RENCANA JAHAT


            Hari-hari setelah itu, Airin tak pernah membicarakan hal itu denganku. Ibu bahkan tak membahas apa pun seusai makan malam itu. Airin ketika aku tanya juga terus-terusan menghindar. Namun aku pun menyadari satu hal ketika hujan lebat datang. Waktu itu, untungnya aku bisa pulang sebelum hujan datang.

Beruntungnya, aku sampai rumah sebelum hujan lebat itu turun. Saking lebatnya bahkan tak ada seorang pun yang lewat. Jalanan di depan rumahku yang biasanya banyak dilalui oleh motor, kini tak ada satu pun yang terlihat. Warung mie ayam di seberang jalan juga memutuskan untuk menutup lebih awal.

"Kamu udah pulang, El?"

"Iya, Bu. Baru aja nyampe. Alhamdulillahnya ndak kena hujan."

"Nggak bareng sama Airin?"

Aku menarik bibir, tersenyum. Kudekati ibu yang tengah membuat minum. "Hmm ... bukannya kemarin waktu aku ajak Airin ke sini, Ibu nggak suka sama dia, ya?" tanyaku.

Ibu membuang muka. Dia lalu memberikan segelas teh yang sudah jadi kepadaku dan mengangkat cangkir miliknya dan mulai minum. Dia menutupi separuh wajahnya.

"Ibu?" tanyaku sembari menyengir. Seumur hidup bersama ibu, aku belum pernah melihatnya seperti ini.

Aku makin nyengir. "Ibu merestui hubungan kami, kan?" tanyaku kembali sembari menaik-turunkan alis.

Ibu berdeham. "Ibu nggak akan merestui hubungan kalian kalau kamu nggak memastikan Airin pulang tanpa kehujanan sekarang!"

Aku menggeleng. "Masa Ibu tega menyuruh anak semata wayangmu untuk menembus hujan yang sangat deras ini?" tolakku sembari tersenyum. Aduh rasanya gemas sekali. Kenapa ibu tidak mau jujur saja?

"Hujannya udah berenti!" kata Ibu dan ajaibnya meski tidak benar-benar berhenti, hujan memang reda. Aku pun makin percaya kalau doa ibu benar-benar ampuh. "Lagian kamu kan pakai mobil. Sudah sana jemput Airin dulu."

"Ibu tahu dari mana Airin belum pulang? Siapa tahu dia sudah pulang."

"Ooh udah berani nentang Ibu sekarang kamu, ya!"

Aku makin tertawa. Senyumku sama sekali tak mau turun. Baru saja aku sampai rumah dan baru saja aku duduk. Aku belum ganti pakaian atau pun sempat minum. Namun rasa lelah seharian dan jenuhnya, sekarang seketika menghilang.

"Jawab dulu pertanyaanku dong, Bu. Ibu restuin hubungan kami, kan?" tanyaku lagi, kali ini agak sedikit mendesak. Aku sampai berdiri dari bangku lalu menghadap di depan kursi roda ibu. "Ibu suka, kan sama Airin?" lanjutku.

Ibu seketika menautkan alisnya. "Rafael, hujannya nanti deras lagi!" katanya dengan nada yang serius. Ibu lantas mendorongku, "Semakin cepat kamu jemput Airin, semakin cepat juga Ibu jawab," sambungnya kemudian.

Aku terkekeh lalu berdiri. "Iya-iya," kataku. Aku masih tertawa kala meninggalkan ibu sendirian di ruang tamu. Segera saja aku berlari ke garasi dan kembali menghidupkan mobil. Kulonggarkan dasi dan menghubungi Airin.

"Halo?" jawabnya saat teleponku diangkat.

Aku menarik napas sejenak. Kutekan keinginanku untuk tertawa. Kendati aku dapat menebak apa yang dibicarakan oleh ibu dan Airin kemarin malam, aku juga ingin mendengar dari Airin sendiri. Pokoknya malam ini, aku ingin berakting. Langit juga lagi hujan, jadi kayaknya pas buat berakting dramatis.

"Kamu di mana?" tanyaku.

"Masih di kantor, nih. Aku lembur. Kenapa emang?"

"Pulang jam berapa?"

"Udah kelar, sih. Tapi di luar masih hujan. Dari tadi juga nggak ada ojol yang nerima orderanku, jadi keknya mau streaming dulu sampai ada yang ngambil orderanku."

"Ooh!"

"Kamu belum jawab pertanyanku tadi, loh. Kenapa emang?"

Aku yang ingin tertawa pun menyingkirkan telepon jauh-jauh dari bibirku. Setelah yakin aku bisa menahan tawa, aku pun kembali mendekatkan telepon.

"Aku ke sana, ya!" ujarku dengan nada sedalam mungkin.

"Tapi ...."

Dan aku pun memutuskan telepon.

"Maaf, ya, Rin. Tapi aku pingin banget denger apa yang kamu bicarakan sama ibu kemarin!" kekehku.

Aku pun makin melajukan kendaraan. Sambil memutar lagu milik Payung Teduh, aku menembus hujan yang mulai deras kembali. Sudah kukatakan kalau perkataan ibu itu keramat. Dia bilang hujannya reda, otomatis diijabah oleh Tuhan, dan ketika ibu berkata akan deras, eh jadi kenyataan lagi. Namun justru makin deras malah makin bagus.

Tak lama, aku pun sampai di kantor Airin. Tak ada orang di depan. Bahkan satpam pun sepertinya memilih masuk ke dalam gedung, alih-alih memilih berjaga di luar. Ya, wajar saja. Soalnya di luar sangat dingin.

Airin sudah duduk di kursi luar. Dirinya tampak tengah memainkan gawai. Aku pun bercermin sejenak, memastikan tidak ada rona-rona kebahagiaan yang tampak di wajahku. Mata Airin sangat jeli. Aku pernah membacanya di sebuah buku, katanya orang yang sayang kepada kita, akan sangat peka terhadap setiap inci raut wajah. Maka dari itu, aku sama sekali tak ingin terlihat senang.

Aku keluar dari mobil. Parkiran di depan bank cukup luas. Dan sekarang hanya ada mobilku di sini. Kubiarkan hujan menyambut tubuhku. Aku sengaja tak membawa payung ataupun jas hujan.

Airin seketika berdiri. Wajahnya yang awalnya ceria melihat mobilku, kini langsung gelisah. Pupil matanya membesar, alisnya turun, dan bibirnya pun melengkung.

Aku terpaku di parkiran. Tak sejengkal pun aku melangkah dari ambang pintu mobil. Aku ingin hujan kian membasahi tubuhku seperti yang ada di film-film. Semakin basah semakin bagus. Dan ketika terdengar suara guntur, aku pun berteriak 'yes' dalam hati. Sepertinya alam benar-benar mendukungku untuk mengetahui percakapan Airin dan ibu.

"Mas! Jangan hujan-hujanan!" teriak Airin dari teras bank.

Alih-alih melakukan apa yang Airin pinta, aku justru masih terdiam di parkiran. Aku menunduk, memandangangi tanganku yang saling menggenggam.

"Mas!" teriak Airin.

Aku melihatnya tengah melambai-lambaikan tangannya. Dia masih mencoba menyuruhku untuk segera berteduh.

"Mas! Jangan hujan-hujanan, nanti sakit!" teriaknya lagi.

Aku makin tertunduk. Aku pun mulai sesenggukan. Tentu bukan sesenggukan sesungguhnya. Kan aku sedang akting.

"Mas?" kata Airin yang kini tak lagi berteriak. Sepertinya dia mulai khawatir denganku.

Aku tak berkedip. Kubiarkan rinai hujan menyentuh mata. Aku ingin mataku terlihat merah saat Airin ke sini. Tidak lucu jika orang menangis tapi matahnya malah bening.

"Apa yang terjadi?" tanya Airin yang kini sudah berada di depanku.

Aku sedikit kaget saat mendengarnya. Segera saja aku sesenggukan kembali. Baru ketika mataku terasa perih, aku pun menatap ke Airin.

"Aku ... aku bingung, Rin!" kataku terbata-bata.

Airin diam. Dia sempurna mematung. Bajunya yang kering, kini sudah basah. Satu per satu air hujan menetes dari alisnya. Dia tak berbicara, menungguku untuk meneruskan kalimatku terlebih dahulu.

"Aku bingung karena ibu ... ibu ... sepertinya tidak merestui hubungan kita. Aku bingung ...." Aku pun mendongakkan kepala, membiarkan adegan ini lebih realistis lagi. Dengan hujan yang kini menyentuh pipiku, aku yakin Airin pasti sedang mengira kalau aku sedang menahan tangis. Padahal aslinya aku sedang menahan tawa.

"Aku bingung, Rin. Aku nggak bisa milih antara kamu atau ibu," pungkasku dengan bahu yang berguncang. Uh, sepertinya aku akan langsung diterima di televisi kalau selalu bisa berakting seperti ini. Lihatlah! Bahkan Airin sekarang kehilangan kata-katanya.

Setelah yakin bahwa raut mukaku tampak cukup meyakinkan, aku pun menjatuhkan pandanganku kepada Airin. Kini terlihatlah sudah wajah Airin yang cukup tercengang. Raut gelisahnya yang tadi tak cukup terlihat, kini benar-benar jelas tampak.

Airin menggeleng. "Nggak mungkin ... nggak mungkin, Ibu nggak merestui hubungan kita," katanya. Airin lalu mengusap wajahnya. "Saat pertama kali kamu bawa aku ke rumah, kami memang tak langsung akrab, tapi ketika kamu ada di belakang, ibu bilang bahwa dia sangat senang akhirnya anaknya bisa menemukan jodohnya. Ibumu bahkan bilang kalau dia akan terus mengawasi kita. Dia khawatir kalau kamu terlalu manja sama aku." Airin menjeda kalimatnya. Bunyi rintik hujan yang begitu deras pun menjadi suara di antara kami.

"Jadi ... jadi ... mana mungkin kalau ibu tak merestui hubungan kita," kata Airin sambil sesenggukan.

Aku yang sedari tadi menahan tawa, kini pun tak bisa menahannya lagi. "Apa aku bilang? Aku akan membuatmu mengatakan apa yang kamu sama ibu bicarakan, kan?" kataku sembari terus tertawa.

Airin pun menyeka air matanya. "Mas Rafael!" teriaknya.

"Ya?"

"Iih!" Airin pun melemparkan tasnya padaku.

Aku segera menghindar. Airin segera mengejar. "Awas kamu, ya!" katanya sembari teurs mengejarku. Kami, dua manusia dewasa, berlari-larian di bawah hujan, seperti anak kecil, di tengah parkiran lagi. Namun kami tak peduli. Dan terus berlarian sambil tertawa sampai kelelahan. Baru setelah aku menyerah dan Airin berhasil menghantamkan tasnya ke kepalaku, kami berhenti. Nasibnya pada keesokan harinya, kami berdua sakit dan hanya bisa video call seharian.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top