PERNYATAAN AIRIN


Beberapa sebelum aku memutuskan untuk menemui Rafael kembali.

Semaleman aku tidak bisa tidur. Pikiranku dipenuhi oleh pertimbangan. Antara impian bersekolah di luar negeri atau menikah dengan pria yang aku cintai. Dua-duanya terasa berat banget sumpah. Seakan-akan nih, ya, antara memilih hidup dan mati. Capeknya minta ampun. Aku saja sudah sholat istikharah berulang kali, namun hasilnya, belum kelihatan. Apa mungkin karena dosaku terlalu banyak sampai Tuhan belum kasih jawaban.

"Manurutmu gimana, Chel?" tanyaku di sela-sela jam pulang kantor. Kerjaan kami semuanya sudah beres. Saldo jugah sudah dihitung dan jumlahnya pas. Tidak ada yang mengganjal. Si Pinguin juga baik-baik saja di ruangannya. Maksudku dia tidak berbuat sesuatu yang aneh-aneh lagi seperti tahu-tahu memberiku hadiah.

"Gimana apanya?" tanya Rachel sembari bersiap pulang juga.

"Kalau lo jadi gue, lo mau pilih kuliah atau menikah dan batalin semua karir lo yang lo bangun sampai saat ini?"

Rachel mengetuk-ngetukkan jari di dagu. Dia sepertinya tengah berpikir. "Emm ... agak berat sih emang, tapi gue tetap bakal pilih kuliah. Eh btw, lo belum nentuin? Padahal beberapa bulan lagi, lo berangkat, loh. Lo bukannya juga sudah ngurus visa sama pasport? Kenapa masih bingung?"

Aku menaikkan bahu. Kuremas kepalaku. Sumpah rasanya ingin menghilang saja terus tahu-tahu ada di salah satu pilihanku gitu. Inginnya, aku tidak milih, tapi langsung ada di event yang aku inginkan. Misal nanti malam tidur, terus bangun-bangun ada di Australia, atau mungkin bangun-bangun eh sudah menikah dengan Rafael. Kalau begitu kan enak, aku tidak akan mengecewakan siapa pun.

"Gelap, Chel. Itu aja yang bantuin ngurus visa, Si Pinguin."

Rachel yang sedang minum pun tersedak. "Pinguin? Maksud lo si bos?"

Aku mengangguk lemah.

"Ha? Ngapain coba si bos bantu lo ngurus visa? Kemarin istrinya Rehan lahiran aja, si bos mendadak sibuk. Terus ngapain dia tahu-tahu bantu lo?" selidik Rachel.

"Mana gue tahu. Tanya aja tuh sama Si Pinguin mumpung masih di atas," jawabku malas.

"Fiks ini pasti Si Pinguin ada rasa sama lo."

Aku mendengus. Meski pun Qiana telah mengatakan semuanya kepadaku, namun aku tidak menceritakannya ke semua orang. Bahkan orang tuaku saja tidak tahu. Buat apa pula diceritakan, lagipula aku juga tidak mencintai Pak Rahman. Malah mungkin aku sedikit kesal. Dia begitu perhatian denganku meski tidak bisa berkata-kata. Dan hal itu membuat aku sedikit respeck sama dia. Semoga saja di saat hubunganku dengan Rafael yang tidak baik-baik saja, rasa respectku kepada Si Pinguin tak berubah menjadi cinta. Amit-amit pokoknya.

"Nggak usah peduliin itu, deh. Mau Si Pinguin naksir gue atau nggak kek, itu gue nggak pikirin. Ini Rafael gimana?"

Rachel mendengus. Sepertinya dia tidak suka kalau momen gosipnya diinterupsi. Sebenarnya aku juga tidak terlalu suka kalau ada orang yang berbuat demikian kepadaku. Tapi mau bagaimana lagi? Dari sekian banyak cobaan, sumpah cobaan ini yang paling berat buatku.

"Itu beneran Rafael nggak mau diajak berunding lagi? Ya meski di New Zealand emang dingin, sih. Tapi pasti di sana ada juga kok yang alergi dingin kayak ibunya Rafael."

Aku menggeleng lemah. "Nggak. Dia itu selalu menomor satukan ibunya, Chel. Udah gue coba ajak berunding, dia dengan tegas menolak."

"Kalau kayak gitu, ya udah cari yang lain aja. Si Pinguin misal."

Mendengar itu, aku pun melemparkan tatapan sinis ke Rachel. "Be serious, please!"

"Gue serius, lho. Gini ya, Rin. Lo masih inget kan perkataan Ryan dulu?"

Aku menatap langit-langit, mencoba mengingat apa yang dimaksud oleh Rachel. "Emm ... tentang tujuan gue menikahi Rafael, kan?"

Rachel mengangguk. "Kalau Rafael beneran mau jadi suami lo, harusnya dia juga berusaha nempatin lo sebagai pasangannya, bukan cuma sebagai pengasuh ibunya."

"Chel!" panggilku, mengingatkan. Cukup Ryan aja yang mulutnya serampangan, Rachel tidak boleh ikut-ikutan.

"Iya-iya, gue tahu. Lo pastinya akan senang juga mengasuh eh bukan mengasuh, oh 'menemani' ibu Rafael. Tapi nanti ketika pernikahan lo mengalami masalah, apa yakin lo nggak bakal nyesel udah membuang masa depan lo demi pemuda yang begitu meratukan ibunya itu. Dan lagi, apa lo yakin kalau ada sesuatu sama ibunya Rafael, lo nggak bakal disalahin."

"Dia nggak seperti itu!" sangkalku secepatnya.

Rachel mengangkat tangannya lalu menaruhnya di pundakku. "Rin!" katanya sambil menggeleng-geleng kepalanya. "Tidak selamanya manusia itu menjadi manusia yang kita kenal saat ini. Di saat keterpurukan seperti kehilangan seseorang yang paling dia sayang, orang itu bisa berubah."

Aku tercengang, sama sekali tak bisa berkata-kata. Rachel mengatakan apa yang tidak bisa dikatakan olehku.

Rachel pun mengangkat tangannya. Dia lantas mengambil gawainya sejenak, membalas beberapa pesan, sebelum akhirnya meletakkannya kembali.

"Lo pasti bertanya-tanya, kenapa gue bisa segamblang ini." Rachel menarik napas sejenak. "Gue pernah jatuh hati sama seseorang laki-laki. Dia begitu ambisius mengejar karirnya. Sayangnya gue nggak suka karena gue ingin cepet-cepet nikah waktu itu. So ... kami pun putus. Dia sekarang selalu senang dapat traveling ke mana pun dia mau. Dan kulihat dia juga sudah punya pasangan yang sekarang." Rachel kembali mengembuskan napas. Dia lantas mencoba untuk tersenyum. "Itulah alasannya aku punya banyak pacar. Aku tak pernah percaya ada lelaki yang begitu setia sampai aku bertemu dengan pacarmu, Rafael. Yah ... mungkin dia berbeda. Namun semua lelaki pada dasarnya sama. Mereka selalu memegang teguh apa yang mereka perjuangkan."

Aku menelan ludah. Kepalaku rasanya semakin berat. Meski memang dengan perkataan Rachel tadi, aku dapat melihat masa depan di mana aku menangis sejadi-jadinya. Hari seperti pertikaian antara suami dan istri itu pasti akan terjadi. Hal itu seperti takdir yang tak bisa dihindari. Dan aku tidak mau menjadi orang jahat yang akan menyalahkan Rafael. Aku tidak mau suatu hari nanti, aku akan pergi dari Rafael karena telah menyesal menikah dengannya dan menyesal tidak mengambil beasiswa ini. Hanya saja ....

"Rin, gue duluan, ya! Pacar gue sudah jemput, tuh!" celetuk Rachel tiba-tiba.

Aku mengangguk. Aku lalu melihat ke jam tangan. Sudah pukul setengah enam ternyata. Pak Rahman belum keluar dari ruangannya. Mungkin dia sedang ada kerjaan lebih di atas sana. Tapi bukannya aku ingin pulang bersamanya. Amit-amit.

Tak lama, aku pun merapikan semua barangku, lantas menuju parkiran. Aku butuh penyegaran. Untung saja tadi subuh, tamu bulanan datang. Jadi aku tak perlu khawatir untuk mencari masjid di mana. Aku bisa berlama-lama di jalan sambil memikirkan jawaban untuk pertanyaan Rafael.

"Temui aku kalau kamu sudah yakin dengan jawabanmu!" katanya tempo hari.

Kalimat yang singkat, tapi begitu menusuk. Bahkan setelah beberapa hari semenjak peristiwa itu berlalu, aku masih terngiang-ngiang bagaimana cara dia mengatakan kalimat itu.

Karena tak mungkin untuk langsung pulang, aku pun memarkirkan mobil di samping jalan dekat alun-alun. Sejenak kuambil gawai di tas. Tak perlu membawa tas karena aku hanya akan jalan-jalan sebentar dan mungkin membeli beberapa camilan.

"Huh!" desahku.

Gawai ini masih sepi semenjak Rafael mengatakan kalimat itu. Tidak ada pesan apa pun yang dikirimkannya. Padahal dulu, sering sekali Rafael sok-sokan mengirim pesan jam tiga pagi. Aku pun membalasnya dengan panggilan 'Si Paling Tahajud'.

Aku tertawa getir. Sumpah kenangan itu membuatku semakin mencintai Rafael. Aku yakin sekali kalau dia adalah jawaban di segala doaku. Hanya saja ....

"Mah, kami pergi sholat dulu, ya! Bye-bye sama Mamah!" ujar seorang laki-laki yang kini menggendong balita laki-laki.

Seorang perempuan muda yang sepertinya sebaya denganku melambaikan tangannya juga. Dia tersenyum sambil mengecup tangannya lalu meniupnya. Aku pun tertawa. Sungguh pemandangan yang manis.

Setelah laki-laki dan balita itu berlalu, perempuan itu pun duduk kembali. Dia memainkan gawai. Sepertinya dia tengah menunggu nasi goreng. Soalnya dia duduk di tenda nasi goreng dan abangnya juga tengah memasak.

"Bakmi satu pedas, ya, Bang!" pesanku pada akhirnya. Malam-malam, sedikit dingin, dan pikiran sedikit pusing. Kondisi seperti ini, sangat pas untuk makan yang pedas-pedas.

Aku diam. Berhubung Rafael sedang vakum menghubungiku, tidak ada sesautu pun yang bisa menghiburku sekarang. Menyekrol ig ataupun youtube hanya akan membuatku tambah setres.

"Maaf, Mba!" pada akhirnya, aku pun memberanikan menyapa wanita di sampingku. Aku sudah sering melihat pasangan muda sebelumnya. Hanya saja aku baru melihat pasangan yang justru ketika mau sholat, ibunya di sini, tapi ayahnya mengajak anaknya sholat.

Perempuan yang kupanggil pun menoleh. Dia menaruh gawainya dalam tas. Wah ternyata dia cukup sopan. Sepertinya asyik buat diajak ngobrol.

"Iya?" sahutnya dengan lemah lembut dan senyuman yang tulus.

"Tadi itu anak sama suaminya, ya?" tanyaku sedikit ragu-ragu. Meski lawan bicaraku cukup santun menjawab, tapi tetap saja sedikit canggung untuk berbicara dengan orang asing.

"Eh, Airin? Airin Savika, kan, ya?" celetuk perempuan itu.

Sontak saja aku kaget. Dahiku berkerut. Lalu dalam sepersekian detik, otakku mencoba menebak-nebak siapa lawan bicaraku saat ini.

"Ya ampun, udah lama sekali nggak ketemu. Aku Nisa, Rin. Temen SMP."

Aku mengembuskan napas ketika perempuan di depanku memperkenalkan dirinya sendiri.

"Wah pasti kamu nggak terlalu kenal aku, ya. Aku kan cuma anak SMP biasa, nggak kayak kamu yang rangking satu terus."

Nisa. Nisa. Nisa?

Aku masih berusaha menerka-nerka nama itu sembari terus mengamati wajah lawan bicaraku. Tidak nyaman rasanya. Dia kenal aku, masa aku tidak kenal.

Lalu dengan suatu keajaiban, sebuah ingatan keluar. "Ouh Nisa yang jago main basket dulu? Ratunya para geng cewek di sekolah?"

Nisa lalu tertawa. "Iya-iya. Masih inget aja sih kamu."

"Kok berubah banget sekarang?"

"Alah namanya juga udah nikah dan udah punya anak. Pastinya berubah lah. Masa wajahnya tetap kayak anak SMP. Eh kamu sekarang sendiri gimana? Udah merid?"

Aku menelan ludah lalu menggeleng.

"Kok belum, sih! Padahal nikah itu enak. Aku aja yang dulu koar-koar nggak mau nikah sebelum mapan, eh malah udah nikah duluan."

"Itu yang aku mau tanya sama kamu tadi. Kok bisa?"

"Ya udah ketemu sama jodohnya. Dia pengertian banget, lho. Contohnya! Ini aku lagi datang bulan dan si adek kekeh mau ngajak aku ke masjid. Mana baru pesen nasi goreng lagi. Eh suamiku inisiatif ngajak dia sholat bareng. Lagian adek kalau sholat sama ayahnya terus. Mau ngapain aku di sana?" Nisa pun tertawa.

Aku pun juga ikutan tertawa. Betapa manisnya keluarga yang dia ceritakan.

"Tapi kamu udah punya calon, kan?" tanya Nisa lagi.

"Udah, kok."

"Nunggu apa lagi? Wanita cantik kayak kamu, pastinya punya calon yang ganteng dan tajir juga. Denger-denger kamu lagi deket sama seorang arsitek interior yang lagi naik daun itu, siapa namanya? Oh, ya, Rafael."

Aku tersenyum malu-malu. Nisa masih sama seperti dulu. Dia selalu saja tahu gosip tentang orang yang dia kenal. Dia juga masih bermulut besar. Apa pun dibicarakan. Apalagi kami baru bertemu setelah sekian tahun, pasti dia akan mengulik semua informasi tentangku.

"Beneran, Rin? Beruntung banget!" katanya.

Aku masih diam. Sedikit bagaimana gitu kalau curhat dengan teman lama. Apalagi dulu aku memang tidak terlalu dekat dengan Nisa.

"Masih banyak pertimbangan, Nis. Jadi kami belum sepakat buat nikah."

"Pertimbangan apalagi, sih, Rin? Kalian sama-sama mapan. Aku yakin orang tuamu pasti setuju kamu nikah sama Rafael. Udah ganteng, tajir pula. Aku nikahin suamiku aja pas kami sama-sama nggak punya apa-apa. Tapi alhamdulillahnya sih kami sekarang bisa makan dan sesekali jajan." Nisa tertawa kembali.

Aku termangu mendengar kisah singkat Nisa. Dia bilang, dia menikah tanpa punya apa-apa? Kok bisa? Mereka terlihat rukun lagi.

"Itu motorku kalau kamu nggak percaya!" celetuk Nisa tiba-tiba. Dia seakan tahu kalau aku ragu dengan kalimatnya tadi.

Aku pun melihat motor yang ditunjuk Nisa. Sebuah motor supra merah yang agak butut dan sepertinya keluaran tahun 2010.

"Motor itu juga yang digunain suamiku buat jualan. Kalau aku di rumah sambil laundry. Kalau aku yang kayak gini bisa nikah, apalagi kamu yang akan nikahin Rafael."

Aku menelan ludah. Tak kusangka sore ini juga aku mendapatkan counter perkataan Rachel.

"Aku hanya masih belum yakin, Nis. Kalau kamu sendiri, apa yang buat kamu yakin mau nikah?" tanyaku.

"Kenapa belum yakin?"

"Ya belum yakin aja. Kayak ya masa mau nikah sekarang, gitu."

"Rin, tujuan hidup kita dunia pada akhirnya hanyalah ibadah. Nikah salah satu ibadah yang sangat besar pahalanya. Setiap ibadah pasti membawa berkah. Maka tak jarang ketika sudah menikah, takdir orang bisa berubah drastis. Seperti aku sendiri. Aku setelah menikah, sekarang sudah punya rumah meski kecil. Sudah juga punya usaha. Lah kalau dulu? Hahaha. Kamu tahu sendiri aku dulu bagaimana."

Aku mengangguk samar-samar. Nisa dulu adalah ketua geng pembully di SMP. Pakaiannya selalu compang-camping. Sepatunya juga sering berlubang. Dia mendapat uang dari hasil malak. Keluarganya serba kekurangan. Dan melihatnya yang sekarang cantik dan jauh lebih anggun, membuatku sadar bahwa perkataan Nisa bukanlah isapan jempol semata.

"Jadi? Masih ragu buat nikah?"

Aku tersenyum. Aku tidak mengangguk maupun menggeleng. Hanya senyum menggaris.

"Pesanannya, Neng!" ujar si penjual sembari menaruh pesananku dan Nisa di depan kami berdua.

Tak lama setelah itu, suami dan anak Nisa kembali. Keluarga kecil itu pun sibuk bercengkrama. Sesekali aku juga mengusili si balita yang kelewat imut. Namun ketika aku melihat matanya yang polos, aku sedikit terenyuh.

"Seperti inikah kebahagiaan yang dijanjikan setelah pernikahan?" batinku.

Aku menarik napas dalam-dalam. Sepertinya aku sudah punya sedikit jawaban. Besok aku akan ke rumah Rafael. Akan aku umumkan apa yang sudah aku putuskan.

Happy sunday, guys. Ini part terpanjang yang pernah aku buat. Enjoy. Makasih sudah bersabar nunggu aku upload.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top