gila sih, Si Bos nggak main-main kasih suprisenya!" tanggap Ryan.
Di tengah-tengah kegaduhan itu, aku hanya bisa melongo. Aku lolos tahap interview? Dan kabar ini dari si bos. Merasa tidak percaya, aku buru-buru menyalakan gawai lalu masuk ke email yang kugunakan untuk mendaftar. Tepat di sana, ada email yang belum terbaca dan berisi kalimat CONGRATULATIONS.
"Airin, selamat!" teriak Rachel sembari memelukku erat-erat. Tangannya mengambil brownis strawberry lalu menyuapiku, "Ayo dimakan ini hadiah dari Si Bos!" anjurnya.
Aku masih tak bereskpresi apa pun. Bingung. Semua pikiran tiba-tiba bercampur aduk dalam pikiranku. Antara bahagia dan juga bingung. Aku saja tak tahu harus mendeskripsikan isi otakku seperti apa. Mungkin lebih tepatnya otakku lagi freez, beku. Sedang ngehang.
"Lo kenapa, Rin?" tanya Rehan.
Dan ketika suara Rehan itu terdengar ke telingaku, seketika fokusku tiba-tiba saja kembali. Aku pun berteriak histeris. Tangisku pecah. Rasa bahagia menyeruak begitu saja. Saking senangnya, aku sampai melompat-lompat, tak menghiraukan Rachel dan yang lainnya sedang menikmati brownis pemberian Pak Rahman.
"Pak Rahman?" desisku.
Segera aku pun berlari keluar. Baru saja aku sadari kalau karena lelaki itu aku bisa melangkah sejauh ini. Baru saja aku menyadari kalau selama ini Pak Rahman sangat baik padaku. Tak seharusnya aku berbuat jutek padanya. Tak seharusnya aku membuat mimik muka ketus setiap hari padanya.
Sayangnya ketika aku sudah sampai keluar bahkan menyusulnya sampai ke parkiran, nihil. Dia sudah tidak ada di sana. Aku pun berputar, hendak kembali ke kantor. Namun ujung mataku menangkap ada sesuatu. Segera aku menghampiri satu tas belanja yang menggantung di spion mobil. Dan ketika aku membukanya, sebuah sepatu hak baru tersimpan rapi dengan ucapan singkat seperti yang ada di kotak brownies tadi. Selamat ke New Zealand.
Ayo mampir ke Dalam Tasbih Cintamu di sebelah. Ceritanya sudah TAMAT. Bisa dibaca marathon dengan santuy.
Please comment ya biar ramai.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top