PERTEMUAN DENGAN QIANA
"Kenapa, Na?" tanyaku setelah bertemu dengan Qiana di sebuah restoran.
Qiana sedikit terlihat aneh. Dia terus-terusan hendak berkata, tapi tidak jadi. Begitu terus sampai aku bingung sendiri mau menanggapinya seperti apa. Sampai ketika pelayan datang dan menyajikan pesanan kami, Qiana masih seperti itu.
"Udah bilang aja! Kalau aku bisa bantu, pasti aku bantu."
Aku sedikit sangsi. Biasanya orang yang berlagak seperti Qiana ini bau-bau mau pinjam uang. Tapi Qiana kan anak orang kaya, terlebih kakaknya juga kepala cabang bank tempatku bekerja. Jadi mana mungkin dia mau meminjam uang.
"Apa Mba Airin serius?" tanyanya.
Aku mengangguk dengan pasti. Kusentuh tangan Qiana. "Tentu. Kamu kan sudah banyak membantuku. Jadi apa pun itu, aku pasti akan bantu."
Aku sedikit nyengir. Ya tak apalah. Kalau Qiana butuh uang, akan kekeluarkan tabunganku. Lagipula yang dilakukan Qiana tidak bisa dibandingkan dengan nominal uang. Berkat dia, sekarang aku resmi jadi award beasiswa kantor.
Qiana memandangku. Tampaknya dia masih ragu-ragu. Melihatnya seperti itu, aku pun tersenyum lantas mengangguk, memberinya kepastian.
"Kalau begitu, menikahlah dengan Kak Rahman, Mba!" ujar Qiana.
Senyum manisku seketika berubah menjadi melongo. Apa dia bilang? Menikah? Apa Pak Rahman tidak cerita kalau aku sudah punya lelaki lain? Tapi tunggu dulu. Bisa saja aku salah dengar.
"Maksudmu?"
"Mba Airin, satu-satunya wanita yang bisa membuat Kak Rahman jatuh cinta. Bahkan perlahan kebiasaan buruknya perlahan mulai hilang. Mba Airin tahu sendiri kalau Kak Rahman itu ndak pernah sarapan, tapi tadi pagi, untuk pertama kalinya, dia masak sarapan, Mba."
Aku masih cengo. Otakku tak bisa berpikir jernih. Bisa ya hidup sebercanda ini. Kemarin aku diburu-buru jawaban oleh Rafael, kini malah Qiana datang dengan kalimat yang sama.
"Ah mungkin karena orang lain kali, Na. Mana mungkin Pak Rahman jatuh hati sama aku," tolakku halus.
Sayangnya Qiana tak peka dengan jawabanku barusan.
"Mba Airin ingat foto kita di restoran setelah selesai wawancara? Foto itu dipajang sama Kak Rahman di samping meja tidurnya. Dan selain aku sama ibu, baru pertama ada foto perempuan lain di kamarnya."
Cleb. Perkataan Qiana tadi sempurna membuatku mati kutu. Ternyata Ryan tak asal membual. Dia benar-benar melihat foto itu di ruang kerja Pak Rahman. Dan parahnya ternyata itu bukan foto satu-satunya. Di rumah Pak Rahman juga ada.
"Mbak Airin, besok aku akan kembali ke Australia. Aku tak tega meninggalkan Kak Rahman sendirian, makanya aku bilang seperti ini sekarang. Aku minta maaf ya kalau lancang," tutur Qiana.
Aku menggeleng. "Tak apa-apa, Na. Aku paham kok dengan kekhawatiranmu. Tapi mohon maaf, aku belum bisa menjawab. Dan sejujurnya aku ...." Perkataanku terpotong. Rasanya tak enak saja kalau aku mengakui bahwa sudah punya gebetan. Lagipula aku cinta dengan Rafael, tapi kalau sama Pak Rahman, entah deh.
"Aku sudah tahu, kok. Kak Rahman sudah cerita kalau Mba Airin sudah punya calon. Aku cuma berharap saja. Soalnya baru pertama kali aku melihat Kak Rahman jatuh cinta."
Sekali lagi pernyataan Qiana membuatku melongo. Ini kakak sama adek ternyata tidak beda jauh ya. Mereka tahu kalau aku sudah punya calon, tapi masih saja mengharap. Ibarat kata melihat burung cantik di udara yang terbang bersama pasangannya, tapi mau ditangkap. Bisa, tapi kan susah. Dan aku bukannya mau putus dengan Rafael, aku hanya sedang mencari waktu yang tepat untuk mengatakan tentang beasiswa itu.
"Maaf, ya!" sambung Qiana.
Aku hanya mengangguk singkat. Sempurna sudah, perkataan Qiana yang berturut-turut itu membuat nafsu makanku hilang. Terlebih lagi kami juga kehilangan topik pembicaraan. Sampai kami menghabiskan makanan yang ada, kami terus-terusan diam. Pamitan saat pulang pun hanya sekadarnya saja. Aku hanya berpesan semoga Qiana bisa selamat sampai tujuan.
Badan lelah, malam hari, namun pikiran penuh. Jika seperti ini, mana mungkin aku nanti bisa tidur dengan nyenyak di rumah. Malahan yang ada justru menyekrol sosmed tanpa henti.
Aduh, pusing-pusing kayak begini sepertinya enak banget deh. Tapi aku tidak mau soto lah. Nanti malah ketemu sama Pak Rahman lagi. Lebih enak kayaknya bakso. Iya deh. Sepertinya lebih enakan bakso.
Merasa sudah yakin dengan pilihanku demi makan yang panas, aku pun melangkah kembali. Sebenarnya agak kenyang sih, tapi tidak apa-apalah. Sesekali ini. Nanti pesannya yang kosongan dan sambalnya yang banyak. Biar pedas kayak kehidupan.
Tak lama aku sampai di warung bakso. Dulu warung ini kesukaanku dengan Rafael. Pernah tuh suatu waktu pas hujan-hujan, aku dan Rafael berhenti di sini dan pesan bakso. Dan apesnya baksonya cuma tinggal satu porsi. Mau pindah tempat juga susah, soalnya hujannya, hujan angin. Bahaya, kan?
"Buat kamu aja!" kata Rafael.
Aku menggeleng. "Udah buat kamu aja!" tolakku.
Kami terus-terusan menggeser-geser mangkok bakso yang sudah tersaji di depan kami. Selang beberapa waktu, penjual baksonya yang kebetulan hanya menjual bakso pun datang membawakan minuman.
"Dimakan berdua aja, Mas, Mba. Kan lagi pacaran tho! Biar besok pas sudah jadi suami istri nggak malu-malu lagi," usul si penjual.
Mendengar itu, aku pun tersipu. Rafael pun demikian. Kami sebelumnya saja belum pernah berpegangan tangan. Apalagi ini, semangkok berdua? Ah yang benar saja.
"Kamu yang makan dulu! Nanti sisanya aku," usul Rafael.
"Mas mau makan sisa? Ah ndak deh. Kita makan bareng!"
"Kamu yakin?" tanyanya.
"Aku ndak mau kamu makan sisa dari aku," jawabku penuh keyakinan.
Aku pun mengambilkan sepasang sendok lagi untuk Rafael. Dia menerimanya. Lantas kami pun makan bersama. Aku dan Rafael bersamaan mendekat ke mangkok. Alhasil kepala kami pun saling berbenturan. Aku langsung saja naik dan memandang ke Rafael sembari tersenyum lantas langsung membuang muka. Aduh sumpah malu banget.
"Kamu dulu!" Rafael mempersilakan.
Aku masih menggeleng. "Aku ndak mau kamu ...."
"Makan makanan sisa, kan?" lanjut Rafael. Dia lantas mengangkat sendoknya dan menusuk sebuah bakso. "Makan!" katanya sembari menjulurkan baksonya ke arahku.
Aku sempurna mematung. Rasa antara malu, gemas, greget, bercampur begitu saja. Dan bodohnya aku, aku justru membuka mulut, menerima suapan Rafael.
Pelan-pelan Rafael memasukkan bakso ke mulutku. Namun semakin tangannya mendekat untuk menyuapiku, justru tangannya bergetar. Bahkan Rafael sampai memegangi tangannya sendiri agar berhenti bergetar.
Aku tertawa. Dengan lembut, aku pun memegangi tangan Rafael dan membantunya untuk menyuapiku. Aku yakin saat ini Rafael tengah merasa malu berat. Lihat saja wajahnya, merah sempurna.
Setelah makan satu bakso, aku pun turut mengambilkan bakso untuk Rafael.
"Sepertinya tanganmu masih belum berhenti bergetar," seringaiku.
Aku pun menjulurkan sebuah bakso kepada Rafael. Meski masih malu-malu kucing, Rafael membuka mulutnya. Aih melihatnya yang seperti ini, sumpah gemesin banget. Pingin nyubit tapi belum halal.
***
Ya. Itulah kisah kencan pertama kami. Meski masih canggung tapi begitu terkenang. Yang lebih lucu saat itu adalah seorang ibu-ibu yang meminta mangkok kosongan untuk anaknya. Aku dan Rafael yang masih suap-suapan dengan perasaan malu yang amat sangat pun seketika terperangah. Kami saling pandang dan akhirnya tertawa. Betapa bodohnya kami. Kenapa pula tak meminta mangkok kosong seperti yang ibu-ibu di depan kami lakukan.
Tapi mungkin itulah manisnya takdir. Berkat tak menyadari hal sesimpel mangkok kosong, aku dan Rafael mendapatkan pengalaman kencan yang luar biasa indah. Sederhana, di bawah hujan angin dan di dalam warung bakso, kami makan berdua.
Maka dari itu, sekarang aku mau makan bakso itu lagi. Siapa tahu dengan makan itu, aku bisa dapat inspirasi untuk ngobrol dengan Rafael nanti. Ya aku cinta dengannya. Aku juga ingin hidup dengannya. Jika memang tujuanku benar, Allah pasti kasih jalan.
"Pesan baksonya satu, Pak!"
"Yang banyak togenya, ya, Pak!" tambah seseorang.
Aku yang kenal banget dengan suaranya pun seketika menolehkan pandangan. Kok bisa-bisanya dia ada di sini.
Waah maaf banget udah sebulan nggak up. Bismillah mulai hari ini rajin up. Suntik semangatku dengan komen kalian dong.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top