PERIHAL BAKSO
Aku memicingkan mata. Melihatnya berpenampilan kasual gini, buat aku gerah saja. Lebih baik melihat Pak Rahman memakai setelan jas sumpah. Setidaknya kalau dia memakai stelan jas, dia kan terlihat berwibawa, jadinya malas buat lihatnya. Tapi kalau pakai kaos begini apalagi kaos putih, aih asli betah banget lihatnya.
Hanya saja aku mencoba untuk tidak memedulikannya. Hatiku untuk Rafael. Tidak untuk orang lain.
Sialnya takdir berkehendak lain. Warung bakso ini penuh. Yang tersisa hanya satu meja. Sangat tidak mungkin dong Pak Rahman satu meja berhadap-hadappan dengan sepasang kekasih di pojok sana. Yang ada dia malah jadi obat nyamuk. Jadi pilihan terakhir, dia duduk di depanku.
"Nggak masak lagi?" tanyaku dengan nada sarkas.
Tadi pagi saja dia pamer bubur ayam sampai membelikan segala. Kukira dia sudah mendengarkan dan mempraktekkan apa yang kubilang semalam, ternyata tidak sepenuhnya.
"Masak," jawabnya singkat.
Pak Rahman mulai menyendok baksonya. Dia pun juga menyeruput kuahnya sekalian. Kadang suka heran sama orang dingin macam Pak Rahman. Apa dia tidak bosan hanya menjawab seadanya gitu. Seakan-akan kalau jawab berlebihan bisa mengurangi nyawanya.
"Lalu kenapa masih makan di luar?" buruku. Aku curiga kok kalau dia itu ngintilin aku eh. Siapa tahu kan Qiana bilang kalau aku habis bertemu dengannya. Apalagi adikknya Pak Rahman itu terang-terangan memintaku menikah dengan bosku ini.
"Masakanku nggak enak."
Spontan aku menyemburkan bakso yang lagi aku makan. Bakso itu terbang dan mengenai wajah Pak Rahman. Kendati demikian, aku tetap tertawa sambil minta maaf dan mengusap-usap wajah si pinguin ini.
Dalam hati, aku sama sekali tak menyesal. Kapan lagi coba bisa menyemburkan bakso ke Pak Rahman. Sudah dingin, pendiam, tidak peka, galak pula pas revisi. Dulu ingin banget aku hajar dia. Dan sekarang sudah tuntas.
Pak Rahman masih menatapku. Dalam netra cokelatnya itu, aku dapat melihat sesuatu yang lain. Dia sama sekali tak marah. Justru meski wajahnya datar, Pak Rahman mata Pak Rahman malah terlihat seperti tersenyum.
Entah mengapa, aku yang sedang membersihkan wajahnya justru malah terhenti. Tanganku berhenti tepat di pipinya. Begitu pun Pak Rahman yang kini diam terpaku menatapku. Entah apa yang dia pikirkan saat ini.
Tak ada yang memperhatikan kami. Pun tak ada yang hendak menghentikan kami, sampai sebuah suara tiba-tiba membangunkanku.
"Pesanan yang saya minta dari WA sudah siap, Pak?"
Segera aku menatap ke arah sumber suara. Kudapati Rafael yang baru saja menatap ke sini dan aku menatap ke arahnya. Awalnya wajahnya tampak bahagia melihatku, namun ketika dia menatap ke seorang laki-laki di sampingku, senyumnya memudar.
"Mas?" tanyaku setengah bergetar.
Belum sempat aku hendak menghampirinya, dia sudah terlebih dulu mengambil pesanan. Dia pun lantas pergi begitu saja, tanpa sepatah kata pun.
Aku yang parno pun segera pergi. Kubayar segera bakso milikku lantas menyusulnya. Aku tak memikirkan sama sekali perasaan Pak Rahman. Toh dia bukan siapa-siapa selain atasanku. Setidaknya itu yang kupikirkan.
"Mas!" teriakku.
Dia masih terus saja berjalan. Aku yang sudah tak tahan lagi pun akhirnya berlari dan menyalipnya.
Kutatap wajahnya. Rafael justru malah menunduk.
"Kamu jangan salah sangka dulu!" kataku sambil mengatur napas.
"Kamu tahu, aku habis menghajar temanku sendiri?" katanya tiba-tiba.
Aku yang awalnya hendak menjelaskan pun seketika terdiam. Baru kali ini aku melihat wajah Rafael yang seperti ini. Sedih yang diselimuti amarah sekaligus kekecewaan.
"Dia bilang alasan kamu tidak kunjung menjawab lamaranku karena kamu selingkuh. Dia melihat dengan matanya sendiri bahwa kamu sering makan berdua dengan bosmu itu. Mendengar temanku bilang seperti itu, tentu saja aku marah. Aku hajar dia sampai berdarah," tutur Rafael dengan pelan namun amat menyayat hati.
Rafael menarik napas dalam-dalam. Dia lalu menatap langit sebelum akhirnya melihat ke arahku. "Namun aku menyesal telah menghajarnya. Ternyata apa yang dikatakannya benar. Kamu memang tidak ada niatan ingin menikah denganku."
Rafael pergi lagi. Dia mulai melangkah menjauhiku. Untuk sesaat, aku terdiam begitu saja. Lalu selang beberapa detik, aku pun menyusulnya kembali.
"Aku akui kalau aku sering sama dia. Tapi itu bukan karena cinta. Aku sedang mengejar impianku, Mas. Kuliah di luar negeri."
Rafael terhenti. Dia yang hendak melarikan diri terus, akhirnya menghentikan langkahnya.
"Kuliah di luar negeri?" tanyanya tidak percaya.
"Awalnya aku mau memberitahumu dengan baik-baik, tapi ...."
"Jadi kamu dari awal memang tidak ingin serius denganku, Rin?" potongnya.
"Aku serius! Aku mau nikah sama kamu! Tapi aku juga tak ingin kehilangan impian yang sedari kecil aku inginkan. Aku sudah mendapatkan beasiswa untuk kuliah di Australi, Mas."
"Kamu bohong!" tuduh Rafael. Dia meringis. Matanya tak menangis, tapi tubuhnya bergetar. Bahkan urat-urat di wajahnya terlihat sudah. "Sedari awal, Rin. Sedari awal aku jalin hubungan sama kamu, aku tegaskan berkali-kali bahwa aku tak akan pindah dari kota ini. Sedari awal aku bilang bahwa tak akan selangkah pun aku tinggalkan ibuku. Jika kamu seperti ini, itu awalnya sedari awal memang kamu tak serius denganku," tegas Rafael. Matanya menyalak. Dan ini untuk pertama kalinya aku bergetar. Tak pernah sekali pun aku melihat mata Rafael yang begitu tajam menusuk, bahkan lebih menakutkan daripada ketika ayahku marah.
Aku sempurna terdiam.
"Kamu tahu sendiri kalau ibuku alergi dingin dan beliau sudah tua, Rin. Sangat susah orang tua untuk hidup di lingkungan baru. Apalagi ibuku," lanjut Rafael. Mungkin dia tidak sadar, tapi matanya meneteskan air mata.
Aku kian bungkam. Aku tak tahan melihatnya bersedih. Dan kini dia bersedih karena diriku. Aku ... aku ... benar-benar merasa bersalah.
Rafael sekali lagi menatap langit. Dia menghirup napas. Ada suara serak di sana. Setelah dia merasa bahwa air matanya tak berlinang kembali, dia lalu menatapku. "Jika kamu ingin serius dengan hubungan ini, temui aku dan batalkan kuliahmu di Australi," ujarnya lantas pergi.
"Apa tidak mungkin kalau kita LDR sampai kita ...."
Rafael kembali terhenti. Namun kali ini dia tidak membalikkan badannya. "Tidak! Asal kamu tahu! Tidak ada wanita di dunia ini yang bisa menggantikan ibuku, Rin! Termasuk kamu!" tegasnya.
Mendengarnya aku pun lemas seketika. Aku tahu itu Rafael begitu meratukan ibunya. Namun kenapa ini terasa sakit sekali. Bahkan kegembiraanku ketika mendapatkan beasiswa kantor itu terasa tak ada apa-apanya tinimbang kesedihan ini.
Hai jangan lupa mampir ke Karyakarsa atau Dreame ya. Ketik saja Fasihi Ad Zemrat. Banyak cerita menarik loh di sana. Terima kasih. Love u all
Follow aku dong di ig
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top