Ngomong


Aku masuk diam-diam. Ketika Bu Nisa melirik, aku segera mengacungkan telunjuk di depan mulut, mengisyaratkan agar dia diam. Rafael tengah di samping ibunya itu. Dia dengan telaten menyuapi ibunya. Sedikit demi sedikit, begitu sabar dan sangat lembut. Ah lelaki satu ini memang tak pernah bisa berhenti membuatku jatuh cinta. Seakan-akan aku selalu merasakan jatuh cinta padanya setiap saat. Indah banget.

Dengan hati-hati aku mengangkat sendok yang aku bawa lalu pelan-pelan kusentuhkan sendok itu ke pipi Rafael. "Mana ini lesung pipinya? Lama bener nggak lihat," seringaiku.

Rafael sedikit kaget. Dia pun menengok ke arahku. Ketika matanya sempurna menangkap kehadiranku, dia pun tersenyum. Deretan gigi putih dan rapinya bersinar. Dan yang kutunggu-tunggu pun muncul juga. Dua lesung pipi itu kelihatan kembali.

"Kamu kok pagi banget ke sini?" tanyanya.

"Iya, dong. Ini kan hari Minggu. Dan karena ayang bebebku di sini, jadinya aku mau pacaran di sini aja!" paparku sembari mulai membuka masakan yang baru saja aku masak.

Rafael menarik ujung bibirnya. Dia tersenyum bahagia. Suka deh kalau lihat dia seperti ini. Awan mendung yang menggelayut di wajahnya selama beberapa hari lalu akhirnya sirna juga. Aku yakin walau aku mempunyai andil dalam kebahagiannya, tapi perkembangan kesehatah Bu Nisa lah yang mendominasinya. Tanpa Bu Nisa yang wajahnya sekarang sudah bersinar seperti biasa, Rafael akan tetap murung.

"Buka mulutnya! Asupan gizi mau masuk!" seruku sembari menjulurkan sendok yang sudah berisikan nasi lengkap dengan sedikit sayur.

Wajah Rafael memerah. Dia pasti malu karena diperhatikan oleh Bu Nisa. Matanya saja sekarang melotot ke arahku. Bola matanya yang hitam sempurna itu bergerak ke bawah, bersamaan dengan kepalanya yang miring-miring. Aku sebenarnya paham kalau dia mengisyaratkan untuk menyuapinya di luar saja nanti, tapi aku bodo amat. Dokter bilang kalau orang sakit bahagia, sakitnya akan segera sembuh. Lalu orang mana coba yang tidak kesengsem melihat kemesraanku dengan Rafael seperti ini?

"Kamu kan lagi nyuapi Ibu. Jadi biar aku nyuapi kamu, dong!" rajukku.

Bu Nisa tertawa kecil. "Ayo atuh makan itu nasi dari Airin!" titahnya.

Wajah Rafael kian memerah. Dia ragu-ragu untuk membuka mulutnya. Sumpah melihatnya seperti ini gemas banget aku tuh. Andai sudah halal, aku tak segan-segan untuk menyubit pipinya. Iih geregetan banget.

"Gimana enak?"

Rafael menaikkan alisnya. Dia pun mengunyah-nguyah lama sekali seperti seorang kritikus makanan. "Hmm ... masih kalah jauh dari masakanku. Tapi ini sih udah enak," seringai Rafael.

"Ok deh kalau begitu biar aku habiskan sendiri saja!" Aku pun berganti menyuapi diriku sendiri. "Kalau kamu nggak mau, aku bisa loh habisin sendiri."

"Biar aku cicipi lagi!" ujar Rafael.

Rafael membuka mulut. Aku pun menyeringai. Kuambil bongkahan laos yang mirip seperti ayam lalu menyuapkannya. Rafael dengan begitu percaya saja mulai mengunyahnya.

"Airin!" serunya.

Aku tertawa. Buru-buru kuambil tisu agar Rafael bisa membuang laos yang dia kunyah. Namun alih-alih membuangnya, dia justru berusaha keras untuk menelannya. Dan aku pun takjub. Tak kusangka kalau omongannya soal tidak akan pernah membuang-buang makanan benar.

"Kenapa ditelan?" tanyaku penasaran. Tetap saja kalau itu laos tak ada enaknya juga dimakan bulat-bulat seperti itu.

"Aku tak mau menyisakan satu pun masakan yang kamu buat, termasuk bumbu-bumbunya," katanya dengan mata yang sangat tajam dan penuh perasaan.

Aku tersipu. Hatiku terasa penuh. Rafael memang paling jago membuatku klepek-klepek. Kali ini aku pun menyuapinya dengan nasi uduk berlauk ayam sayur. Dan ketika satu suapanku masuk ke mulutnya, dia terlihat amat menikmatinya. Kami pun bertatapan. Sumpah aku betah banget kalau wajahnya sumringah begini.

"Ahem! Ibu ini kapan ya makannya?" protes Bu Nisa.

Aku dan Rafael pun tertawa. Ternyata sejak perdebatan kecil kami tadi, tangan Rafael masih saja memegang sendok di mangkuk. Dia sama sekali belum menyuapi ibunya kembali. Lelaki itu tertawa atas kebodohannya sendiri. Dia lalu menyuapi ibunya kembali. Seperti tadi, sebelum aku datang kemari. Dia menyuapi ibunya penuh perasaan sembari memakan nasi dari suapanku.

***

Aku mengembuskan napas. Berdua seperti ini di samping Bu Nisa yang tengah tertidur. Rafael merendahkan posisi ranjang pasien milik Bu Nisa agar lebih nyaman. Rafael pun turut membenarkan selimut ibunya itu, sebelum akhirnya duduk bersama denganku.

"Boleh kita bicara di luar?" aku menelan ludah. Ingin aku mengatakan bahwa selama ini aku mempersiapkan diri untuk keluar negri. Agak berat sih, tapi harus bagaimana lagi. Lebih baik menyampaikan hal pahit dari mulut sendiri daripada dia mendengar dari orang lain.

"Boleh," jawabnya ringan. Rafael pun bangkit.

"Duluan saja. Aku mau buatin kopi buat kamu."

Rafael mengangguk. Sejenak dia melemparkan senyum halusnya kepadaku. Segera aku pun membuatkan kopi untuk kami berdua. Mungkin aroma kopi bisa sedikit membantuku untuk memulai percakapan berat ini.

Awan mendung. Angin pun bertiup sepoi-sepoi. Bangsal milik Bu Nisa terletak di samping sawah. Jika saja hari ini tidak ada mendung tipis yang menutupi cakrawala di atas sana, aku yakin kalau pemandangannya akan sangat menakjubkan. Tapi kenapa di saat aku mau berbicara serius dengan kekasihku ini justru awannya mendung. Kan nambah stres.

"Silakan, kopi khas Airin selesai dibuat!" seruku riang. Sengaja aku berbicara seperti ini, demi bisa menyembunyikan rasa gugup yang sialnya malah semakin menggrogoti mental. Dasar.

Aku duduk bersisikan dengan Rafael. Pemuda dengan hidung mancung dan mata terang itu mengambil kopi dan menyeruputnya perlahan. Dia tak langsung menurunkan gelas kopinya itu. Dia justru menghirupnya pelan-pelan. Agak sedikit aneh. Orang biasanya akan menghirup kopi sebelum meminumnya, tapi kalau Rafael justru sebaliknya.

Rafael menyapu pandang ke depan. Retinanya dipenuhi dengan pemandangan hijau yang terhampar luas di depannya. Rumah sakit ini terletak di pinggiran kota. Makanya dia bersebelahan persis dengan sawah - yang tentu diberi pagar agar penduduk sekitar tak asal sembarang masuk ke rumah sakit.

Aku mengambil kopi. Kuseruput kopi itu sembari memandangi wajah Rafael yang begitu damai. Aku menelan kopi dengan amat susah. Bagaimana mungkin aku berani untuk menghancurkan kedamaiannya itu dengan pernyataanku yang ingin ke luar negeri. Tapi masa iya aku harus menunggu dia sedang marah lalu aku bilang bahwa bisa saja aku ke New Zealand.

"Ya kalau lo pingin jadi istrinya, harusnya lo mulai dari sekarang bisa diskusi sama dia. Belum juga sah, masa mau diksusi aja susah. Apalagi kalau sudah hidup serumah, mau lo jadi budaknya Rafael yang semua permintaannya kamu jawab 'iya, Mas'."

Tiba-tiba perkataan Ryan - teman sekantorku dulu terngiang kembali.

Ayo Rin ... ungkapin sekarang! geramku pada diriku sendiri.

"Bismillah ...," desisku. Aku pun memejamkan mata sebentar lalu menaruh gelas kopi ke bangku kembali. Sejenak aku menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan-lahan.

"Mas!" panggilku.


Jangan lupa mampir ke Dalam Tasbih Cintamu. Ceritanya sudah end loh. Bisa buat marathon. Atau mungkin ditabung dulu buat besok pas Ramadhon. Pas banget pas religi pula.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top