Chap 6 : Masa Lalu
Angin berembus lembut memainkan rambut yang tergerai. Teriknya matahari yang menyengat kulit, tak menyurutkan langkah kaki Lita memasuki gedung berlantai enam di depannya kini. Kusuma Corporation, hampir empat tahun terakhir hidupnya ia curahkan untuk di sini. Berawal dari keinginan untuk segera diakui, ia bekerja penuh rasa percaya diri membantu membangun dan bertahan dengan segenap kemampuannya. Namun kenyataan tak seindah yang ia mimpikan, kegagalan dan kegagalan yang terus ia dapatkan. Sehingga kali ini dia harus meninggalkan segenap harapannya dulu dan pergi meninggalkan gedung ini, dan juga mimpinya.
"Setidaknya aku pernah mencoba berusaha di sini. Ibu, maaf aku gagal," gumamnya saat melangkah memasuki ruang kerjanya.
"Lita! Astaga kamu ke mana saja? Kenapa kemarin kau tak datang saat presentasi?" ucap seorang wanita muda yang datang dan memeluknya.
"Aduh Dwi, gak perlu peluk-peluk ah," ujar Lita yang risih di peluk Dwi satu-satunya sahabat Lita di kantor.
"Lita, kenapa kemarin? Padahal aku tahu kau sudah bekerja keras untuk presentasi itu. Sayang sekali, akhirnya rubah itu yang menang," sungut Dwi yang merasa kesal .
Lita hanya tersenyum kecut mendengar cuapan Dwi. Ia mengerti jika sahabatnya ini sangat tidak menyukai Nilan. Dwi selalu bilang jika Nilan itu bukan manusia tapi Rubah betina. Alasan sebenarnya karena kecantikan Nilan bisa memikat semua karyawan pria di kantor.
"Sudahlah, tak apa. Aku kemari hanya untuk beberes, aku sudah tak berhak lagi di kantor ini," ujar Lita pasrah dan kembali memasukan semua barang-barangnya ke dalam box yang sudah dia siapkan.
"Lita, kau harus tahu ini. kau tahu, presentasi yang disiapkan oleh Nilan, memilik ide dasar yang sama seperti kamu," ujar Dwi.
Lita yang mendengar ucapan Dwi menghentikan kegiatannya dan menatap serius, "Maksud kamu?"
"Karena kau tak datang. Bapak Brata Kusuma memang langsung menyatakan bahwa Nilan adalah pemenang dari perlombaan presentasi itu, tanpa melihat hasil presentasi milik Nilan. Tapi kau tahu, aku memergoki Nilan yang sedang menyiapkan berkas presentasi. Entahlah, aku yakin itu sama seperti ide yang kau tunjukkan padaku seminggu yang lalu. Aku yakin."
"Perasaan kamu saja kali Dwi. Kau tahu sendiri 'kan? Aku hanya meceritakan detail ide itu hanya padamu. Jadi tak mungkin Nilan bisa mengetahuinya, mungkin hanya sedikit sama saja," ujar Lita tak percaya.
"Ah, kau ini Lita. Sesekali percayalah padaku. Nilan itu Rubah, Ru-bah! Dan kau harus berhati-hati dengannya. Aku harus kembali ke ruanganku, yang semangat ya Lita," ujar Dwi yang kembali memeluk Lita, sebelum akhirnya dia keluar dan pergi.
Lita hanya diam tak menanggapi ucapan Dwi. Setelah selesai beberes Lita pun segera mengangkat Box-nya dan hendak pergi. Sebelum akhirnya seseorang tiba-tiba muncul di hadapannya.
"Kau akan menyerah sekarang?"
"Minggir Ken, aku tak butuh belas kasihmu."
"Lita. Kenapa kau membenciku?"
"Karena kau seorang pengkhianat."
"Aku tak berkhianat padamu!" jawab Ken tegas. Memegang lengan tangan Lita. Ken bahkan menatap lekat manik mata Lita.
"Lepaskan!" ujar Lita menatap marah Ken. "Kau tahu, apapun yang akan kau katakan aku tak peduli! Jadi lepaskan tanganku!"
Ken yang melihat tatapan kebencian dari Lita pun akhirnya menyerah. Tak ada tersisa hal lainnya. Hanya kebencian yang tersisa untuknya. Ken pun melepaskan tangan Lita.
"Pak Brata ingin berjumpa denganmu. Beliau menunggu di ruangannya," ujar Ken yang akhirnya memberitahu alasannya menemui Lita siang ini.
"Katakan padanya, jangan kuatir aku hanya mengambil barangku yang tersisa," jawab Lita dan segera berlalu pergi. Ada duri yang tertanam lekat di hatinya, duri yang tak akan bisa dicabut karena sudah tertanam begitu dalam. Lita sangat membenci Ken yang memilih mengabdi di samping ayahnya bukan membela dan mendukung di saat masa-masa sulitnya.
***
"Cuaca bagus banget, serasa di oven!" gerutu Lita saat berjalan ke parkiran mobilnya. Jelas saja cuaca sedang terik, waktu baru menunjukkan pukul satu siang.
"Kenapa kau lakukan ini?" tanya seseorang yang ternyata adalah Nilan yang berdiri di belakang. Lita yang melihat Nilan, terus memasukan box yang dia bawa ke dalam mobilnya di kursi penumpang.
"Lita!"
"Tak usah berteriak, aku tak tuli. Lagipula ini yang kalian mau 'kan? Aku segera pergi dari hidup kalian!" ujar Lita sedikit merasa kesal.
"Kenapa kau berpikir seperti itu? Pulanglah, ayah dan ibu juga mengharapkan kau berkumpul kembali, layaknya keluarga utuh," bujuk Nilan mencegah kepergian Lita.
Lita tak memperdulikan ucapan Nilan. Meski Nilan mencoba memegang tangannya, namun segera ia tepis dan berlenggak pergi. Keluarga? Omong kosong! Aku dan ibuku tak pernah kalian anggap di rumah itu, batinnya kemudian dan kembali melajukan mobilnya pergi. Lita masih bisa melihat dari spion Nilan yang berdiri menatap kepergiannya. "Dan mungkin satu-satunya orang yang selalu dan menerima kedatanganku hanyalah kau, Kak," gumamnya sambil mengingat semua kejadian yang pernah terjadi.
Lagu Muara Kasih terdengar di dalam mobil Lita. Satu-satunya lagu yang ia sukai dan mengingatkan tentang ibunya. Ibunya mungkin bukan wanita yang baik, tapi dia selalu mencintai ibunya lebih dari apapun. Saat keluarga kecil mereka terdiri dari ayah, ibu, dan dirinya pernah hidup rukun dan damai. Meski tinggal di rumah yang sederhana tapi saat itulah dia merasakan kebahagian sesungguhnya. Kebahagiaan itu berakhir, saat istri pertama ayahnya Brata Kusuma datang dan menuntut hak atas dirinya sebagai istri dan juga seorang ibu.
Dunia kecil mereka berubah, ayah dan ibunya sering bertengkar meski hanya masalah sepele. Lita hanya bisa memeluk boneka mendengar pertengkaran demi pertengkaran yang terjadi. Puncaknya saat ibu meminta ayahnya untuk pergi dan kembali ke istri pertama. Ibu Lita bukanlah wanita perebut suami orang, saat dia menikah dulu ayahnya Lita adalah pria yang kabur karena tak mencintai istri pertamanya akibat perjodohan orangtua. Kesalahan ibu Lita hanya tidak mencari tahu masa lalu Brata Kusuma. Saat itulah ayahnya pergi meninggalkan rumah juga Lita kecil yang menatapnya sedih.
Ibu Lita memeluk erat putri kecilnya seraya berucap, "Jangan takut bidadariku, ibu tak akan pernah meninggalkanmu." Lita menangis keras melihat kepergian ayahnya. Dua bulan setelah kejadian itu, Lita yang menunggu kepulangan ibunya dari bekerja di mini market sedang bermain dengan anak-anak seusianya di teras rumah kontrakan mereka. Beruntung tetangga mereka orang-orang yang baik, sehingga Lita bisa dititipkan di sana selama ibunya bekerja.
Hari itu, yang pulang ke rumah lebih awal bukanlah ibunya, melainkan Brata Kusuma, Sang Ayah. Brata terlihat berbisik-bisik dengan tetangga yang mengasuhnya, Lita bisa melihat ekspresi Tante Fina yang menatapnya berurai airmata. Lita kecil tak mengerti apa yang dikatakan ayahnya sehingga Tante Fina seperti itu. Setelah itu ayah mengajak Lita pergi bersamanya. Lita merontak, ia tak ingin ikut ayahnya, ia hanya ingin menunggu kepulangan ibunya. Tapi Brata tetap menggendong dan mengajak Lita pergi. Lita yang berusia enam tahun akhirnya mengerti saat ternyata Brata mengajaknya ke rumah sakit, dan melihat ibunya yang terkapar penuh luka di sekujur tubuhnya. Airmatanya tumpah. Kesadaran ibunya membuat ia mendengarkan baik-baik amanat ibunya.
"Anakku, bidadariku, maafkan ibu. Ibu tak bisa menepati janji. Ikutlah ayahmu, Nak. Jadilah anak yang baik dengan mengikuti perintahnya. Dengarkan istri ayahmu. Kau tak akan kesepian karena kau akan punya seorang kakak yang cantik. Jadilah wanita yang kuat dan selalu bisa diandalkan. Kuatlah bidadariku, untuk ibu," pesan ibunya terbata-bata menahan sakit. Lita hanya bisa menangis dan mendengarkan ibunya. Tak lama dari itu, ibunya pun mengembuskan napas terakhirnya.
"Ibu, aku selalu kuat untukmu. Tapi aku tak bisa jika bersama mereka. Tatapan wanita itu aku tak menyukainnya. Bahkan ayah selalu menganggapku duri di dalam dagingnya," ujar Lita saat mengingat semua kenangan itu. Ia kembali menatap aliran sungai yang selalu membuatnya merasa nyaman.
"Kau sangat suka sendirian."
Lita yang melihat Wija yang duduk di dekatnya hanya bisa mendengus kesal, "Kau lagi!"
"Suka, tak suka, kita akan sering bertemu," jawab Wija.
Lita kembali diam. Tak ingin menjawab apapun. Setidaknya sekarang dia harus memikirkan cara untuk melepaskan susuk ini dari tangannya. Mungkin saja, pria aneh ini benar dapat membantu dirinya. Karena hanya dia harapan dari ini semua.
"Aku akan pergi sementara, mencari cara mengambil pecahan kristal, apa kau bisa berjanji satu hal padaku saat ini?" ujar Wija menatapnya serius.
"Apa?"
"Jaga ucapanmu. Jangan gunakan kekuatan itu jika tak ingin mati karenanya. Aku pernah melihat seseorang mati konyol karena rasa penasaran dengan kekuatan itu," jelas Wija meminta Lita.
"Aku tak janji. Terkadang aku tak bisa mencegah mulut ini."
Wija yang mendengar jawaban Lita hanya bisa melotot kesal, "Terserah kau saja. Jika kau mati, kristal itu akan balik padaku. Itu menguntungkan bagiku." Setelah mengucapkan hal itu Wija kembali menghilang dan pergi dari hadapan Lita.
Lita penasaran apa kutukan yang ia ucapakan terjadi hal buruk saja. Sedangkan ia sudah browsing semalaman lewat aplikasi tercanggih dan serba tahu, Google. Jika legenda mengatakan Pangeran Serunting bukan hanya bisa mengutuk hal-hal buruk saja. Dia juga bisa berbuat kebaikan dengan kutukan ini. Lita merasa penasaran dan ingin mencobanya. Tapi tentu saja itu pasti akan menyakiti dirinya sendiri. Ada hal yang harus dia korbankan, yaitu dirinya sendiri .
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top