🎹8. Di apartemen 🎹

Aku berjalan menuju lemari yang ditunjuk oleh Mas Lala ada dua lemari besar yang bersandingan di sini. Sebuah lemari berwarna abu yang bersebelahan dengan jalan menuju toilet dan di sisi sebelahnya ada lemari putih.

Aku membuka lemari putih itu, menatap ke dalam ada beberapa pakaian yang tergantung. Aku mengambil salah satunya, ukurannya memang benar sama dengan ukuran pakaianku. Aku akan bertanya nanti pada Mas Lala dan kini akan merapikan pakaian milikku di sini.

Saat itu Mas Lala berjalan masuk. Aku menoleh menatapnya yang membuka lemari pakaian mengambil sebuah kemeja.

"Itu bener kan ukuran bau kamu?" tanyanya.

Anggukan kepala adalah jawaban yang aku berikan. "Terima kasih Mas," jawabku.

"Nenek yang beli itu. Jangan terima kasih sama aku." Ia menjawab dengan dingin lalu berjalan masuk menuju kamar mandi.

Setelah selesai merapikan lemari pakaian, aku memilih berjalan ke luar kamar. Aku perhatikan semua yang berada di sini yang akan jadi tempat tinggalku setelah ini. Semua masih terasa seperti mimpi. Baru kemarin berstatus anak yatim piatu dan kini jadi istri seorang dosen yang juga pewaris tunggal.

Kalau dipikir, kisah hidupku ini seperti drama-drama ala ikan terbang. Namun, jelas lebih baik karena aku tak perlu tergiling di mesin molen atau jatuh ke sungai. Tatapanku tertarik pada sebuah foto kecil. Aku berjalan menghampiri, ku ambil bingkai foto dengan bentuk bunga matahari itu. Di sana ada fotoku dan Mas Lala saat kami kecil. Aku tak ingat, mungkin aku juga punya foto itu dulu. Tapi, sepertinya hilang  karena dulu rumah kami terkena gempa dan hancur.

"Lucu banget," gumamku melihat Mas Lala berdiri dengan setelan kuning.

"Kamu bisa kan di rumah sendiri?" suara suamiku terdengar, buat aku menoleh.

"Mas mau pergi?" tanyaku kemudian meletakan foto kembali ke tempatnya lalu berjalan menghampirinya yang kini sibuk mengenakan dasi.

Ia anggukan kepala sementara aku berada di hadapannya kini sibuk memakaikannya dasi.

"Kamu enggak berpikir kalau aku akan ada di sini seharian nemenin kamu kan?" tanyanya ketus.

Aku memakaikan dasi dengan berusaha menahan rasa kesal atas jawaban ketus yang ia berikan. "Aku kan cuma tanya Mas," kataku. "Udah selesai.' Aku lalu merapikan kemejanya.

Ia hela napas jelas sekali terlihat. Mungkin kesal. "Kamu marah ya? Karena aku pakaikan dasi?" tanyaku.

"Enggak, yaudah aku jalan. Enggak usah nunggu aku. Aku bisa aja pulang malam." Mas Lala berkata. Ia lalu berjalan meninggalkanku.

Mas Lala keluar tanpa berpamitan. Ia memang super sulit dimengerti, kadang manis dan perhatian; kadang terlihat dingin dan sulit ditebak. Jujur itu buat aku bingung.

Sejak tadi belum minum, aku kini berjalan menuju dapur san mengambil minuman, tak ada air mineral biasa di sini.  Aku bisa batuk kalau minum air dingin karena tenggorokanku yang lemah.  Aku berjalan menuju kompor, dan ....

"Gimana cara pakainya? Ini kompor listrik." Aku kembali berjalan menuju kulkas mengambil minum. "Enggak sakit Yu, enggak akan sakit," kataku memperkuat keyakinan kalau aku akan baik-baik saja setelah meneguk minuman dingin itu.

Setelahnya aku memilih duduk di ruang tengah, tepat saat itu ponselku berdering.  Panggilan dari Sena.

"Hai jelek," sapaku.

"Mbil sombongnya." Aku bisa mendengar Sena protes beberapa hari ini panggilannya memang tak aku terima.

"Aku sibuk Sena. Kamu sehat kan?" tanyaku lagi mengalihkan kekesalannya.

"Panggilan video, gue mau lihat lo. Buruan," titah Sena yang suka semena-mena.

Segera kuubah panggilan suara menjadi panggilan video. Bisa kulihat ia yang tengah merebahkan diri dengan rambutnya yang berantakan. "Baru bangub pasti?" tanyaku.

Ia tersenyum sambil anggukan kepala. "Ndut sombong sama Sena."

"Sorry, Sena tau kan aku sekrang udah enggak di rumah jadi harus bisa ikutin yang punya aturan rumah."

Sena anggukan kepalanya ia terlihat mengerti. "Iya, tapi balas kek chat gue. Ini malah diem aja, sebel."

Seperti biasa Sena bersikap manja. Memamng sudah kebiasaan seperti itu sejak lama kami berteman Sena memang sering manja. Aku kemudian ingat kalau harus memasak air.

"Sena bisa pakai kompor listrik?" tanyaku.

Ia anggukan kepalanya dengan bingung. "Kenapa memang?" tanya Sena.

"Mau masak air. Di sini cuma ada air dingin."

"Jangan minum nanti batuk!" serunya dengan segera setelah aku katakan air dingin.

"Udah sedikit tadi--"

"Bandel ih jelek," kesalnya.

"Sorry, habisnya enggak ada air biasa, semua di dalam kulkas. Dan enggak ada orang di sini." Aku mengatakan itu karena malas kalau Sena mendadak jadi cerewet.

"Masak air juga lama. Beli aja di mini market.Bisa enggak? Apa perlu gue ke sana bawain air mineral?Jangan nyusahin deh. Sana buruan ke mini market beli air mineral sama vitamin c. Itu lo nanti batuk lagi."

"Sena kalau di apartemen ada penjual enggak ya?" tanyaku bingung.

"Biasanya ada coba aja sekalian jalan-jalan. Better ke minimarket jadi lo bisa beli jajanan."

"Tadi aku lihat ada dekat sini minimarket."

"Beli roti juga, pokokonya jangan sampai asal lambung kamu kambuh Mbil. udah tenggorokan lemah, peruh magh,  hmmph." Seperti biasa kecerewetan Sena buat pusing kepala.

"Aku matiin dulu ya teleponya. Nanti aku hubungi kalau aku udah pulang dari sana."

"Ya udah,  pokoknya lo harus telepon gue lagi kalau emang udah pulang. Karena Ayu sekarang sombong sama Sena." Sena masih kesel sepertinya jadi mengatakan bahwa aku sombong.

"Iya, pokoknya nanti aku telepon kamu lagi. Babay." Setelahnya ku matikan panggilan dan segera beranjak ke kamar untuk mencari sweater milikku.

Setelah memakai sweater Aku mencari dompet di dalam tas. Ada beberapa lembar uang dari sumbangan orang-orang Kampung saat ayahku meninggal. Beruntung aku masih memiliki uang ini jadi bisa membeli kebutuhanku sendiri.

Saat berangkat tadi aku memang melihat ada sebuah minimarket yang letaknya tak jauh dari sini. Masih ingat juga lokasinya dan segera berjalan ke sana. Tak terlalu jauh hanya berjarak 2 gedung dan aku sampai di sini. Membeli air mineral botol besar dan juga beberapa kudapan. Sena benar aku harus membeli cemilan karena tak tahu kapan Mas Lala akan pulang.

Setelah berbelanja aku kembali ke rumah. Meneguk air putih kemudian menyantap cemilan yang aku beli. Hari ini terasa sepi sekali. Jujur saja Ini mulai membosankan. Biasanya jam segini aku pergi untuk bekerja. Dan kini harus berada di rumah sendirian.

Setelahnya aku kembali menghubungi Sena dan kami mengobrol lagi. Cukup lama, karena hari ini ia harus masuk lebih siang. Kemudian sore hari aku memutuskan untuk menonton televisi. tadi Sena juga sudah mengajari Bagaimana caranya menyalakan kompor listrik. Apa aku harus memasak sesuatu untuk Mas Lala?

Aku kemudian terlelap, lalu terbangun karena aku merasakan sentuhan di wajah. Aku menoleh ke samping dan mendapati masalah yang kini tengah duduk di depan televisi sambil mengganti channel. Apa tadi hanya perasaanku saja ya?

Mas Lala masih sibuk menggonta-ganti channel ini juga sudah berganti pakaian dan sepertinya sudah tiba sejak tadi.

"Kamu udah datang ya Mas?"

Mas Lala menatap ke arahku lalu mengangguk. "Aku udah datang dari tadi kamu tidur. Mau makan nggak? Aku tadi udah pesan Tapi nunggu kamu bangun dulu."

Aku mengangguk, lalu kami berjalan bersama kemeja makan. Aku memegang pipi kananku. Aku benar-benar merasakan sentuhan. Apa Mas Lala yang melakukannya?

***
.
.
.
.
.
Siapa hayoo

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top