🎹4. Dinikahkan sejak dini 🎹
Keterkejutanku dijawab oleh nenek Ratih dengan tawanya yang renyah, Bagaimana bisa? Baru saja aku tau kabar tentang perjodohan, lalu kini dikabarkan kalau aku telah menikah?
"Maaf Nek," ucapku yang merasa itu jelas tak sopan.
"Nenek ngerti kamu memang terkejut, dan bapakmu itu keras kepala karena memang almarhum ingin kamu tau ketika usia kamu sudah dua puluh tahun nanti,' ucap nenek menjelaskan.
Bapak mungkin ingin aku tak terbebani dan ingin aku bisa melewati hari tanpa memikirkan status aneh yang aku sandang. jadi ingat bapak, hatiku sedikit sakit. Tapi, Ayu enggak boleh nangis kan?
"Sejak kapan Ayu menikah sama Mas Lala, Nek?"
"Sejak kamu lahir, karena sudah berjanji kalau kamu lahir perempuan sudah pasti akan kami nikahkan atas dasar nasabiyah atau persahabatan kakek kamu dengan mendiang kakeknya Gula."
Nenek Ratih menjelaskan dari kampung halaman kakek di Sumenep hal itu sudah lumrah. Anak-anak di nikahkan dan dijodohkan sejak dini. Biasanya mereka seumuran, hanya saja karena Om Jun menikah lebih dulu tentu saja semua harus ditunda. Sampai akhirnya perjodohan dan pernikahan sejak dini itu dilakukan.
"Itu sudah biasa Yu, disebutnya abhekalan. Dan nenek rasa sudah saatnya kalian meresmikan itu," kata nenek Ratih yang jelas saja buat aku bingung,
"Diresmikan gimana Nek?" tanyaku lagi.
"Menikah secara negara dan agama."
Mataku membulat, jangan ditanya bagaimana terkejutnya saat ini. Dalam waktu dua puluh empat jam aku melalui banyak hal yang tak pernah aku kira. Ayahku meninggal dan aku mengetahui aku sudah nikahkan, dan kini aku harus melegalkan pernikahanku dengan pria yang aku tak kenal dengan baik.
"Nek, maaf tapi Mas Gula juga pasti enggak mau sama Ayu," kataku lagi.
Iya, begini, logika saja. Mana mau Mas Gula yang ganteng, pintar, kaya, gagah dan rupawan mau menikahi aku yang hanya gadis kampung lulusan SMA? Ditambah lagi tubuhku yang gemuk ini? Mas Lala pasti punya standar yang tinggi untuk itu. Dan aku jelas bukan pilihan yang pas.
"Kata siapa?" tanya Nenek ratih. "Gula mau kok," katanya lagi
"Mau nikah sama Ayu? Kok bisa?" tanyaku bingung.
Nenek Ratih hanya tersenyum, "Sekarang kamu istirahat ya, nanti Gula yang akan antarkan sarapan buat kamu. Sarapan dan minum obat dulu ya." Nenek Ratih berkata. Ia kemudian memelukku dan berjalan meninggalkan aku di kamar.
Aku mengusap-usap dadaku yang terasa ngilu, jadi ingat bapak. Kalau aku sakit begini, biasanya ia akan membuatkan sup ayam dengan telur dadar. Makanan kesukaanku, masakan bapak yang bahkan lebih enak dari masakan nenek.
Aku kembali merebahkan tubuh, entah masalah apa yang terus bercokol di dalam pikiranku ini. Aku lalu mengambil ponsel dan mengecek pesan. Semua pesan dari Sena, dia khawatir. Sena memang sahabat online terbaik. Aku memutuskan untuk segera menghubungi melalui video call. Tak lama sampai ia menerima panggilan.
"Hai gendut," sapanya,
Aku melambaikan tangan, "Hai jelek," sapaku. Sena itu ganteng, ganteng banget malah. Cuma aku aja yang manggil dia jelek, iseng. Dan Sena sama sekali enggak pernah marah.
Dia memerhatikan terlihat iba sebelum akhirnya merubah mimik wajahnya. "Okay Yu?" tanyanya.
"Okay," jawabku,
"Enggak ada salahnya nangis," katanya lagi.
"Okay Sena." jawabkku coba meyakinkan.
"Kalau mau nangis ya nangis aja. Mau ketemu?" Sena bertanya, karena memang sudah lama sekali kami kenal dan belum pernah bertemu.
"Nanti ya? Kita ketemu, kita atur jadwal."
"Sok sibuk," kesal Sena.
"Emang sibuk," sahutku.
"Oke deh kalau emang mau atur jadwal, tapi harus beneran ketemu." kata Sena lagi sambil menatap jam di tangannya.
"Belum ke kampus?" tanyaku.
"Mau jalan kok ini," jawabnya sambil menunjukan dirinya yang sudah mengenakan almamater berwarna navy dengan logo kampus berwarna perak.
"Ya udah jalan sana," kataku tak mau ia terlambat karena menerima panggilan dariku.
Sena anggukan kepala, lalu tersenyum menunjukkan senyum kotak khas Sena. "Gue jalan ya Mbil," katanya lagi.
"iya, ati-ati."
"Babay Mbil, nanti Sena hubungi ya kalau rehat kampus."
"Iya, Jelek, babay," kataku sambil mematikan panggilan video.
"Siapa?" sebuah suara membuat aku terkejut, Mas Gula.
"Mas kok di sini?" tanyaku karena ia tiba-tiba saja sudah berada di dalam kamar.
Mas Lala menatap ke arah pintu. "Masuk lewat pintu, saya bukan casper yang bisa nembus tembok."
Mas Gula lalu meletakkan nampan berisi sarapan yang ia bawa. "Sarapan, nenek minta kamu sarapan." Ia terdengar memerintahkan aku, lalu duduk ditepi tempat tidur kami kini duduk berhadapan.
"Makasih Mas," ucapku.
Tak ada jawaban, ia hanya duduk, sambil menatapku. Sejujurnya tak nyaman.
"Mas, kenapa di sini?" tanyaku
"Nemenin kamu, mastiin kalau kamu habiskan sarapan dan juga minum obat," jawab Mas Lala.
Aku anggukan kepala, pasti nenek yang meminta. Karena tak mungkin ia berinisiatif sendiri. Aku segera menyantap bubur di haadapanku, Mas Lala terdiam dan sibuk dengan ponsel di tangannya.
"Mas," sapaku teringat pembicaraanku dengan Nenek beberapa waktu lalu.
Ia menoleh, diam, tanpa suara, lalu menatapku.
"Mas tau--"
"tau," jawabnya bahkan ketika aku belum selesai bertanya. "Pernikahan kamu dan saya?" tanyanya.
Aku anggukan kepala. Tentu saja itu masih sangat mengganjal di pikiranku. "Mas setuju? Karena engak mungkin kan kamu mau sama aku Mas?"
"Saya setuju? Kalau saya enggak nikah sama kamu saya enggak akan da[a warisan nenek." Mas Guka menjawab to the point,
Dan semua kini masuk akal. Tak mungkin Mas Gula mau menikahi aku begitu saja. Ia terlalu istimewa untuk diriku yang biasa saja. Maka kini aku bisa tau alasannya menerima. Tentu saja tak akan ada yang bisa menolak pesona uang. Aku sedikit merasa lebih tenang, setidakya Mas Gula punya alasan untuk menerima pernikahan aneh ini.
Aku merasa ia menatapku, tapi saat aku menatapnya, Mas Gula tengah sibuk dengan ponsel di tangan. "Mas," sapaku lagi.
"Hmm?' sahutnya tanpa menatapku.
"Kamu bener enggak menolak pernikahan ini?"
Ia kemudian menatap padaku. "Kalau saya menolak memang bisa? kenapa kamu mau menolak?" tanyanya terdengar kesal. Mungkin karena aku terlalu cerwet.
Aku gelengkan kepala. "Aku memang punya jalan lain selain menerima? Apalagi semua adalah perjanjian yang bapak buat."
"Ya kalau gitu terima saja," katanya.
Aku menganguk lalu menyantap sarapan pagiku. Kemudian aku ingin bicara lagi. "Mas?'
"Iya apa Nduk," sahutnya manis dengan nada yang mirip seperti bapak. Hatiku jadi sakit sekali.
"Aku tau prnikahan ini cuma untuk warisan kamu. Tapi aku boleh minta sesuatu?"
"Minta apa?" tanyanya menatapku dengan serius.
"Kalau kamu punya perempun lain, tolong bilang ke aku. Aku enggak tau apa yang akan terjadi setelah pernikahan itu. Aku selama ini cuma tau kasih sayang dari satu orang laki-laki, yaitu bapakku. Aku sayang sekali sama bapak, dibentak sedikit aku nangis, hatiku jadi setipis tisu kalau aku sayang seseorang. Kalau kamu memang suka dan punya seseorang yang kamu sayang, kasih tau aku. Supaya aku tau diri."
Ia hela napas, alihkan pndangannya ke arah pintu lalu kembali menatap padaku. "Kamu belum jawab pertanyaan saya."
"Pertanyaan?"
"Video call sama siapa tadi?" tanyanya.
***
bagaimana sampai part ini? Lanjut tak?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top