PERGI ATAU TINGGAL
"Tapi kenapa?" tanya Rafael.
Aku mengembuskan napas. Mataku masih menatap matanya yang tampak begitu kecewa. Sudah hampir dua bulan Mas Rafael meminangku. Sudah lima puluh sembilan menit dan delapan jam dia senantiasa bersabar. Dan kini dia mendapatkan jawaban yang mungkin teramat pahit untuknya.
Satu tetes air mata mengalir dari matanya. Ya Allah rasanya sakit sekali melihat dirinya yang terluka seperti ini. Sumpah demi Tuhan, Rafael adalah satu-satunya lelaki yang amat kucintai. Aku ingin sekali menikah dengannya. Aku ingin sekali menjalin hari demi hari dengannya. Lalu ketika sudah waktunya tiba, aku ingin meninggal di pangkuannya. Namun apa boleh buat. Setelah semua selesai aku pikirkan, inilah keputusan akhirku.
"Aku tak mau menyalahkanmu, Mas. Mungkin emosi itu bisa kupendam ketika kita masih romantis. Tapi rumah tangga selalu ada masalah. Ada kalanya rasa jenuh bersemayam di hati kita. Ada kalanya juga kita akan berantem. Dan ketika itu terjadi aku tidak mau mengutukmu karena mengajakku menikah dan meninggalkan impianku," terangku terbata-bata.
Angin berembus. Rafael menunduk. Satu air matanya kembali lolos. Aku tidak mau bohong. Melihat Rafael yang terluka seperti ini jauh lebih menyakitkan daripada saat tamu bulanan datang. Hatiku seperti diiris-iris setiap kali melihat linangan air mata di netranya itu.
"Apa tidak ada jalan lain, Rin?" lirihnya.
"Kamu tahu kalau jalan lain itu tidaklah mudah bagi kita," kataku terbata-bata.
Angin berembus sedikit kencang. Angin sungai itu membuat ujung rambut Rafael terkibas-kibas. Sepertinya angin ingin mengusapnya. Atau mungkin angin itu jelmaan dari mendiang ayah Rafael yang ingin memeluk anaknya dikala terluka seperti ini.
Rafael menarik napas. Ada sedikit serak yang terdengar dari sana. "Kenapa kamu jadi seperti ini, Rin?" tanyanya kemudian.
Rafael memandang sungai di depannya. Sungai yang berisi air cokelat. Dia sepertinya tengah memandang jauh ke depan, melihat sepasang burung yang tengah menari-nari di udara. Mungkin dia tengah membayangkan kami seperti itu. Hanya berdua, menikmati apa yang ada.
"Apa kamu sudah mempunyai orang lain?" sambungnya.
Aku membelalak. "Tidak, Mas. Sungguh. Aku hanya mencintaimu."
Rafael menoleh tajam. Matanya sekarang dipenuhi dengan linangan air mata. "Lalu kenapa? Kenapa kamu tega membuat kisah kita seperti ini? Dari dulu kamu bilang ingin selalu bersamaku? Dan kenapa sekarang, di saat aku sudah siap, kamu malah berubah pikiran?"
Aku membuka mulut, hendak menjawab. Tapi entah mengapa aku seperti kehilangan kata-kata. Memori dalam setiap langkahku bersamanya, bertarung hebat dengan logika yang membuatku sampai di titik ini.
Masih jelas di hatiku di kala valentine tahun lalu, aku memberinya cokelat. Dia yang tengah terpuruk karena kehilangan pekerjaannya, menjanjikan satu hal padaku. Aku masih ingat dia yang menyuruhku menunggu sampai dia bisa membuat usaha sendiri. Masih begitu jelas juga bagaimana dia tidak istirahat hanya untuk mempromosikan jasanya sebagai arsitek interior. Waktu itu aku menyanggupinya. Aku berkata bahwa aku akan senantiasa menunggunya, seberapa pun lamanya itu. Dan sekarang ....
"Apa karena Rahman?"
Aku menangadah, melihat Rafael yang masih memburuku dengan pertanyaannya. "Apa kamu bilang?"
"Kamu mungkin lebih tertarik dengan pria mapan sepertinya. Dia punya rumah yang besar. Dia juga sendirian, tak sepertiku yang harus merawat ibu. Dan bagi wanita modern sepertimu, sepertinya itu lebih masuk akal daripada pergi keluar negeri hanya karena impian."
"Mas! Kamu pikir aku ini apa? Tak sedikit pun terbesit di pikiranku bahwa merawat seorang ibu adalah beban. Aku juga wanita yang kelak akan menjadi seorang ibu. Aku pun ingin ditemani sampai mati oleh anak-anakku," kataku sedikit berteriak.
Rafael terkekeh. Biasanya nada tawanya akan membuatku ikut tertawa. Tapi kali ini tawanya begitu berbeda. Mulutnya memang tertawa, hanya saja matanya terus mengeluarkan air.
"Tetap saja kamu pasti mau dengan Rahman, kan?"
Aku makin terperangah dengan apa yang Rafael katakan. "Sumpah demi Tuhan, Mas. Aku hanya mencintaimu. Kamu satu-satunya lelaki yang ingin kunikahi. Aku bahkan yakin kalau kamu adalah jawaban dari setiap doa-doaku."
"Lalu kenapa kamu masih mau mengejar impianmu, Rin? Kenapa kamu mau kita berakhir seperti ini? Kenapa kamu mengingkari janji yang kamu buat?"
Aku menelan ludah. Mana mungkin aku lupa bahwa aku pernah bilang ingin tinggal bersama Rafael dan hidup satu atap dengan Bu Nisa.
Rafael memandangku makin tajam. Pupil matanya makin lebar. Dahinya berkerut. Dia meminta jawaban. Melihatnya seperti ini makin membuat hatiku hancur. Tak pernah terbayangkan dalam benakku kalau aku akan menjadi penyebab dirinya sedih seperti ini.
Aku mengembuskan napas. Aku menoleh, melihat ke arah sungai. "Aku sudah bilang, Mas. Aku tak mau menjadi orang yang mengutukmu kelak. Aku tak mau ketika kita menikah kelak, aku akan mengungkit-ngungkit masalah ini lagi."
Rafael terdiam. Sepertinya dia menyadari satu hal. Dia yang daritadi melihat ke arahku, kini pun mulai melihat ke arah lain. Dia menengadah. Sekali kulihat tangannya menyeka air matanya.
"Lalu apa yang harus aku lakukan, Rin?" tanyanya dengan nada yang teramat putus asa.
"Aku tak bisa menjawabnya," lirihku. Jika aku di posisi Rafael, aku juga pasti bingung. Dia, dengan latar belakangnya seperti itu, tak mungkin untuk meninggalkan ibunya. Ibunya renta dan dia juga alergi dingin. Lalu kutahu kalau New Zealand itu sangat dingin ketika musim salju.
"Kamu tahu kan kalau ibuku akhir-akhir ini sering sakit?" lirih Rafael.
Aku mengangguk dalam-dalam. "Dan aku tahu kalau kamu ingin ibumu melihat kamu menikah ...." Aku menyeka air mata. Aku turut mengadah, berusaha agar air mataku tak keluar kembali. "Kamu mungkin bisa menikah dengan orang lain, Mas."
Aku mengigit bibir bawah. Aku berusaha agar tak terisak. Kata itu, kata yang tak pernah aku bayangkan, akhirnya terucap juga.
Rafael menoleh kembali kepadaku. "Apa kamu gila, hah? Aku hanya mencintaimu, Rin. Tak pernah sekali pun aku membayangkan diriku menikah kecuali denganmu."
"Aku pun, Mas. Di setiap sujudku, aku selalu berharap kita bisa menikah."
"Lalu kenapa? Kenapa kita tak menikah saja, Rin?"
"Mas ... sebelum aku mengenalmu, mimpi untuk kuliah di luar negeri itu selalu ada dalam doaku. Aku baru bisa melepas sedikit demi sedikit mimpiku kala umurku sudah hampir kepala tiga. Jadi tolong mengertilah kalau aku tak mungkin bisa lepas dari bayang-bayang ini. Sekali lagi, aku tak mau menyalahkanmu kelak kalau aku melepas impianku saat ini."
Sebenarnya inginku berkata bahwa Rafael bisa saja menyusulku ke New Zealand. Hal itu pernah aku sampaikan sebelumnya dan dia tolak mentah-mentah. Semua kolega bisnisnya ada di sini. Dokter pribadi ibunya juga ada di sini. Jadi bukan hal mudah jika Rafael mendadak pindah begitu saja. LDR juga bukan jawaban yang tepat. Jadi kalau Rafael memang ingin segera menikah, satu-satunya jalan untuknya hanya menikah dengan wanita lain.
Angin bertiup lebih kencang. Matahari di atas sana tertutup awan mendung, awan mendung yang beberapa hari ini selalu tampak tapi tak pernah mendatangkan hujan.
"Maafkan aku, Mas," pungkasku.
Aku pun bangkit. Ingin aku ajak Rafael pulang, hanya saja dirinya tetap diam. Sekarang dia memeluk lututnya. Pandangannya terus melihat ke arah sungai. Dia diam. Pikirannya seperti penuh.
Aku menelan ludah. Kulirik Mas Rafael sekali lagi sebelumakhirnya aku melangkah pergi. "Semoga kamu menemukan jodohmu, Mas. Mungkin kitatak berjodoh kali ini, tapi aku tak pernah berharap bisa berjodoh dengan oranglain. Doaku selalu untuk kita," kataku. Aku lalu melangkah kembali, mengambilsepeda lalu meninggalkannya. Baru setelah sudah jauh, tangisku pecah. Tak bisakubendung lagi isak yang hendak keluar.
Terima kasih telah menemaniku menulis novel ini. Dengan ini kunyatakan kisah RAFAEL-AIRIN-RAHMAN, berakhir di WP, lanjut terbit di Karos Publisher. Yang mau pesan bisa menghubungiku di ig fasihi_ad_zemrat atau fb Fasihi Ad Zemrat dengan pict warna hitam. Sungguh terima kasih banyak. Kutunggu kalian di versi buku atau e-booknya.
Mampir juga ke DARAH DOSEN MUDA di wp aku. Terima kasih
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top