BERUBAH


Aku mengembuskan napas. Begini amat ya jadi semi single. Rafael tidak mau hubungi. WA kayak gua. Sepi banget dan suram. Karena aku jarang scrol tik-tok dan ig juga, rasanya gawai kayak tidak ada gunanya, deh. Sebenarnya mau saja aku temui, cuma nanti pasti ditanya jawabannya apa sama Rafael. Tapi kalau tidak ditemui, eh justru Bu Nisa bertanya macam-macam.

Aduh bagaimana ya? Mau curhat ke orang tua pasti nanti dimarahi. Ibu dari dulu kan tidak pernah setuju kalau aku pergi jauh-jauh. Kuliah di luar kota saja, beliau mikir panjang, apalagi ini. Kuliah di luar negeri dan pernikahan terancam lagi. Pastinya lebih ditentang.

Sumpah galau banget aku. Sepertinya lebih enak memilih dua pria daripada memilih antara Rafael dan beasiswa deh. Dan harapanku itu terwujud. Aku melihat Pak Rahman yang lagi membenarkan mobilnya di basement. Sepertinya parah. Hem birunya saja sampai kotor seperti itu. Kap mobilnya terbuka lagi.

Nasib ya nasib. Tadinya aku sengaja pulang terakhiran di kantor. Sambil melamun gitu mau berbuat apa kalau pulang. Tidak ada kerjaan lembur sebenarnya. Hanya saja males drama. Eh malah beneran drama dong. Pak Rahman sendirian di basement dan tidak ada mobil lainnya. Yap hanya dia seorang dan aku.

Bantuin nggak ya? tanyaku dalam hati.

Kalau tidak aku bantu, pasti aku merasa makhluk paling jahat di muka bumi. Secara Pak Rahman kan secara tidak langsung mewujudkan impianku untuk bisa kuliah di luar negeri, masa aku tidak mau nolong. Tapi kalau aku membantunya, itu sama saja aku mendekati dia dong. Nanti apa yang dikatakan Qiana benar. Aku ingin menjadi Nyonya Rahman. Eh bentar, itu pun kalau Pak Rahman benar-benar suka sama aku. Dia saja tidak pernah mengungkapkan apa pun kepadaku. Ya walau sikapnya jadi sedikit hangat. Sedikit loh ya, sedikit banget. Namun itu tak membuktikan kalau Pak Rahman suka denganku, dong. Terlebih lagi kalau sampai Rafael tahu aku membantu Pak Rahman, pasti dia semakin jealous.

"Lap dulu keringatnya!" Aku pun memberikan sapu tangan yang selama ini aku bawa.

Pak Rahman menatapku. Aku menelan ludah. Kok dia keringatan seperti ini aku malah jadi merinding ya. Gantengnya jadi berlipat-lipat begini. Lebih bagaimana ya, lebih macho. Apalagi dia memang jarang bicara. Aih jadi gatel ingin mengelap keringatnya dengan tanganku sendiri, deh.

Astaghfirulloh ... Airin! Ingat Rafael! Jeritku dalam hati dan langsung memejamkan mata. Tak boleh. Aku tidak boleh melirik lelaki lain. Hatiku untuk Rafael seorang, meskipun dia sedang ngambek tapi itu bukan alasan untuk berpaling kepada lelaki lain.

"Terima kasih," ujar Pak Rahman sembari mulai menyeka keringat dan bekas oli di pipinya.

Sumpah aku ingin pakai headset saja deh. Kenapa sih kalau orang pendiam dan super dingin seperti Pinguin Antartika ini jika bicar sepatah kata saja merdu? Menyebalkan.

Aku pun berdeham, mengusir pesona Pinguin Antartika yang semakin menganggu ketentraman hatiku bersama Rafael. Tidak baik dan tidak baik.

"Perlu aku panggilkan montir?" tanyaku. Sengaja aku tidak menawarkan tumpangan. Ya kali menawarkan tumpangan. Aku diberi bubur sama Pak Rahman saja gosipnya sudah sampai mana-mana. Nah kalau sampai ada yang tahu aku pulang bareng dengannya, pasti lebih gempar lagi gosipnya dan Raafel tambah marah denganku.

Pak Rahman masih diam. Tangannya sibuk mengotak-atik mesin atau apa pun di sana. Dasar Pinguin Antartika. Sudah baik aku temani, eh malah dikacangi.

"Pulang saja, Rin. Kamu pasti lelah dan mana ada montir jam segini."

Mendengar jawaban seperti itu, aku pun segera melihat jam tangan. Ternyata sudah menunjukan pukul sembilan malam. "Belum malam amat-amat, kok. Ini juga kota besar kalau Bapak lupa. Dan ramainya dua puluh empat jam," sanggahku.

Pak Rahman pun menutup kap mobilnya. Mata cokelatnya yang super teduh pun memandang ke arahku. Demi melihatnya aku menelan ludah. Ini hanya perasaanku saja atau kalau dalam remang-remang seperti ini ketampanan Pak Rahman bertambah berkali-kali lipat ya.

"Kota memang ramai. Tapi kantor kita kan tidak di pusatnya. Lalu kamu mau cari montir di mana?" sergah Pak Rahman.

Aku pun memandangnya sinis. Keluar deh sifat yang sudah lama tidak aku lihat. Sifat dinginnya yang aduhai minta ditonjok. Ini orang kagak ada peka-pekanya. Diperhatikan bukannya terima kasih malah marah-marah. Sungguh menyebalkan.

Pak Rahman tiba-tiba bersedekap. "Lagi pula, kenapa kamu masih di kantor, Rin? Seingat saya, saya nggak kasih kamu lemburan. Semua kerjaan kamu sudah beres kan, laporan bulanan juga sudah diserahkan. Tadi pagi nasabah yang datang juga sedikit. Lalu kenapa kamu masih di sini?" tandas Pak Rahman.

Aduh, skakmat banget pertanyaannya. Tadi aku sih niatnya pulang lebih larut karena selain mau mendownload drakor buat di rumah, sekalian biar tidak papasan dengan Pak Rahman, eh malah takdir berkata lain. Hanya saja mendengar kalimat pedes seperti ini kok sebel ya. Baru beberapa hari lalu loh, dia itu bersikap lembut. Maksudku agak beda dari Pak Rahman biasanya. Kenapa sekarang sikapnya jadi seperti ini.

"Pak Rahman yang terhormat, kenapa ya karyawan di mata Bapak selalu salah? Pulang larut salah, pulang awal juga salah. Pulang pas jam lima juga dipertanyakan. Lalu sebenarnya Bapak ingin kami gimana?" skakmatku balik. Enak saja. Memang hanya dia yang bisa marah dan menjugde orang.

"Pulang tepat waktu dan datang juga tepat waktu. Itu sudah SOP dari bank, kan? Saya tidak pernah sekali pun protes karyawan mau pulang tepat jam lima asalkan kerjaannya sudah beres."

Aku sedikit kaget mendengar nada ketus dari kalimat Pak Rahman. Ini satu orang kenapa sih? Masa iya laki-laki PMS. Tahu-tahu marah-marah seperti ini. Menyebalkan tingkat dewa. Hawa-hawa Rahman yang kemarin manis dan imut pun hilang sudah. Ini mah bukan lagi pinguin antartika tapi sudah berubah jadi beruang antartika.

"Kalau tidak mau dibantu bilang saja dari awal, Pak. Ndak usah panjang lebar begini," tandasku lantas melangkah pergi.

"Iih nyebelin banget tuh Si Bos. Ngapain marah-marah sih!" decakku ketika naik mobil. Aku benar-benar tak habis pikir yang membuatnya tiba-tiba bersikap seperti itu. Apa mungkin dia sadar kalau beberapa hari ini aku sengaja menghindar. Aih mana mungkin sih, Pak Rahman kan tidak pernah memperhatikan aku tuh.

"Tahu ah, sebel. Pokoknya aku mau pulang dan lupain Rahman! Bodo amat dia mau pulang pakai apa nanti," pungkasku pada diriku sendiri.

Aku pun segera menghidupkan mobil, memasukkan gigi, dan melajukan mobil. Namun karena aku berada di parkiran belakang, aku pun harus melewati Pak Rahman lagi untuk keluar dari basement. Dan ketika aku hendak lewat di sampingnya, tiba-tiba Pak Rahman berteriak kesakitan. Aku pun segera turun dari mobil dan mengecek kondisinya. Ada darah.


Jangan lupa komen. Satu komen kalian, sepuluh semangat buat aku. Terima kasih.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top