Gambar yang Tersembunyi

"Jika ingin menyadarkan aku pentingnya dirimu bagiku dengan cara seperti ini, aku harap aku tidak akan pernah sadar, selamanya"

Decha Liana Putri


Aku terus mendekap kepala Choki berharap ini semua mimpi. Aku tidak ingin seperti di film-film yang berkata tidur tapi sebenarnya, TIDAK. Aku membuang jauh pemikiran itu, tapi aku hanya manusia biasa bukan Spongebob yang tidak pernah curiga atau su'udzon sekali pun Plankton pernah memperdaya dirinya untuk mengambil resep dari Tuan Kreb berkali-kali. Aku takut Choki meninggal dan terbang ke kahyangan bersama Mimi Peri. Padahal di Bumi masih ada yang cantik, seperti aku misalnya.

Di tengah pemikiran konyolku yang bergejolak, terdengar secara sayup-sayup sebuah lagu yang tak asing.

Yo wes ben duwe bojo sing galak
Yo wes ben omongane sengak
Gawe aku susah
Nanging aku wegah pisah [6]

"Bunda kondisinya begini kok malah nyalain MP3, sih!" ketusku ke Bunda.

Bunda tidak menggubris omonganku, bunda justru mengangkat telepon.

"Halo, Chaka. Kamu di mana? Bunda telepon dari tadi, lho."

"Bunda masih pakai ringtone itu, Bun?" tanya Ayahku seperti tidak terima atau malah tersindir.

"Sudah, Ayah jangan dibahas dulu, ini Chaka telepon," jawab Bunda sambil menarik bibir Ayah yang terlihat mengerucut.

"Sebentar, Chaka! Bunda loudspeaker dulu!"

"Ini sudah nyampe mana, Bun? Choki gimana?"

"Kami sudah nyampe Gerbang Bates Semarang Demak, Chaka. Sebentar lagi nyampe Rumah Sakit Islam Sultan Agung. Kami tunggu di pintu IGD, ya!"

"Bun, minta tolong cek Choki dengan ABCD!"

"ABCD apaan sih, Kak? Decha enggak paham maksud Kakak," kataku ikut nimbrung pembicaraan.

"Airway, Breathing, Circulation and Disability. Airway tolong cek apakah ada sumbatan pada jalan napas Choki bisa karena muntah atau yang lain? Lihat pergerakan dada dan perut Choki, jika normal maka akan gerak bersamaan."

Aku melihat sebentar gerak dada dan perut Choki," Geraknya sama, Kak."

"Sekarang dengarkan dan rasakan napas Choki apakah terdengar seperti mengorok, berkumur, atau tinggi?"

Aku mendekatkan telingaku tepat di hidung Choki dan pipiku untuk merasakan hembusan napas Choki yang keluar, "Terdengar biasa, Kak. Tidak mengorok juga."

"Cek circulation itu cek nadi Choki apakah terasa denyutannya? Periksa juga telapak tangan Choki terasa hangat, kering, dan merah atau dingin, basah dan pucat? Tekan ujung kukunya dan akan kembali merah butuh berapa detik?"

"Kak, jangan cepat-cepat Decha bingung."

"Cek nadi Choki!"

"Sudah, Kak terasa walau sangat lemah."

"Cek telapak tangan Choki!"

"Terasa dingin, basah dan pucat, Kak."

"Pencet ujung kuku Choki terus cek berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk kembali merah!"

"Iya, Kak sebentar!" Aku mulai memencet ujung kuku Choki dengan kuat kemudian melepaskannya dan mulai menghitung berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk kembali merah. "Satu, dua, tiga, empat, lima. Lima detik, Kak," sahutku kencang.

"Disability itu cek kesadaran Choki, apakah Choki sad.."

"Choki pingsan," potongku.

"Jika ada perdarahan tolong ditekan dengan kain agar perdarahan berhenti agar Choki tidak mengalami hipovolemia."

"Apa Kak? Hipofollow?"

"Maksud Kakak kehabisan darah, Cha. Jangan terlalu menggerakkan leher Choki secara berlebihan takutnya Choki mengalami patah tulang leher."

"Iya, Kak."

"Makasi sudah menjaga, Choki."

***

Kami sudah sampai di Rumah Sakit Islam Sultan Agung. Hanya rumah sakit ini yang paling dekat jaraknya dengan tempat kejadian. Ayah segera keluar dari mobil dan berteriak meminta bantuan orang yang terlihat duduk di depan pintu IGD.

"Tolong tolong, Pak."

Seseorang yang gagah, berkumis tipis, rambut seperti para tentara itu mengenakan pakaian bewarna biru dongker segera menarik brankar dan mendorong ke arah mobil kami. Sepintas aku melihat di dadanya terdapat name tag Slamet Pambudi. Dia dan ayah mulai memindahkan Choki ke brankar. Masuk ke dalam ruangan IGD. Dulu aku pikir jika masuk IGD harus melewati lorong-lorong yang tak berkesudahan seperti di film. Ternyata letak IGD hanya beberapa meter saja dari area parkir. Aku merasa tertipu dengan adegan di film tersebut.

Choki kemudian dibawa masuk ke ruang tindakan oleh Pak Slamet dan ayah. Beberapa orang mengikuti mereka. Sepertinya seorang pria yang berlari tergopoh-gopoh itu, sebagai dokter jaga IGD terlihat dari pakaian dan stetoskop yang menggantung di lehernya. Didampingi dua suster yang satu gempal dan yang satu ber-body kutilang, kurus tinggi langsing. Mereka ikut masuk.

"Silakan daftarkan pasien di ruang pendaftaran di sana, Bu!" kata Pak Slamet setelah keluar dari ruangan tindakan sembari menunjuk sebuah meja besar di depan ruang IGD dan seorang wanita berhijab coklat yang duduk menatap komputer.

"Iya, Pak. Makasi," kata Bunda sembari menarikku agar ikut serta mendaftar ke loket pendaftaran.

"Selamat malam ada yang bisa kami bantu?" sapa petugas berhijab coklat dengan sopan.

"Kami mau mendaftarkan pasien korban kecelakaan yang barusan masuk."

"Bisa pinjam data pengenal korban, misal KTP atau SIM?"

"Tolong, Cha cari di tas Choki!" Aku pun segera mencari dompet Choki di dalam tas sekolahnya yang aku bawa setelah turun dari mobil tadi. Mungkin orang yang sedang mengalami kekhawatiran akan timbul tingkat kegugupan yang berlebihan pada dirinya. Hanya mencari dompet saja aku sampai gemetaran. Tanpa sengaja aku justru menjatuhkan buku binder note dengan cover kulit bewarna coklat milik Choki.

"Cepat, Cha! Mana dompetnya, lama bener, sih!" Bunda segera menarik tas Choki dan mencari sendiri dompet Choki.

"Ini, Mbak KTP korban."

"Sebentar, Bu saya proses dulu ya."

Aku tidak begitu mengindahkan lagi pembicaraan antara bunda dan petugas rumah sakit tersebut. Aku lebih tertarik mengambil binder note milik Choki dan menuju ruang tindakan. Aku gemetar dan terkejut ketika tanpa sengaja melihat salah satu halaman binder yang telah terbuka akibat tak sengaja terjatuh, tadi.

Sebuah gambaran diriku terlukis dengan sangat indah. Bahkan mungkin terlalu indah bila dibanding dengan diriku yang asli. Aku memang tak meragukan tangan Choki mampu menggambar sesuatu dengan sangat apik. Tapi yang menjadi pikiranku, kenapa dia menggambar diriku di binder-nya.

Di atas selembar kertas itu, aku menyusuri seluruh bagian wajahku yang menjelma menjadi gambar. Rambutku yang bewarna coklat diarsir halus, bibirku yang mungil bewarna merah, hidungku dan mata kecilku. Seolah-olah ini nyata bukan sekedar gambar. Yang paling membuat aku tertegun adalah tulisan tangan yang kuyakini tulisan Choki terpampang di gambar itu. Si Mungil I Love You. Aku terus membaca tulisan itu berulang-ulang bagai mantra. Aku terduduk lemas di depan pintu ruang tindakan. Entah kenapa air mataku jatuh kembali. Aku mendekap dengan sangat erat binder note milik Choki. Aku membayangkan itu Choki.

Oh, Tuhan seandainya aku mengatakan yang sesungguhnya. Tentang perasaanku padanya selama ini. Sebenarnya hatiku mulai nyaman dengannya. Hanya saja aku tidak pernah mengatakan kepadanya. Seharusnya aku memahami tulus hatinya mencintaiku, batinku sambil terisak-isak menahan rasa sesak di dadaku, seperti terhimpit. Sungguh sakit.

Selang beberapa lama Kak Chaka, Kak Cyntia, Pandu, Emma dan Tiara sudah sampai di depan ruang tindakan IGD. Kak Chaka dan Kak Cyntia menghampiri ayah dan bunda yang terduduk lesu di bangku. Pandu, Emma dan Tiara menghampiriku. Tiara langsung menegakkan tubuhku yang sedang terduduk dan menangis. Walau sedari tadi ayah dan bunda memintaku duduk di dekat mereka. Tapi aku tak menggubris mereka dan tetap bergeming. Tiara menghapus sisa-sisa air mataku dan memelukku erat. Tapi itu justru semakin membuatku menangis kembali.

"Jika ingin menyadarkan aku pentingnya dirimu bagiku dengan cara seperti ini, aku harap aku tidak akan pernah sadar, selamanya." lirihku di pelukkan Tiara. Seolah-olah aku berkata kepada Choki.

Arti dalam Bahasa Indonesia

[6] Ya sudah tidak apa-apa punya suami pemarah
Ya sudah tidak apa-apa bicaranya ketus
Buat aku susah
Tapi aku tidak mau pisah

A/N :

Maaf ya update malam-malam. Soalnya nunggu Decha (anak Embu) tidur dulu. Sudah bisa protes kalau Embu-nya megang hp terus. 'Embu jangan main hp terus.' Walau belum terlalu lancar banget sih bicaranya. Tapi Embunya mengerti Decha ngomong apa. Hehehe

Mungkin pada mikir, kok humor tapi ceritanya kok gini? Hehehe ketoprak humor aja yang ada embel-embel humornya juga ceritanya ada setting di mana para pemainnya berantem, menangis, dan yang pasti bikin ketawa itu. Jadi nikmatin dulu alur cerita Si Mungil ini. Semoga suka.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top