🎹6. Ijab Kabul 🎹
"Memangnya harus terburu- buru begini ya Nek?" tanyaku dengan penasaran.
Nenek Ratih membelai rambut Ayu dengan lembut, "Ada perempuan yang ngejar- ngejar Gula, sejak dulu dan nenek nggak suka. Jadi, nenek mau kalian nikah secepatnya. Supaya ndak ada lagi gangguan dari perempuan itu." Nenek Ratih memberitahu hal yang malah membuatku berpikir kalau itu adalah kekasih dari Mas Lala.
"Pacarnya Mas Lala mungkin Nek?" tanyaku lagi ingin memastikan.
Nenek Ratih menggelengkan kepala. "Bukan, nenek tau dia dan Gula memang berteman dan mereka juga bukan kekasih. Sejak dulu Gula sudah tau kalau ia dijodohkan dan nenek memang melarng keras dia untuk menjalin hubungan dnegan wanita lain."
Hatku bertanya siapa gerangan wanita itu? Meski tak dijelaskan, aku rasa hubungan mereka pasti adalah hubungan yang spesial. Mungkin nenek saja yang belum mengetahui itu. Sedangkan aku harus menerima perikahan ini karena memang kamui telah dinikahkan kan? Apa bisa aku menolak saja? Tak ingin jadi orang yang merusak hubungan orang lain.
"Ayu takut malah akan merusak hubungan Mas Lala sama pacarnya Nek," kataku pada Nenek Ratih.
"Bukan, Nnenek kan udah bilang kalau itu bukan pacarnya. Besok semua akan dilangsungkan di sini, nenek sudah panggil penghulu dan nanti kamu bisa pilih baju yang mau kamu pakai besok sama Gula."
Aku mengangguk, karena jelas tak mungkin bisa menolak. Pernikahan ini harus berlangsung. Baru saja bapak meningal, kemduian aku menjadi istri orang, Sayang bapak tak bisa melihat pernikahan ini.
Setelah pembicaraan dengan nenek, aku melangkahkan kakiku ke luar ruanga. Ada Mas Gula berdiri menunggu sambil memainkan kunci mobilnya. Aku menatapnya dengan heran dan ia juga menatapku entah kenapa.
"Mau jalan sekarang?' tanyanya.
Aku pikir dia pergi kerja tadi. "Ayu ganti baju dulu ya Mas?" tanyaku.
Ia anggukan kepala, "Buruan saya malas nunggu kelamaan,"
Aku mengangguk, lalu segera berjalan menuju kamar untuk berganti pakaian. Aku bergegas dan sedikit menggunakan liptin agar tak terlalu pucat. Setelahnya berjalan turun dan segera melangkahkan kakiku menghampirinya.
Mas Gula segera berjalan dan aku mengikuti dari belakang. Segera masuk ke mobilnya. Ia mengendarai mobil dalam diam dan suasana jadi canggung.
"Mas," sapaku meembuatnya menoleh.
"Hmm?"
"Mas beneran mau nikah sama aku?" tanyaku lagi.
"Saya udah jawab itu kan?"
"Tapi, nenek bilang ada perempuan yang ngejar kamu?" tanyaku lagi.
Mas lala menatap lalu hela napas. "Nenek terlalu curiga. Itu cuma temen saya."
Aku masih menatap pada Mas Gula sejujurnya aku merasa dia jujur. Hanya saja, apa yang dikatakan nenek juga terdengar jujur.
Ia menatapku, "Kamu enggak percaya?"
Aku anggukan kepala. "Aku rasa kamu jujur Mas. Aku cuma takut untuk percaya. Ayu baru kenal Mas, dan masjuga baru kenal Ayu. Bisa saja Aku salah menilai Mas Lala. Sampai saat ini Ayu enggak bisa percaya siapapun kecuali diri sendiri."
"Kalau begitu kenapa kamu nerima pernikahan ini?"
"Karena ini adalah janji keluarga kita. Berarti ini janji bapak juga kan?"
Tak banyak yang kami bicarakan setelahnya. Bahkan ketika aku meminta saran ia katakan semua bagus hingga kami akhirnya membeli banyak pakaian untukku. Mas Gula membawaku ke sebuah butik yang menjual pakaian dengan ukuran bis size dan di sana bagus- bagus sekali. Meskipun apa yang aku jual sebelumya juga tak kalah bagusnya.
Setelahnya mkami pulang dan hari berlalu begitu saja. Dalam semalam ruangan di tengah rumah diubah jadi begitu elegan, Nenek bilang tak akan ada yang datang. Hanya ada pnghulu dan juga kami di rumah.
Aku sudah menangis semalaman karena teringat bapak. Berakhir dengan mataku yang bengkak. Bagaimana bisa aku merias diri dengan mata bengkak seperti ini? Pagi ini dirias oleh MUA langganan nenek. Sempat dimarahi karena mataku yang bengkak. Tapi akhirnya semua berlangsung baik. Aku kenakan dress lengan pendek putih, dengan panjang dibawah lutut. Aku memilih itu dibandingkan. Setelahnya berjalan turun.
Aku duduk di kursi yang disediakan yang ada di sana hanya keluarga rumah ini juga beberapa pelayan. Aku takut Mas Gula gagal menyebutkan namaku dengan baik. Ia melirik ke arahku sekilas, lalu kembali memalingkan wajahnya.
"Semua siap?" tanya Bapak penghulu.
Aku anggukan kepala, sementara Mas Gula bergerak duduk tegak. Tangan sang penghulu menggenggam tangannya. Dan segera melajukan ijab sesuai dengan inti dari pertemuan hari ini.
"Saya nikahkan dan kawinkan engkau Gula Raharja Adidinata bin Juniar Adidinata dengan Ayunda Kusuma Prameswari Diningtiyas Cantiyantiasih binti Rakaryo Prajogo, dengan mas Kawin seperangkat alat sholat dan uang tunai 15juta rupiah dibayar tunai," ucap penghulu sambil mengayunkan tangannya.
"Saya terima nikah dan kawinnya Ayunda Kusuma Prameswari Diningtiyas Cantiyantiasih binti Rakaryo Prajogo dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!" Mas Gula ucapkan itu dalam satu tarikan napas.
"Sah!" Dia saksi dari penghulu kompak katakan itu.
Sejak saat ini aku resmi menjadi seorang istri. Sejujurnya, semalam aku berpikir kalau mungkin saja Mas Gula tak bisa menyebut namaku dengan baik. Tak ada pernikahan yang berkesan. Semua berlangsung datar dan biasa saja. Lalu kini aku duduk di kamar bersama Mas Gula.
"Aku pikir kamu enggak akan bisa sebut nama aku dengan benar Mas."
"Saya pikir juga gitu." Ia menjawab singkat. "Kamu beresin barang-barang kamu."
"Sekarang?"
Mas Lala anggukan kepala. "kita ke apartemen saya. Kamu juga enggak mau tinggal di sini kan? Ada ibu tiri saya. Saya enggak suka sama dia."
Aku mengangguk, semua begitu cepat dan tiba-tiba. Mas Gula lalu sentuh wajahku, meminta menghadap padanya.
"Kenapa mata kamu bengkak gitu?" tanyanya sambil menatap mataku.
"Memang masih kelihatan ya?" tanyaku yang berpikir kalau sudah tertutup dengan baik karena make-up tadi.
"Kalau dari dekat kelihatan."
"Aku nangis inget bapak," jawabku dan kini malah ingin menangis lagi. Dadaku sakit dan sesak lagi. Dan aku menangis lagi, aku tutupi wajah dengan kedua tangan.
Benar-benar kangen sama bapak. Bapak pasti senang karena aku telah menuntaskan janjinya bersama Om Jun. Dan kini telah menjadi istri orang yang ia kenal dan percaya dengan baik. Aku merasa Mas Lala memeluk, lalu menepuk-nepuk punggung. Yang terjadi aku malah menangis semakin kencang. Sejak bapak meninggal sampai saat ini rasanya tangisanku yang paling pilu. Sakit sekali rasanya, hingga sendi-sendiku terasa linu.
"Jangan nangis, bapak sudah tenang. Memangnya dia bisa bahagia lihat kamu yang nangis terus kayak gini?" tanya Mas gula.
Aku gelengkan kepala. Bapak paling tak suka melihat aku menangis. Sementara tangisku sulit sekali untuk dihentikan.
"Sekarang nangis sepuas kamu." Mas Lala katakan itu sambil mengusap-usap kepalaku.
Aku menangis entah berapa lama ....
***
Siapa yang bacaaaa?? Ada yang punya tiktok kah?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top