Makan Malam Pertama
"Ternyata memang percuma," kataku sembari meletakkan pulpen dan di atas kertas yang masih kosong. Tak hanya kertas, laptop pun sama. Tak ada yang ditampilkan di sana selain halaman kerja yang masih kosong.
Aku pun keluar sembari membawa satu cup kopi yang sudah kuminum separuhnya. Sebenarnya aku sudah membaca banyak artikel bagaimana caranya agar kerja tak terpengaruh oleh suasana hati. Apalagi perkerjaan seperti arsitek taman seperti ini perlu mood yang bagus untuk menghasilkan desain yang bagus juga. Walaupun itu agak sedikit membantuku untuk tetap bisa bekerja, tapi tetap saja hasilnya tak maksimal. Bertengkar dengan Airin sungguh tak berkah.
Jam sudah menunjukan pukul setengah empat. Beberapa jam lagi, subuh menjelang. Aku memejamkan mata, berusaha untuk membayangkan senyum Airin dan ibu secara bersamaan. Biasanya membayangkan seperti itu akan membuatku semangat lagi. entah seberapa pun berat dan resenya klien, aku akan tetap giat bekerja karena yang aku perjuangkan bukan uang melainkan kebahagiaan dua orang yang paling aku cintai di dunia ini. Dan sebagai orang dewasa aku mengetahui kalau kebahagiaan juga butuh uang.
Aku pun mengembuskan napas. Ternyata memang percuma. Saat berantem seperti ini, aku tak dapat membayangkan dengan jelas senyum Airin. Jangankan Airin, ibu juga tidak. Aku tahu jika ibu mengetahui kami sedang tak baik-baik saja, beliau turut akan sedih. Airinlah sumber kebahagiaan kami. Aku juga masih dengan jelas mengingat bagaimana bahagiannya ibu kala pertama kali bertemu dengan Airin.
***
Waktu kejadiaan ayah Airin yang menabrak mobilku, mereka belum bertemu ibu. Mereka hanya bertemu denganku yang kebetulan tengah membereskan halaman depan. Ibu waktu itu tengah pergi ke rumah temannya. Kedatangan Airin dan ayahnya pun hanya sebentar. Jadi mereka sama sekali tak berjumpa dengan ibu.
"Apa pakaianku sudah pas?" tanya Airin.
Aku pun tertawa dan Airin seketika melotot kepadaku. "Kayaknya aku harus ganti baju lagi, deh," decaknya kemudian.
"Airin, Airin!" cegahku.
"Bentar doang, kok. Janji nggak bakal lama," sambung Airin kemudian.
"Aku kembali tertawa."
"Tuh, kan. Udahlah, aku mau ganti baju lagi."
"Airin! Airin!"
"Apalagi? Kalau Mas nyegah aku terus, nanti malah tambah lama, lo."
"Airin. Kamu mau pakai baju apa pun tetep sama, kok."
"Sama-sama jelek, kan? Aduh, kalau kayak gitu, kita tunda aja deh, ketemu sama ibumu. Aku mau oplas dulu."
"Ya Allah, Rin. Kamu mau pakai kaos pun, kamu udah cantik. Bahkan menurutku, kamu lebih cantik daripada artis-artis Korea, imut lagi."
"Gombal!"
Aku terkekeh. "Lagian, kamu kira ibuku seperti apa? Seperti ibu tiri Rapunzel gitu? Yang galaknya minta ampun?"
Kali ini, Airin yang tertawa. "Kalau anaknya semanis ini, aku kira ibunya bakalan kayak ibu Nobita. Penyayang sih, tapi tetap saja galak."
Kami pun tertawa bareng.
Aku menarik napas. Kutatap Airin dengan tatapan setenang mungkin. Aku ingin sekali, dia mempercayai apa yang akan aku katakan. "Ibuku itu tak ada duanya, Rin. Dialah surga yang Allah ciptakan untukku di dunia ini," ujarku.
Airin tersenyum. kedua mata beningnya menatapku. Ia lantas mengangguk. "Aku percaya itu, kok," ucapnya.
"Makanya kalau kamu percaya, nggak usah dandan lagi. Ayok!"
Airin pun mengangguk lagi. Aku lantas membukaan pintu mobil untuknya, lalu melaju membelah jalan yang mulai malam. Kami langsung melesat sehabis maghrib. Aku sholat di kantor lalu segera ke rumah Airin. Setelah izin dengan calon mertua, aku pun membawa Airin ke luar rumah. Dan kejadian yang terjadi ya seperti tadi, Airin merasa insecure.
Airin terlihat mengembuskan napas berat. Sebenarnya ingin aku untuk menggenggam tangannya di saat seperti ini. Namun, aku tahu aku bukan siapa-siapanya untuk sekarang. Jadi daripada hanya berdiam diri, aku pun menghidupkan tape audio di mobil dan menyambungkannya dengan bluetooth di ponsel. Aku pun memasang volume tinggi-tinggi dan menyetel lagu Guns N' Roses dengan judul Sweet Child O' Mine.
Kala lagu mulai berputar, Airin pun seketika menengok ke arahku. Hanya dengan tatapan matanya, dia protes kepadaku.
"Apa?" tanyaku sembari tertawa.
"Bukannya kamu sukanya lagu kosidah, ya?"
"Apa? Kamu mau denger lagu kosidah. Boleh, kok."
Segera pun aku putar lagu Perdamaian milik Nasida Ria.
"Ya nggak gitu juga kali."
Aku tak memedulikan perkataan Airin dan justru malah mulai mengikuti lirik lagu yang tengah aku putar tadi.
"Perdamaian perdamaian perdamaian, banyak yang cinta damai, tapi perang makin ramai. Banyak yang cinta damai, tapi perang makin ramai. Bingung ...."
"Bingung kumemikirkannya," sambung Airin.
Setelah menyambung lirik barusan, Airin tertawa. Tawa yang renyah sekali. Tawa yang membuatku ingin mendengarnya secara terus-menerus.
"Makasih, ya," katanya.
Aku pun membalas senyumnya. "Terima kasih juga udah mau ketemu sama ibuku."
"Ibu kita."
"Kan belum sah."
"Segera sahhin dong."
"Dengan satu syarat."
"Apa?"
"Buat ibuku merestui hubungan kita."
"Ah itu pasti mudah."
"Lihat saja nanti."
"Iih kok kamu jadi bikin aku insecure lagi, sih."
"Kalu insecure nyanyi lagi dong. Perdamaian ... perdamaian ...," cengirku.
Airin pun mengulum bibirnya lantas menipukku dengan tasnya. "Dasar," katanya lantas tertawa.
Akhirnya kami pun sampai. Dengan penuh senyuman, aku pun menyilakan Airin masuk. Airin mengangguk padaku lantas melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah. Setelah Airin masuk, aku pun mengikutinya.
"Tunggu sebentar, ya. Biar aku panggilkan Ibu," ucapku.
Airin mengangguk kembali. Dia tersenyum, menyilakanku untuk pergi.
"Sebentar doang," ulangku sembari mengacungkan jempol kepadanya.
"Iya-iya," tanggap Airin.
Aku pun segera berlari, mencari ibu. Di mana beliau berada. Aku lihat di kamar, tidak ada. Di dapur juga tidak. Aku berputar-putar mencari di setiap ruangan tapi nihil.
Ibu ndak lupa kalau hari ini Airin mau ketemu, kan? resahku.
Karena di dalam rumah tidak ada, aku pun kepikiran kalau ibu mungkin ada di halaman atau mungkin di rumah tetangga. Tak tunggu lama, aku pun segera keluar.
Ketika aku melewati ruang tamu, Airin pun menatap heran ke arahku. Aku hanya bisa terkekeh sambil menunjuk ke luar.
"Sepertinya ibu di luar, sebentar ya," kataku mencoba menenangkannya.
Sebenarnya selain Airin yang grogi, aku juga cemas memikirkan pertemuan ini. Ibu berulang kali mencarikanku jodoh dan semuanya aku tolak. Bukan menolak sebenarnya, tapi ketika pertemuan, aku membuat mereka ilfeel sendiri.
Pernah dulu ketika lagi mau perkenalan, aku sengaja ngupil saat ditinggal berdua di ruang tamu. Aku juga pernah sengaja mencium jempol kaki setelah membuka kaos kakinya. Kalau mengingat itu, sepertinya aku terlalu jahat. Tapi semua itu aku lakukan kala aku tanya maukah mereka tinggal bersama ibu dan menemaninya selamanya. Jika jawabannya tidak atau ragu-ragu, aku pasti akan menolaknya. Jika mereka bersikeras, aku akan membuat mereka ilfeel. Aku tak peduli seberapa cantik atau kaya mereka.
"Ih ... ini Ibu ke mana, sih?" desahku setelah berlarian ke sana-ke mari tapi tak kutemukan juga ibu. Padahal aku sudah bertanya ke tetangga, warung, bahkan sampai masjid. Nihil.
"Ibu kan alergi dingin, masa sih pergi jauh-jauh?" tanyaku pada diriku sendiri.
Aku pun membungkuk, berusaha mengambil napas dan mengistirahtkan tubuh sejenak. Aku lalu mengangkat tangan, melihat sudah jam berapa. Sudah tiga puluh menit berlalu semenjak aku sampai di rumah dengan Airin tadi. Artinya paling tidak aku sudah meninggalkan Airin di rumah sendirian sekitar 20 menitan.
Aku pun bangkit lantas mengambil napas. Tak ada pilihan lain. Tak mungkin juga bagiku untuk meninggalkan Airin lebih lama daripada ini. Menunggu lima menit aja lama apalagi menunggu sampai 20 menit.
Secepatnya, aku pun kembali ke rumah. Setelah menata hem agar tidak acak-acakkan dan napas agar tak menderu, aku pun masuk ke rumah.
"Maaf, Rin. Aku tak bisa menemukan ...."
Perkataanku pun terhenti kala melihat sosok di kursi roda.
"Ibu dari mana saja? Kok aku cari ke mana-mana, ndak ...."
Kata-kataku pun terhenti kala melihat Airin yang menangis. Wanita yang aku cintai itu tengah sibuk menyeka air matanya yang terus keluar dari matanya.
Ibu lantas memutar kursi rodanya dan menghadap ke arahku.
"Ibu mau bicara sama kamu di dapur."
Aku menelan ludah. Belum pernah sebelumnya aku melihat ibu dengan ekspresi sedemikian rupa.
"Ibu nggak suka," katanya ketika sudah sampai di dapur bersamaku. Kendati di dapur, tapi suaranya sangat kencang sampai aku yakin kalau Airin pasti mendengarnya.
"Ibu jangan keras-keras," bisikku sembari berdesis.
"Kamu loh udah ibu carikan jodoh, semuanya ditolak. Sekarang giliran udah nemu sendiri terus maksa ibu buat suka gitu?" kata Ibu lagi dengan lantang dan tegas.
"Ya gitu, kan katanya harus mandiri," jawabku sembari menerka-nerka apa yang telah diperbuat Airin sampai ibu menjadi orang yang berbeda.
Tanganku sibuk membuat teh. Ibu paling suka dengan teh melati. Biasanya kalau moodnya sedang buruk, aku membuatkan teh ini. Seketika aroma wanginya mampu membuatnya tersenyum kembali.
"Ini lho yang ibu takutin. Siapa perempuan itu namanya?"
"Airin," jawabku pendek.
"Airin belum tentu bisa masak. Kamu mau udah kerja capek-capek, eh masih harus masakin, buatin minum. Kamu mau kayak gitu?"
Aku menggaruk-garuk kepala yang tak gatal. "Kok jadi gini?"
***
"Maaf soal Ibu, ya!" lirihku saat mengantar Airin pulang.
Airin pun mengangguk-ngangguk. Dia mengayun-ngayunkan kakinya, sembari memandangku. "Ndak apa-apa, kok," jawabnya.
Aku menunduk. "Ibu itu orang yang baik, kok, Rin. Nanti aku akan bicara lagi dengannya," sesalku.
Airin mengangkat wajahnya. "Nggak usah."
Aku pun tersentak mendengar perkataannya. "Jadi kamu nggak mau sama aku?"
Airin seketika tertawa dan aku pun bingung dengan ekspresinya.
"Senyum dulu, dong," ujar Airin yang makin membuatku bingung.
"Gimana mau senyum. Kamu saja dibuat menangis sama Ibu."
"Apa kalau menangis selalu karena sesuatu yang buruk?"
Aku mengerutkan dahi. Mendung sedari rumah yang aku bawa pun perlahan sirna. Segera saja sebuah senyuman pun terukir di wajahku. Aku tak bisa menghentikkan urat-urat di wajahku untuk membentuk raut wajah penasaran.
"Jadi?"
"Sudah malam, aku masuk dulu!" kilah Airin sambil terkekeh.
"Airin!" teriakku sambil mengejar, mendahuluinya.
"Ssst!" desis Airin sambil mengacungkan telunjuk di depan mulutku. "Nanti kalau tetangga dengar, bisa repot."
"Beritahu dulu apa yang kamu bicarakan sama Ibu?" geregetku.
"Sudah malam." Airin menguap lalu menggeliatkan badannya. "Dan aku mengantuk, jadi besok saja, ya!"
Aku menaikkan alis. Kubuka mulut dan bersiap untuk berteriak, "Ai!" dan Airin pun melotot ke arahku.
"Mas!"
"Mau beritahu nggak?" tantangku.
Airin mengembuskan napas. "Aku kasih tahu sekali dan nggak akan mengulanginya."
"Ok!"
Kukira Airin akan mendekat, tapi justru dia melangkah mundur, menjauh. "Ibumu bilang @*#%!%@"
"Apa?"
"Sudah sekali aku beritahu dan sampai jumpa besok!"
Airin pun kabur. Dia masuk ke dalam rumah dan langsung menutup pintunya begitu saja. Meninggalkanku yang diselimuti oleh rasa penasaran. Namun dari senyum Airin aku tahu kalau ibu membuatnya terharu, bukan membuat Airin menangis. Dan ibu, bisa-bisanya dia mengerjaiku.
Pertama kalinya aku nulis panjang di sini. Have enjoy it. Tolong tinggalkan jejak kalian berupa komen dan bintang. Makasih.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top