BUBUR


Aku menghela napas. Berulang kali aku masuk ke ruangan ini dan belum bisa terbiasa juga dengan hawa ruangan Si Pinguin. Rasanya lebih mengerikan masuk ke sini daripada masuk ke ruang sidang. Apalagi kini aku sedang menaruh kesal dengannya.

Namun sebagai pegawai yang menghormati atasan, ehm ... aku ralat. Sebagai pegawai yang dipaksa menghormati atasan, jadilah aku harus menggunakan SOP saat memasuki kawasan mereka. Dengan amat lembut dan sangat menahan emosi, aku pun mengetuk pintu. Sekali aku ketuk. Tidak dijawab. Aku masih menahan emosi. Berusaha untuk sabar dong. Ketukan kedua, tetap saja tidak dijawab. Boro-boro dijawab, dilirik juga tidak. Padahal sudah jelas-jelas Pak Rahman ada di dalam sana. Kayaknya yang luka bukan cuma tangannya tuh, kupingnya juga.

Ok ... sekali lagi aku ketuk dan tidak menjawab, aku akan melangkah cantik ke CS lagi, tekadku.

Sebenarnya aku sudah ingin sekali menendang pintu ini dan berteriak di daun telinga Si Pinguin. "Woy dengar tidak!" Tapi ya ... mana berani aku melakukan itu pada atasan. Apalagi dia sudah berjasa membuatku memenangkan beasiswa itu.

Dengan ketukan ketiga.

"Masuk!" ujar Pak Rahman pada akhirnya.

Heran deh ... sebenarnya sesibuk apa sih Si Pinguin itu sepagi ini. Padahal di depan saja belum banyak customer yang masuk.

Aku masih berdiri kala Pak Rahman membelakangiku. Dia menatap ke luar, melihat runyamnya kota dari jendela ruangannya.

"Kenapa ya, Pak?" tanyaku.

"Bisa tolong belikan saya ... bubur?" kata Pak Rahman sedikit tersendat.

Kupingku seketika gatal mendengarnya. Maksudnya apa ini? Kenapa harus aku juga yang turun. Bukan jobdesk seorang CS buat melayani atasan. Apalagi untuk buat beli apa tadi, bubur?

"Pak kan ada OB."

"Mereka lama. Tolong cepat!"

Idih. Sumpah serasa ingin menonjok Si Pinguin. Sepertinya rencanaku untuk beli boneka Pinguin harus segera aku realisasikan, deh. Kalau-kalau nanti aku kesel, aku bisa nempel foto Pak Rahman di sana dan menghajarnya sepuas yang aku mau. Seperti Nene, teman Sinchan yang kalau marah selalu memukul boneka kelincinya.

Andai saja dia tidak berjasa buat beasiswaku itu, pasti akan aku tolak. Tapi kali ini apa boleh buat.

"Ya," jawabku ketus.

Bagaimana tidak ketus coba? Dia nyuruh tanpa mandang aku di belakangnya. Kayaknya menyuruh OB saja lebih sopan daripada ini.

"Rin ...," panggil Pak Rahman.

Aku menghentikan langkah tepat saat tanganku sudah mulai membuka pintu. Sepertinya Pak Rahman akan meminta maaf. Dari nada panggilnya yang sudah halus lagi, kayaknya dia akan bersikap seperti biasa.

Aku tersenyum, pikiranku sedikit jumawa. Bisa tunduk juga orang nih satu. Dengan pelan aku pun membalikkan badan. Tapi justru Pak Rahman masih saja menatap ke luar.

"Jangan pedas!"

Ha? Mulutku terbuka. Bahkan peganganku yang tadi sudah di pintu pun mendadak lepas. Segala positiv thingking ku soal Pak Rahman musnah sudah. Kalimatnya itu bagai bom atom yang meluluh lantakkan semua kesabaranku. Sumpah, jika bawang merah yang paling aku benci ketika nonton sinetron dulu, sekarang yang baling aku benci adalah bawang merah versi lelaki. Siapa lagi kalau bukan Si Pinguin Antartika.

Tanpa menjawab apa pun lagi, aku melangkah pergi. Aku juga hendak membanting pintu. Biar saja bunyinya sampai ke Si Pinguin. Sebal benar aku dibuatnya. Sialnya seluruh kantor ini ada alat penutup pintu otomatis. Jadi mana mungkin bisa buat menutup pintu dengan keras.

"Mau ke mana, Rin?" tanya Rachel ketika aku melangkah menjauh dari meja CS.

"Menuruti apa mau bosmu!" jawabku dengan nada seru. Gondok banget aku pagi ini. ini masih bagi lho. Belum juga menghadapi para kaum kolonial yang ngeyel, malah sudah dibuat lelah dulu sama tingkah laku ajaib dari satu-satunya spesies berdarah beku di kantor ini.

Dengan segera dan tanpa ba bi bu ba, aku meminjam motor dari Mas Rehan yang baru berangkat. Untungnya aku tahu di mana letak tukang bubur yang ada di dekat sini. Sebenarnya males juga cepat-cepat, tapi daripada darahku naik terus mengingat kejadian ini, mending sudahi saja. Satu menit cukup, dan aku sama Pak Rahman, end.

"Nih, Bapak Rahman yang saya junjung dan hormati. Satu bubur tidak pedes, tidak pake lama, dan juga masih hangat. Sekian dan terima kasih," tuturku.

"Ya!" jawab Si Pinguin yang lagi-lagi masih membelakangiku.

Aku pun ingin mengangkat tanganku dan mencengkeramnya. Andai di ruangan ini tidak ada CCTV, pasti sudah aku lakukan. Dan karena aku masih waras, aku pun balik badan dan segera menuju ke toilet.

"Iih sumpah kesel banget!" teriakku yang kutahan-tahan. Aku pun memukul-mukul udara sambil membayangkan kalau aku beneran memukul Si Pinguin. Fiks, pulang dari kantor, aku harus beli boneka Pinguin.

"Wes! Untung bogem lo nggak ngenain gue!" ujar Rachel yang masuk toilet dan kaget melihat aku yang masih memukul-mukul udara.

Rachel kemudian berjalan ke wastafel dan membuka kotak perhiasannya. Dia mematut diri di depan cermin, sebuah hal wajib yang dilakukannya ketika jam sudah menunjukan pukul sembilan pagi.

"Lo kenapa? Masih pagi sudah jadi mak lampir aja. Seneb liatnya!" cerca Rachel sembari mengoleskan lip balm ke bibirnya.

"Bosmu tuh! Pagi-pagi udah main nyuruh aja. Padahal OB ada, satpam juga ada. Ngapain nyuruh-nyuruh gue beli bubur. Mentang-metang dia udah berjasa gitu, main perintah seenaknya saja! Sumpah pingin cepat-cepat berangkat gue ke NZ," celotehku sembari mendekati Rachel dan meminta lip balmnya. Seperti bibirku sudah seperti kerak tanah yang kekeringan gara-gara nahan amarah semenjak tadi.

Rachel tertawa. "Kayak yakin aja lo ke NZ. Yakin lo mau pisah sama Rafael?"

Mendengar nama pemuda yang kucintai disebut, membuat tanganku yang tengah mengoleskan lip blam pun terhenti. "Ya nggak, sih. Mana rela gue pisah sama pria yang sudah gue yakini sebagai jodoh gue."

"Eh nggak-nggak, Rin. Mending lo ke NZ aja sekarang."

"Loh kok?"

"Soalnya nanti lo terlalu beruntung jika juga dapatin Rafael. Nanti Rafel masuk barisan lelaki yang ngidamin gue aja."

"Kampret, lo!"

"Eh tadi gue kan habis dari ruangan Pak Rahman. Dia lagi makan bubur yang lo ceritain tadi. Dan dia pucet tahu. Lo nggak kasih racun kan, ke makanannya?"

"Gue malah bersyukur kalau dia mati sekalian."

"Jahat banget, lo."

"Udah ah, gue mau fokus buat berdamai dulu sama Rafael."

Aku yang memang hanya meminjam lip balm, pun keluar. Namun ketika aku keluar dari toilet, aku justru berpapasan dengan Pak Rahman yang sedang menutup mulutnya. Toilet laki-laki dan perempuan yang memang bersebalahan dan hanya dipisahkan sebuah tembok, membuat lelaki dan perempuan bisa saling berpapasan.

Pak Rahman awalnya langsung membelakangiku dan bersikap sedatar yang dia bisa. Namun sepertinya ada sesuatu yang tidak bisa dia tahan. Dan kala dia perutnya mulai bergerak kembali, dia buru-buru masuk ke toilet. Sebuah suara yang amat kukenal terdengar. Pak Rahman muntah-muntah.



Hai ... sudah lama nggak update ya. Menurut kalian cucok mana sih, Airin - Rahman atau Airin - Rafael?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top