JADI ...


Aku mendesah. Ingatan itu masih begitu lekat dalam benakku. Bahkan itu adalah salah satu ingatan paling indah yang pernah terjadi dalam hidupku. Airin benar-benar mengubahku. Aku kira aku tak akan pernah jatuh cinta kepada wanita. Aku kira ketika aku berkata bahwa aku akan terus bersama ibu, dia akan meninggalkanku. Tapi ternyata tidak. Dia sangat mendukungku. Namun kenapa akhir-akhir ini dia berubah. Dia tampak ragu menerima lamaranku, padahal kukira dia akan langsung setuju ketika mendengarnya.

Aku menyesap kopi kembali. Jalanan masih lengang dan terlihat tidak ada pergerakan di rumah. Itu artinya ibu masih tidur dengan nyenyak.

Jam sudah menunjukan pukul empat pagi. Sebentar lagi subuh. Kertas masih kosong dan laptop pun juga. Aku sudah menyekrol semua ide tentang desain interior dari sosial media. Tapi tak ada satu pun yang pas dengan pesanan klien. Semua ide yang aku simpan jauh-jauh hari juga terasa buruk. Jika aku saja tak yakin dengan ide itu, bagaimana klien bisa yakin?

Gema tarhim sudah mulai menggelegar. Sepertinya sudah saatnya aku menyudahi lemburan bodoh ini. Aku tak mau sakit. Jika aku sakit, siapa yang akan merawat ibu. Lebih baik tidur sesaat daripada memaksakan tubuh seperti ini.

Aku pun menyisingkan lengan. Ibu pasti nanti bangun jam lima. Beliau masih bersikeras untuk memasakkanku sayur. Jadi paling tidak, sembari menunggu subuh, aku akan menanak nasi dan memasak air.

Ketika aku mengambil beras dari tempatnya lantas mencucinya di wastafel, pikiranku melayang. Dulu ketika aku hendak membuang air bekas cucian beras, Airin mencegahnya. Dia lalu mengambilkan satu pot bunga yang berisi bunga phlox merah muda.

"Airnya bagus buat nyiram taneman. Sayang kalau ikut masuk ke gorong-gorong," kata Airin sambil tersenyum dulu.

Hingga saat itu, bunga itu masih lebat. Bunga itu, Airin taruh di dekat jendela. Sesekali ada kupu-kupu yang hinggap di sana. Sesekali juga ada lebah yang mencari nektar di sana. Indah sekali. Seindah senyumannya saat itu.

Aku menggeleng. Tubuhku pasti sudah sangat lelah. Tidak bisa aku terus-terusan seperti ini. Aku butuh tidur. Meskipun tidur sehabis subuh itu sangat tidak dianjurkan, namun untuk sekarang, aku tidak punya pilihan.

Sehabis menaruh nasi di rice cooker dan menaruh panci di atas kompor, aku sholat. Tepat setelah sholat dan wirid selesai, air mendidih. Aku pun menuangkan air ke tremos. Untuk nasi, itu bisa matang sendiri. Maka ketika semua itu beres, aku pun merebahkan diri di kasur. Tak lupa kubuka jendela, biar nanti ketika mentari telah terbit, aku tak terlalu kaget.

Ternyata dugaanku benar. Dari aku lembur mulai jam 10 tadi sampai kini jam lima pagi, Airin tak memunculkan dirinya. Gawaiku pun sepi. Hanya ada notifikasi kerjaan di sana. Yah ... mungkin sumpahku saat itu, kini membawa petaka bagiku. Mungkin mulai saat ini aku harus mengubur cita-citaku untuk menikah dengan Airin. Termasuk juga mengubur cita-citaku untuk berkeluarga. Hidup hanya sekali, cinta pun sekali. Rasanya tak mungkin aku mencintai wanita lain selain Airin. Dan sekeras apa pun aku mencoba, sepertinya itu mustahil.

***

Matahari sudah bersinar. Bongkahan cahanya menimpa wajahku. Aku mengerjap-ngerjap. Kuusap wajah lalu duduk. Sudah aku duga sebelumnya. Tidur setelah subuh sama sekali tak menyegarkan malah membuat badan terasa lebih berat. Tapi setidaknya, aku dapat beraktifitas untuk pagi ini.

Aku melihat jam dinding. Sudah pukul tujuh pagi. Beruntung hari ini adalah hari Sabtu. Aku tidak ada kerjaan di kantor. Semua pegawai juga libur. Meski memang ada deathline mepet, bukan berarti aku akan menghabiskan weekendku ini hanya untuk bekerja saja. Ibu butuh aku bukan hanya sekadar kehadirannya saja, melainkan juga teman bicara. Kapan lagi aku bisa bicara dengan ibu di pagi hari selain di weekend.

Aku mengembuskan napas. Aku pun beranjak dari kasur, mengambil handuk lantas menuju ke kamar mandi. Sejenak kudengar ibu yang tengah bercengkrama di dapur. Namun aku tak memedulikannya. Palingan hanya tetangga yang mampir. Dapur rumah memang aku renovasi di rumah bagian kiri yang mepet dengan jalan. Bukan. Bukan aku ingin pamer masakan ibu yang super duper enak, hanya saja kalau semisal ada apa-apa, kan bisa langsung loncat lewat jendela yang tersedia di sana.

"Ibu masak apa?" tanyaku sembari masih mengucek-ngucek rambut.

Aku menutup kamar lalu merentangkan handuk, hendak menjemurnya. Tapi betapa kagetnya aku ketika melihat seseorang yang sedari malam aku pikirkan, kini berada di sini.

"Airin?" tanyaku setengah berteriak.

"Pagi, Mas!" sapanya dengan wajah ceria. Dia kini menggunakan celemek yang biasa aku gunakan ketika masak. Di tangannya, tersaji sebuah piring dengan sayur kangkung.

Aku mengucek-ngucek mata, memastikan bahwa aku sedang tak bermimpi. Aku kira setelah ucapan pedasku beberapa waktu lalu, dia tak akan muncul kembali. Aku saja sudah berputus asa. Airin juga mempunyai hak untuk menentukan masa depannya, maka mungkin saja dia akan mengejar impiannya itu. Lelaki tak bisa hidup tanpa cinta, tapi berbeda dengan perempuan. Mereka bisa saja hidup hanya dengan harta dan tahta mereka. Begitulah yang aku dengar dari orang-orang.

"A ... aku ...." Aku mencoba untuk berkata. Tapi tenggorokanku penuh. Satu kata saja, mampu membuat serak terdengar dari ucapanku.

Airin mendekat. Dia mengambil tisu lantas mengelap pipiku. "Makanya sehabis subuh, jangan tidur lagi. Kan suaranya jadi serak," katanya. Perlahan dia menggerakkan kepalanya, menunjuk ke ibu. Sepertinya dia hendak berkata kalau ibu tak boleh tahu tentang semua ini.

Airin pun mengambilkan segelas air putih yang langsung saja kuminum. Dia lalu beranjak mengambil piring sekaligus nasi untukku.

"Makan dulu. Kali ini aku yang masak, lho. Kamu sih tidur mulu, jadi kayaknya ada sedikit bumbu yang terlewat," katanya riang.

"Piringmu?"

Airin tertawa. "Kan aku sudah bilang. Kamu tuh jangan tidur habis subuh. Makanya jadi terlewat. Aku sama ibu sudah makan tadi. Bahkan ibu sampai cerita ketika kamu masih kecil. Aku bahkan sampai ketawa waktu ibu cerita kalau kamu nangis-nangis gara-gara salah seragam di sekolah dulu."

"Ibu!" rajukku yang hanya dibalas kekehan oleh ibu.

Airin pun ikut tertawa. Kendati sedari awal dia di sini dengan wajah ceria, namun sejatinya aku tahu kalau itu hanyalah topeng. Topeng sempurna yang dibuatnya agar ibu tak tahu apa yang tengan dialamiku dengan Airin.

"Ibu ke belakang dulu!" celetuk ibu.

"Biar aku bantu!" sahut Airin.

"Bantu Rafael habisin makannya saja. Ibu takut kalau dia nanti malah nggak jadi makan karena bukan ibu yang masak!" seringai ibu.

Airin tertawa. Sementara aku menelan ludah. Aku tahu ini. Seberapa pun aku berusaha menyimpan rahasiaku, ibu pasti tahu kalau ada sesuatu yang tak beres.

Ibu pun berlalu. Airin kembali duduk di depanku. Satu tangannya mengambil gorengan yang baru saja dia taruh di piring.

Aku masih tertunduk. Kuaduk-aduk nasi dengan sayur kankung lalu memakannya. Meski getir karena suasana hatiku sedang tak tentu, tapi aku sama sekali tak mau membuat Airin kecewa. Masakannya enak dan aku tak mau membuang-membuang makanan. Seberat apa pun ini, akan aku telan.

"Jadi ...."

Airin tersenyum, "Habiskan dulu! Baru nanti kita bicara," selanya.

Aku pun mengangguk.


SELAMAT WEEKEND. Selamat bersarapan ria bersama yang terkasih.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top