CINTA TAK BISA DIPELAJARI

***Terim kasih sudah membaca sejauh ini. Aku terharu banget, meski yang komen sedikit. Makasih banget. ***

♡Rafael♡Airin♡Rahman♡
Akan selalu menemani kalian.

***

Aku memandang ke luar sembari menyesap kopi. Ini hari ulang tahunku yang ketiga puluh lima. Tidak ada orang yang mengucapkan selamat kecuali adikku, Qiana. Kurasa wajar, karena aku memang tak pandai bergaul dengan orang lain. Lebih tepatnya, aku tak bisa percaya lagi dengan orang lain apalagi wanita.

Namaku Rahman yang artinya kasih sayang. Tapi sepertinya arti dari nama itu sudah kubuang jauh-jauh semenjak kejadian itu menimpaku.

"Kakak sudah makan?" tanya Qiana lewat telepon yang kusambungkan dengan earphone.

"Sudah."

Qiana mengembuskan napas. Dapat kudengar suaranya dari seberang. Di sini memang baru jam enam sore. Tapi di New Zealand sudah jam 12 malam. Sepinya suasana di sana membuat aku dapat mendengar suara apa pun dari telepon Qiana.

"Tidur, An. Udah malem. Nggak baik buat kehamilanmu," ujarku. Sekali lagi aku menyesap kopi.

"Ih kok Kakak tahu, sih. Padahal niatnya aku mau kasih suprise biar Kakak nggak bisa tidur."

Aku tertawa kecil. "Kamu tahu sendiri kalau kamu nggak bisa nyembunyiin apa pun dari aku."

"Kakak tahu dari mana? Dari Mas Adam, ya? Awas aja nanti kalau dia udah pulang. Bakal aku pukul."

"Adam belum pulang?"

"Belum. Ini aku masih nungguin. Dia bilang sedang lembur. Dia juga ngirim foto buat bukti."

Aku tersenyum. Entah mengapa aku selalu suka mendengar kisah hubungan Qiana dengan suaminya. Mereka pasangan yang rukun. Adam juga bertanggung jawab. Jadi ketika Qiana ragu akan menikah atau tidak, aku langsung meyakinkannya untuk melakukan itu. Adam orang yang baik. Sangat susah untuk menemukan lelaki seperti itu di dunia ini. Dan alangkah bodohnya Qiana kalau sampai dia rela tidak menikah dengan Adam hanya karena tidak mau melangkahiku.

Hening sejenak. Qiana menguap. Aku baru saja pulang dari bank. Tidak ada yang menarik hari ini. Aku hanya datang, bekerja, dan pulang. Tidak ada yang menyapa maupun mengajakku pergi. Yah ... kurasa memang sudah terlambat jika memulai hubungan dari sekarang.

"Tidur, An! Sudah terlalu malam di sana," ulangku.

"Emm ...." Qiana seperti bingung hendak berkata apa.

Aku pun masih terdiam, menunggu apa yang hendak dia katakan. Aku juga ingin agar dia cepat tidur, maka sebisa mungkin aku berkata datar.

"Emm ...." Lagi-lagi Qiana berkata tidak jelas.

"Kalau ada yang mau kamu katakan, katakan aja, An. Kakak akan dengerin, kok!" kataku pada akhirnya. Aku dapat menebak kalau Qiana seperti tengah bimbang.

"Apa Kakak tidak mau ngungkapin perasaan ke Mba Airin?" tanyanya akhirnya.

Aku pun pura-pura tertawa. "Buat apa? Apa kamu pikir Kakak suka sama dia?"

Untuk sesaat, Qiana tak menjawab. "Apa Kakak masih trauma sama hubungan Kakak dengan Kanya?"

Aku menelan ludah. Sudah hampir tiga tahun Qiana tak pernah membahas hal ini. Dia juga berjanji padaku tak akan mengungkit si pelacur itu lagi.

"Sayang?" terdengar suara Adam dari sana.

"Maaf Kak, Mas Adam sudah pulang."

Aku mengangguk seakan-akan Qiana dapat melihatku."Iya," sambungku.

"Selamat tidur Kakakku yang tiada duanya," salam Qiana.

Aku tertawa kecil. "Selamat tidur, Adikku yang tak tahu berterima kasih," balasku.

Qiana sempat tertawa sebelum memutuskan telepon. Instrumental di earphone kembali bergema. Sejujurnya aku tak terlalu suka lagu, rasanya paling enak menikmati sebuah instrumental yang tak ada liriknya. Karena bagiku semua lagu, mengingatkanku padanya.

Ya. Dia. Wanita bernama Rahmi. Nama yang berarti sama dengan namaku, penyayang. Dan dialah alasan dari sikapku saat ini. Tak kurasakan lagi arti dari namaku maupun kasih sayang dari orang tuaku.

Kami, aku dan Rahmi, hampir saja menikah. Kala itu, aku masih merasakan ada senyum yang tak mau turun. Ada kasih yang begitu menggebu dalam diriku. Dan ada hari yang begitu aku nanti.

"Gimana? Cantik?" tanya Rahmi setelah memakai gaun pengantin yang ditunjukkan oleh designer gaun.

Aku terperangah. Rahmi memang cantik alami. Namun saat ini, ketika dia memakai gaun di hari yang kami tunggu, aku sama sekali tak bisa bicara.

"Jelek, ya?" tanya Rahmi.

Aku menggeleng lalu tersenyum. "Kalau kamu jelek, mana mungkin aku bisa diam saja melihat kamu berpakaian seperti ini. Saat ini yang mau aku lakukan hanya menculikmu dan membawamu langsung ke KUA," seringaiku.

Rahmi tertawa. Dia lantas mencubitku. Aku pun mengaduh sambil tertawa.

"Harusnya aku nggak tanya, biar kamu pas nikah salah ijab terus. Terus malu, deh," katanya.

"Kalau aku salah, kan ada kamu yang ngingetin."

"Dih, belum nikah aja, aku udah dapat tugas," seringainya dia lantas mematut dirinya di cermin sebelum akhirnya berkata, "Dahlah, aku nggak mau kamu lihatin terus. Nanti malah nyulik aku beneran." Rahmi tertawa. Dia melipat roknya lalu berlari masuk ke dalam, menghilang dari pandanganku.

Namun ternyata candanya selama ini hanyalah dusta. Wajah cerianya yang dia pasang selama bertemu denganku, hanyalah topeng. Dan kegembirannya saat dijodohkan denganku, cuma bualan semata.

Hari itu, sehari sebelum kami menikah, Rahmi menghilang. Tidak ada satu pun orang yang tahu. Orang tuaku, orang tuanya, sama sekali tak ada yang tahu. Akhirnya pernikahan itu pun gagal. Aku sama sekali tak mengerti mengapa Rahmi menghilang. Polisi pun telah menyelidikinya. Bahkan detektif terbaik dan sekelas Sherlock Holmes, aku sewa demi menemukan Rahmi. Hanya saja semua orang berkata sama. Sebuah kata yang sama sekali tak bisa aku pahami.

"Dia memutuskan untuk kabur dengan pria lain," kata mereka semua. Tak ada yang berbeda, tak ada yang bertentangan. Semua mengatakan kalau Rahmi tak ingin menikah denganku.

Aku sama sekali tidak percaya. Aku selalu membantah pernyataan itu dan memaksa detektif yang kusewa untuk menemukan fakta lain. Bahkan saat itu, aku sampai berharap mendengar Rahmi diculik dan dibunuh. Mungkin hal itu lebih baik kudengar daripada mendengar dia lari dengan pria lain.

"Maaf, Tuan. Tapi itulah yang terjadi. Saya sudah menemukan Rahmi dan dia hanya akan muncul jika Tuan yang menemui dia sendirian," kata si detektif.

Aku sama sekali tak bisa berkata. Semua raut wajah yang selama ini menyelimuti wajahku, pun menguap. Tak ada satu pun senyum yang tersisa. Aku juga tak tahu bagaimana memandang seseorang dengan tatapan yang berbeda. Di mataku hanya tersisa tatapan sedingin pembunuh bayaran.

Si detektif lantas menyerahkan sebuah kertas. Aku menerimanya lalu membuka dan membacanya.
Sebelum mataku membaca satu huruf dari surat itu, si detektif undur diri. Sesuai dengan perjanjian, pekerjaannya telah selesai ketika menemukan Rahmi.

Mataku kembali fokus pada secarik kertas yang diserahkan detektif itu. Ketika aku melihatnya, mataku pun membelalak. Ini memang tulisan milik Rahmi. Aku hapal karena dia sendiri yang menulis satu per satu nama yang ingin diundangnya.

Temui aku di tempat pertama yang akan kita kunjungi setelah kita menikah.

Dengan masih sangat berharap, aku pun datang di tempat yang aku janjikan padanya. Aku harap semua ini hanyalah mimpi. Aku harap semua ini hanyalah candaan semata, sebuah prank yang sering Rahmi lakukan padaku. Namun kali ini semua nyata. Rahmi telah berdiri di sana, di sebuah jembatan yang mengarah ke lautan. Gaun yang dia pakai berkibar, seiring dengan angin yang juga meniupkan ombak. Dia tersenyum. Benar-benar tersenyum. Aku sering melihatnya tersenyum, tapi tak pernah seindah yang satu ini.

"Rahman ...," panggilnya. Dia lalu menjauh dari laut, mendekatiku yang masih terpaku di ujung jembatan.
Aku tak bergerak secenti pun. Mataku pun tak mau terpejam meski sudah pedih terkena terpaan angin. Aku tak menyangka dengan apa yang aku lihat. Rahmi berdiri di depanku, bukan sebagai istriku, tapi sebagai istri orang. Ada cincin yang sudah melingkar di jari manisnya.

"Maafkan aku. Aku tak bisa menikah denganmu. Sebenarnya aku tak bisa jatuh cinta padamu. Di hari kita dijodohkan, aku tak bisa berkata apa-apa. Orang tuamu menjanjikan uang untuk biaya operasi tumor ibuku. Maka dari itu, aku berusaha untuk melupakan cintaku pada seorang pria dan berusaha untuk mencintaimu," ungkap Rahmi.

Mulutku ternganga. Aku tak tahu apa yang terlintas dalam pikiranku. Aku juga tak tahu apa yang aku rasakan. Hatiku serasa bingung harus merasa senang karena bertemu dengan Rahmi kembali, atau marah karena mendengar pernyataan ini.

Satu tetes air mata Rahmi keluar. "Tapi maaf aku ndak bisa. Sebesar apa pun aku berusaha mencintamu, sebesar itu juga aku tahu kalau rasa cintaku pada pria itu juga tak bisa hilang. Aku pun sadar kalau cinta bukan sesuatu yang bisa dipelajari."

Rahmi diam sejenak. Dia menelan ludah. Aku tak tahu apakah air mata yang kini menggenangi matanya itu, air mata kesedihan atau air mata kasihan.

"Maaf, Rahman. Aku tak bisa menikah denganmu. Pria itu sudah membuktikan kalau cintanya bisa membuatnya memenuhi semua kebutuhan keluargaku. Dia sudah bisa membiayai pengobatan ibu, pendidikan adikku, dan melunasi hutang ayahku. Jadi ...." Rahmi terisak. "Maafkan aku," lanjutnya.

Rahmi pun beralih meninggalkanku. Dia melangkah melewatiku yang masih kehabisan kata-kata. Namun begitu langkah Rahmi terdengar, aku pun membalikkan badan.

"Dasar pelacur!" umpatku.

Hanya itu kata yang tergambar di otakku. Apa namanya bagi seorang perempuan yang menikah hanya demi uang.

Rahmi terhenti. Dia terlihat menyeka air matanya lalu membalikkan badannya.

"Ya. Aku memang pelacur. Dan bagi pelacur sepertiku tak mungkin bersanding dengan pria terhormat sepertimu. Jadi Rahman, tolong berjanjilah. Temukan wanita yang benar-benar berhak menerima cintamu yang begitu besar," kata Rahmi.

Wanita itu pun berbalik kembali. Mataku terus mengekori langkahnya yang terus menjauh. Dari kejauhan aku dapat melihat dia yang sudah sampai di pinggir jalan. Di sana dia seperti mengusap air matanya. Dia seperti tersenyum dan mencium seorang pria yang duduk di motor besarnya. Rahmi memeluknya lalu duduk di jok belakang. Mereka pun pergi dengan Rahmi yang menyandarkan kepalanya di bahu lelaki itu.

***

Instrumental masih terus mengalun indah lewat earphone. Aku masih berdiri di samping jendela, di rumah besar yang hanya ditempati oleh aku sendiri.

Setelah kejadian itu, ayah dan ibu selalu berusaha menjodohkanku lagi. Mereka tak pernah menyerah seperti aku yang tak pernag menyerah menolak mereka. Sampai dengan Qiana akhirnya menikah dengan Adam, aku masih lajang. Hatiku sudah mati. Tak mungkin rasanya bisa hidup lagi.

Ayah dan ibu juga sudah menyerah. Mereka kecewa dengan keputusanku. Mereka akhirnya memilih untuk pergi dari Indonesia. Mereka memilih untuk hidup di New Zealand bersama Qiana.

"Biar kamu merenungi bahwa tak selamanya hidup sendiri itu enak," tandas ayah sebelum mereka semua pergi.

"Datanglah ke New Zealand saat kamu sudah menemukan seseorang yang akan kamu nikahi," tambah ibu.

Jadilah aku sekarang di sini. Sendirian di Jakarta. Atau mungkin akan selamanya di sini sampai ajal menjemputku dalam kesunyian. Atau mungkin jika ada seorang wanita yang bisa menghidupkan hatiku kembali seperti .....

Makasih komentar dan bintangnya. Follow akunku ya 😍

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top