Prolog
Senja telah kembali ke peraduan saat sinyal itu datang. Sebuah tanda yang harus segera dilaksanakan. Sebagai seorang Hulubalang dari Selatan, Wija harus bergegas mempersiapkan diri hendak menemui Penguasa Bawanapraba yang memanggil. Namun, langkahnya terhenti saat ia berpikir panggilan kali ini berhubungan dengan pecahan kristal mustika yang telah hancur berkeping-keping, karena pertarungan Sang Hyang terakhir melawan Iblis. Jika memang karena ini dia dipanggil, mungkinkah ada hubungannya dengan desas-desus yang ia dengar berapa hari terakhir, itu artinya kejadian yang dia kubur selama ini akan segera kembali mengusik waktunya.
Wija membuang napas berat, "Semoga tidak seperti yang aku pikirkan," gumamnya pelan sambil melanjutkan kembali mempersiapkan mustika miliknya, sebuah pedang kecil bermata tiga, atau dinamakan Siwar Trisula. Diselipkannya Siwar Trisula ini di pinggang. Bukan hanya membuat dirinya semakin gagah, tapi juga mustika ini dapat membuat Wija sakti mandraguna. Salah satu kesaktian yang dapat ia andalkan adalah membuat tubuhnya menjadi seringan kapas. Sehingga dia bisa lebih cepat menemui Penguasa Bawanapraba. Dan dalam sekejab dia telah melesat terbang ke Dunia Cahaya.
Istana Bawanapraba tak berubah seperti terakhir kali ia datangi. Kokoh dan megah. Sebuah istana yang tiada tandingannya, yang menaungi kerajaan-kerajaan kecil yang tersebar di seluruh Nusantara. Ukiran 17 para utusan kepercayaan Bawanapraba terpajang di kubah langit istana. Mereka adalah para pemimpin yang tersebar di berbagai tempat belahan nusantara. Matanya tertuju ke salah satu ukiran seorang wanita yang tampak berbeda dari lainnya. Wija tersenyum kecil melihat pose yang ditunjukkan. Di saat semua orang menghadap ke depan, dengan sikap santai hanya dia sendiri menghadap ke samping.
"Kau sudah datang?" sapa seseorang yang berada di sebelahnya. "Sanaoka. Wanita ini selalu bisa mengambil perhatian banyak orang," ujar Pangeran Barat tertawa saat menyadari pandangan Wija.
Wija hanya berlalu tanpa menanggapi. Dia tak ingin waktunya terbuang untuk menanggapi ucapan Pangeran Barat. Sepertinya hanya mereka berdua yang saat ini baru tiba. Atau mungkin utusan yang lainnya sudah mendapat titah dan pergi. Entahlah, yang jelas ia harus segera menghadap Sang Hyang.
"Hei pemuda, kau terlalu canggung," ucap Pangeran Barat yang kini sudah berada di hadapan Wija. Kali ini Pangeran Barat merasa Hulubalang Selatan tak boleh mengacuhkannya. Biar bagaimanapun kedudukannya sebagai seorang pangeran lebih tinggi.
"Minggir," perintah Wija dingin.
"Kau!"
Belum sempat Pangeran Barat meneruskannya, terompet istana telah diperdengarkan. Tandanya Sang Hyang telah menunggu para utusannya siap menghadap. Wija berlalu melewati Pangeran Barat, yang membuat Pangeran Barat mendesah pelan karena sekali lagi, ia diacuhkan. Wija berjalan memasuki pelataran aula utama. Sang Hyang telah duduk di singasananya dengan begitu gagah. Guratan di kulit wajahnya tak membuat ia kehilangan kharisma siapapun yang memandangnya. Tak ada kesan angkuh yang ia tunjukkan. Inilah yang membuat Wija selalu menghormati Penguasa Bawanapraba.
Wija dan Pangeran Barat membungkuk memberi penghormatan. Hingga seorang perempuan tiba-tiba melesat dengan cepat menjeda ucapan mereka memberi penghormatan dengan berucap tergesa-gesa. "Salam. TuhenOri. Hamba menerima pesanmu." Tak perlu dilihat, Wija sudah hapal siapa utusan wanita yang kali ini datang. Sang Penunggu Bangunan dari Nias, Sanaoka. Dia selalu punya caranya sendiri untuk mengekspresikan dirinya yang unik.
"Sanaoka, Hulubalang Selatan, dan Pangeran Barat. Aku memanggil kalian untuk menjalankan satu tugas. Kalian mungkin sudah mendengar jika di beberapa tempat telah terjadi kejadian-kejadian aneh yang melibatkan beberapa makhluk, sehingga membuat keonaran di berbagai nusantara. Semua disebabkan oleh pecahan kristal mustika saat perperangan melawan iblis yang lalu. Titahku untuk kalian para utusan terbaikku. Segera temukan dan Kembalikan Kristal itu kepadaku."
Wija dengan serius mendengar tugas yang harus dia jalankan kali ini. Seperti yang kuduga, batinnya kemudian. Ia pun menepuk dadanya tanda kesiapan dalam menerima tugas. Pikirannya kembali ke beberapa tahun silam. Mungkin memang sudah saatnya ia menuntaskan cerita masa lalunya. Hulubalang Selatan dan kedua utusan lain pun berpamitan dan undur diri dari Sang Hyang. Pangeran Barat telah melesat secapat kilat meninggalkan pelataran istana. Wija bisa merasakan aura pecahan kristal yang ia cari. Walau cukup kecil, tapi dia yakin dari sanalah aura ini terpancarkan. Ia harus segera mendapatkannya kembali, sebelum sesuatu yang buruk terjadi lagi.
Saat Wija hendak memerintahkan Siwar Trisula, ia menyadari Sanaoka kini membuntutinya dari belakang. "Mengapa mengikutiku?!"
"Kita searah. "
Wija mengerutkan keningnya tak percaya, "Aku pergi ke Selatan, Nias ada di Utara."
"Sampai sekarang aku masih seorang Sanaoka. Aku bisa melompat dengan mudah dari Selatan ke Utara," jawabnya kesal dan segera berbalik pergi.
"Dasar wanita, salahpun tak akan mengakuinya," upat Wija yang segera terbang meninggalkan istana. Urusan Sanaoka tak perlu diperdulikannya. Karena masalah pecahan kristal ini lebih penting, dan ia sudah cukup lelah dengan ini semua. "Kuharap kristal itu tak membuat masalah lebih besar lagi."
***
Maaf. Cerita baru di saat yang lain belum diteruskan. Sebenarnya sudah ada kelanjutannya, hanya saja memang belum di publish, karena beberapa harus direvisi. Dan cerita kali ini di dedikasikan untuk Kak AryNilandari atas tantangannya beberapa waktu yang lalu. Kak, maaf kalau gak sesuai ekspetasi kakak dan gak menarik malah takutnya takut keluar jalur :( tapi setidaknya aku mau mencoba, hahaa...
buat Kak Betty (gak bisa tag) :( aku samain sikit ya prolognya. hahaha... habisnya gemez sama Sanaoka.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top