Lembur Bareng Bos
Aku menggeram, melihat tagar-tagar trendy di twitter yang berhubungan dengan nikah muda. Kali ini aku bertugas untuk menghitung kembali persentase views dari iklan yang sudah kami luncurkan beberapa bulan yang lalu. Hal ini berguna untuk mengerjakan proposal relounching produk agar dapat menghasilkan keuntungan yang lebih maksimal. Hanya saja bukannya aku fokus melihat persentase yang ada, aku malah dibuat pusing dengan tagar-tagar nikah muda itu. Seakan-akan mereka ingin agar aku memilih Rafael saja dan tak usah memedulikan apa itu impian.
"Ya Allah ...." Aku mengembuskan napas sembari menyendehkan badan.
"Masih belum selesai, Rin?" Rehan memutar kursinya lalu menghadap ke arahku. Di kantor ini hanya tinggal kami berdua, bertiga tepatnya jika si bos masih dihitung sebagai manusia. Entah kenapa semakin hari aku semakin kesal dengan dia. Mentang-mentang aku akan mendekati interview dan kalau lolos akan menghirup kebebasan dengan berkuliah di New Zealand, dia malah menguburku dengan kerjaan-kerjaan yang seharusnya bisa dikerjakan oleh staf lain.
"Belum, nih," jawabku ketus. Aku melirik Rehan, dia berulang kali menatap jam di lengannya. Dari air mukanya aku dapat menebak kalau dia tengah gelisah dengan waktu yang kian malam.
"It's ok, pulang aja Han. Kasihan istri lo. Masa dia tidur tanpa lo di sampingnya lagi, sih."
"Nggak papa nih, Rin?" tanya Rehan menyakinkan.
"Iya nggak papa. Kan sejak meeting tadi emang gue yang suruh revisi ulang. Udah pulang aja!" Sebenarnya aku sama sekali tak enak kalau ditinggal hanya berduaan bersama si pinguin antartika itu. Meski dia tetap berada di ruang super lengang dan dinginnya itu dan aku berada di kubikel kecil ini, tetap saja menyalahi apa yang diajarkan agama. Tidak pernah diperbolehkan seorang laki-laki dan perempuan cuma berdua. Apalagi dalam suasana sepi dan sunyi seperti ini. Tapi aku lebih kasihan kepada Rehan dan aku yakin si bos tak akan berbuat macam-macam.
Rehan masih terduduk. Bola matanya berulang kali menatap jam tangan dan ruangan si bos. Kakinya menghentak. Ia sedang mempertimbangkan keputusan.
"Katanya istri lo lagi hamil. Udah pulang aja! Lagian sejak kapan lo jadi care sama gue?"
Rehan sedikit tersenyum. Ia pun mengangguk lalu membereskan barang-barangnya. Aku harap Rehan cepat mengemasinya. Soalnya aku tak tahu kapan emosiku akan meluap. Andai saja aku tak salah menghitung satu persentase dan lebih teliti dalam mengetik, aku pasti dapat pulang lebih cepat. Lagi-lagi serta untuk kesekian kalinya weekendku dihabiskan di kubikel terkutuk ini.
Tak lama, Rehan pun berdiri, "Gue duluan ya, Rin."
Aku hanya mengacungkan jempol lalu kembali menatap monitor.
"Oh iya, kerjaanmu kan bisa diselesain di rumah." Rehan tiba-tiba berbalik setelah hampir sampai di lift.
"Ya sebenarnya bisa sih, kalau saja si bos nggak nyuruh selesai malam ini." Aku tertawa kecut. Sungguh menyakitkan emang, tapi inilah kenyataan. "Udah sana pulang!" sambungku sambil mengibaskan tangan.
Rehan kali ini tak menjawab. Ia hanya mengangguk lalu melanjutkan langkahnya ke lift.
"Good night, Rin!"
"Wa'alaikumussalam," jawabku.
Rehan tertawa dan memperbaiki salamnya sebelum akhirnya menghilang ditelan pintu lift. Setelah Rehan pergi, aku langsung fokus mengerjakan revisi. Bos sering bilang bahwa lembur itu hanya mindset, jika fokus maka revisi yang diajukan tak akan memakan waktu lama. Mungkin benar juga. Tak ada setengah jam aku bersikukuh dengan proposal, aku berhasil menyelesaikannya. Aku pun mengerimkan hasil revisi ke email si bos lalu mematikan komputer.
Aku menghempuskan napas. Lega rasanya. Kusandarkan badanku ke kursi kantor. Namun belum sempat meregangkan badan, hpku bergetar. Sebuah notifikasi terlihat di sana.
Ini pasti si bos! Ngapain lagi sih pinguin antartika!
Dengan malas aku mengambil hp lalu melihat notifikasi yang ada di sana. Ternyata bukan notifikasi pesan, tetapi notifikasi tanggal. Tunggu-tunggu ini beneran? Aku pun baru sadar sedari tadi, hp tidak terkoneksi dengan internet karena aku pasang mode pesawat. Begitu tersambung, puluhan pesan dan panggilan tak terjawab datang dari Rafael. Ibuku pun turut menghubungi dan sama-sama tak terjawab.
"Hih! Bego banget sih aku!"
Aku menepuk dahi. Bagaimana mungkin aku bisa lupa kalau sekarang ulang tahun Bu Nisa? Tak tunggu apa-apa lagi, aku pun langsung menata semua barang di kubikel lalu buru-buru pergi. Sayangnya belum juga sampai ke pintu lift, si bos memanggil.
"Pak, maaf ya, kalau ada revisi lagi jangan sekarang! Calon mertua saya sedang selametan ulang tahun!" rajukku.
"Siapa yang suruh revisi. Saya juga mau pulang," kata Pak Rahman datar.
Aku mengembuskan napas lalu masuk ke lift, begitu juga dengan si bos. Kok rasanya horor ya, selift hanya berdua dengan si bos. Mana dia jarang bicara lagi. Sudah lah. Aku pilih diam saja, sudah pasti aman.
"Rafael udah lamar kamu?"
"Hah?" aku langsung tercengang.
"Tadi kamu bilang calon mertua."
Haloo Bapak Rahman yang terhormat. Anda ini lelaki ya, kenapa doyan banget sama urusan asmara orang lain?
"Emang kenapa, nggak boleh?" daripada menjawabnya langsung, aku memilih untuk mempertanyakannya lagi.
"Ya boleh saja."
Aku mengambil hp. Lebih baik pura-pura sibuk daripada mengurusi manusia yang satu ini. Kami pun terdiam. Alih-alih fokus dengan pesanku yang tak kunjung dibalas sama Rafael, mataku malah berulang kali melirik angka di atas pintu lift. Perjalanan ini sungguh menyesakkan. Mana si bos tidak menyentuh handphonenya lagi. Tunggu! Biar kutebak. Karena dia jomblo pasti tidak ada yang ngechat. Duh kasihannya.
"Langsung pulang?" tanyanya.
"Nggak. Mau ke rumah Rafael. Kan ibunya ulang tahun."
"Jam segini?"
"Pak Rahman emang ada ya jam saya yang bisa diselamatkan di atas jam sembilan malam?" kataku sengaja menyindir. Mentang-mentang dia merekomendasikanku untuk mendapatkan beasiswa dari pusat, si bos malah menyuruhku banyak bekerja. Pakai acara lembur pula.
"Kan bisa weekend!"
"Sejak kapan ulang tahun orang bisa diundur?"
Sekakmat! teriakku dalam hati.
Kali ini si bos diam. Aku benar-benar tak peduli kalau dia tersinggung. Kali-kali kacung menang boleh kan?
"Naik apa?" tanya Pak Rahman lagi.
Aku menghela napas. Ini kenapa liftnya lama banget sih!
"Taksi." Ya ... mau bagaimana lagi, mobilku masih rusak dan Rafael sedang sibuk dengan selametan ulang tahun ibunya.
"Emang ada yang ambil pesenanmu?" Pak Rahman menjatuhkan pandangannya ke hpku.
"Belum sih, tapi pasti nanti ada."
"Saya antar aja!"
Aku buru-buru melambaikan tangan. "Nggak usah, Pak."
"Nggak baik perempuan malam-malam naik taksi sendirian."
"Ini kota loh, Pak. Jam 00.00 aja masih ada orang lewat."
"Ini bukan tawaran. Ini perintah!"
Aku mendesis. Ingin rasanya kulempar dia dengan sepatu. Tapi apa boleh buat. Aplikasi taksi online tak menunjukan adanya yang mengambil pesananku. Jadi dengan terpaksa, aku mengikuti si bos. Dan semoga nanti Rafael tidak melihatnya.
Halohay selian nulis di sini, aku juga nulis di pf lain loh. Innovel: Sepotong Surga yang Ditinggalkan Tuhan dan karkayarsa: Aryo dan Nur. Mampir ya. Terima kasih.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top