Special Chapter: Juanda POV
"Juanda, aku suka kamu!"
Damn God. Lagi dan lagi. Nggak bisakah orang-orang ini membiarkan gue tenang sebentar aja? Baru kemarin satu cewek yang entah-deh-lupa-namanya-siapa minta putus dari gue, sekarang muncul cewek lain yang gak gue kenal nembak. Benar-benar membosankan.
"Sorry. Lo tau gue--"
Dia malah memotong jawaban yang mau gue suarakan, "Kamu nggak harus ngasih jawaban sekarang. Gak perlu buru-buru. Aku nggak minta kamu--"
"Hei!" Gue gantian menyela. "First, I don't even know you. Second, I don't interested in you. And last, don't you try to do this again." Mendecakkan lidah, lantas menghela napas mendapati ekspresi shock di wajah dengan blush on super pink-nya. "Why you girls are always annoying? That's why I couldn't even like you."
Sesudah itu, gue pergi dari sana. Nggak mempedulikan panggilan-panggilan dari belakang punggung yang masih bersahutan. So noisy. Nggak mampukah nyari cowok lain di luar sana yang bisa kalian ganggu selain gue?
Vano menyambut gue dengan siulan yang sangat mengesalkan. Secara cepat gue berjalan menghampiri untuk memberinya tendangan di kaki.
"Aw, aw! Okay, sorry, Bro. Habisnya setiap hari agenda lo sama melulu. Datang ke sekolah, ditembak, pacaran, and not so long after putus," goda Vano seraya terkikik geli.
Di sebelahnya, Dyas mengernyit. "Eh, elo sama cewek lo kemarin udah putus? Siapa sih namanya?" tanyanya sambil tampak coba mengingat-ingat.
Gue pun melakukan hal yang sama. "Si Kunti, ya?"
Vano tertawa terbahak-bahak. "You jerk. Her name is Kiranti!"
"Kinanti!" Dyas mengoreksi sambil menggeleng masygul mendengarnya.
Well, I don't give a shit about her name. Faktanya, nggak ada orang yang benar-benar pernah membuat gue tertarik terhadap mereka. Semua orang selalu datang, kemudian pergi lagi bahkan tanpa meninggalkan kesan. Kadang gue berpikir, mungkin gue nggak ditakdirkan untuk bertemu seseorang yang gue idam-idamkan yang gue aja belum mampu membayangkan akan seperti apa sosok itu di masa depan nanti. It's complicated.
Akhirnya, gue berbalik menghadap mereka. "Ya, siapa pun itulah. I broke up with her."
"Why?" Mereka bertanya bersamaan.
"Apa karena dia nggak mau nyuciin motor lo sampe bersih?"
"Atau dia telat lima menit dari waktu janjian?"
"Make up dia mirip Annabelle?"
"Or even because she is taller than you?"
Dua orang sialan ini selalu tau cara bikin gue tambah jengkel. "Shut up, you both! It doesn't matter what's the reason cause--"
"Anjir!"
Ups. Barusan tadi gue menyenggol apa? Suara teriakan siapa pula yang kedengaran dari belakang sana?
Gue perlahan membalikkan badan, mendapati seorang siswa lain tampak menunduk memandangi baju dan celana seragamnya ketumpahan coklat. Sedangkan seseorang lain di belakangnya keliatan menahan tawa.
Ah. Gue punya feeling gak enak soal ini. Jangan bilang ini gara-gara gue? Bisa-bisa jadi merepotkan kalau ...
"Lo kalo jalan pake mata, dong!"
Wait. What?
Ada apa sama dia? Wajah kesalnya ini kenapa keliatan ... cute? Tatapan matanya yang tampak geram, bibirnya yang agak maju karena sebal, anehnya justru membuat detak jantung gue berdebar-debar. Bahkan wajah gue mendadak serasa hangat.
This is crazy.
Nggak menyangka akan datang hari di mana gue akhirnya menemukan sosok pemuda yang sangat ingin gue miliki. Sayangnya, pertemuan pertama yang terjadi di antara kami berakhir kurang menyenangkan. Gue merasa Minions gue menggigil setelah disiram es olehnya.
Benar-benar pemuda nggak biasa. But wait, gue nggak kenal dia sama sekali.
"Siapa sih cowok tadi?" Gue coba berbasa-basi sembari terus berusaha mengeringkan bekas basah di tengah celana. Nggak mempedulikan pandangan malu dari para siswa.
Well, Minions gue bukan sesuatu yang memalukan untuk dipamerkan juga.
Vano menoleh. "Yang tadi ngajak lo ribut?"
"Yes. Who is he?"
Dia malah menaikkan bahu. "I don't know either."
"Useless."
Vano menepuk selangkangan gue dan bikin gue balas menendang pantatnya.
Kali ini, Dyas angkat suara. "Yang gue tau sih nama dia Feryan. Dia anak kelas D, jurusan sebelah."
Ah, Feryan. As expected, namanya biasa aja kayak jenis muka yang dimilikinya.
"Lo kenal, Dy?" Vano mengelus-elus pantatnya masih sambil coba menjauhi tendangan gue.
Dyas menaikkan kacamatanya. "Bukan kenal. Tepatnya, dia dikenal soalnya tahun lalu dia sempet bikin heboh festival olahraga di sekolah kita."
"What happened?" Gue gak bisa menutupi keingintahuan.
"Lo lupa kejadian di mana peserta lomba lari yang saking nervous sampe nginjak tali sepatunya sendiri, jatuh terus diketawain satu sekolahan? Itu kan si Feryan."
What? Kenapa konyol banget? Gue gak tahu jika rupanya dia tipe cowok clumsy macam itu.
"Serius itu dia?" Vano sudah aja menertawakan.
Mungkin terbayang-bayang adegan yang barusan Dyas ceritakan. Gue juga pasti tertawa andai lagi nggak serius memikirkannya dia.
"Wow. How ridiculous," komentar gue berusaha tenang.
"Sejak hari itu kan dia jadi sering di-bully dan diledek. Terutama sama temen sekelasnya." Dyas menambahkan.
"You know a lot."
Kawan gue yang paling cerdas ini tersenyum miring. "Sepupu gue sekelas sama dia."
"Hm. Okay."
I think, Feryan ini orangnya cukup menarik. Meski gue belum tau apa-apa tentangnya. Namun, bagaimana cara gue mencari tau tentang dia? Kalau terlalu jelas, bisa jadi nanti bikin curiga.
Gue masih belum mau orang lain tau fakta mengenai gue yang sebenarnya lebih tertarik ke cowok ketimbang cewek. At least, not now when I finally find the boy I like.
I should find the way.
___
Cara yang akhirnya gue pilih adalah dengan sengaja muncul di sekitar kawasan kelas 11 IPS D yang merupakan lokasi kelas Feryan berada. Sayangnya, reaksi yang gue dapat dari dia nggak terlalu menyenangkan. Si Feryan ini selalu aja memberikan gue aura penuh kemarahan beserta tatapan kesal. Yang bagi gue berbahaya karena setiap kali dia memandang gue begitu bukannya bikin gue muak, tapi malah bikin sange.
This is really crazy.
Sepulang sekolah akibat gagal lantaran belum mendapatkan sedikit pun kemajuan atas niat gue untuk coba mendekati Feryan, akhirnya gue lampiaskan dengan mengocok Min
nions sampe muncrat. Sambil membayangkan wajah kesal Feryan yang di mata gue sangat menggairahkan.
God. I wish I could take him to my bed. Right here, right now.
"If only there's a miracle for me," harap gue sembari mengelus-elus Yellow di pangkuan. Membayangkan lagi akan betapa indahnya andaikan kucing orange peliharaan gue ini juga adalah Feryan.
SHIT.
Nggak bisa apa sedetik aja gue berhenti mikirin dia?
___
Puji Tuhan yang mengabulkan harapan gue. Keajaiban yang gue minta terjadi tepat dua hari kemudian, ketika gue dan Dyas selesai mengantar dia memberikan catatan ke sepupunya yang sekelas dengan Feryan.
Di sana keliatan sangat ramai. Bahkan gue lihat satu kursi dikelilingi banyak sekali murid yang tampak sibuk mengambil foto dan melakukan sesuatu.
"Ada apa?" pertanyaan yang mau gue utarakan diwakilkan oleh Dyas.
Sepupunya yang ternyata cewek cupu nggak beda seperti Dyas keliatan gugup menangkap keberadaan gue. "I-itu, si Feryan. Dari tadi dia ketiduran dan belum bangun juga."
Astaga. Ada hal lain yang lebih konyol yang bisa dia lakukan ternyata.
Gue mau gak mau turut bertanya. "Itu dia yang lagi dikerumuni?"
Gadis cupu ini mengangguk. Mengucapkan terima kasih lantas kembali ke kursinya. Meninggalkan gue dan Dyas yang masih menonton. Sewaktu akhirnya kerumunan itu bubar, gue menyaksikan bagaimana wajah Feryan saat ini benar-benar kayak nggak dikenali lagi.
Apa dia nggak ngerasain sewaktu teman-temannya mencoret semua titik di mukanya itu?
Dyan berdeham seakan-akan menahan tawa. "Ternyata dia emang korban bully di kelas ini," ucapnya prihatin seraya memandangi para murid di kelas yang malah saling berbagi tawa. "Let's go."
Gue ragu-ragu pergi dari sana. Berpikir keras tentang apa yang sekiranya mampu gue lakukan untuk membantu Feryan. Mengingat sifatnya yang ceroboh, gue yakin dia akan langsung bergegas pulang tanpa memeriksa penampilannya terlebih dahulu. Sekadar membayangkannya, sukses bikin gue meringis sendiri.
So, I should help him no matter how.
.
Sesuai dugaan, anak ini masih belum bangun dari tidurnya. Bagaimana mungkin ada manusia yang bisa tidur nyenyak meski hanya berlandaskan meja kosong? Gue gak habis pikir sama kelakuannya. Tetapi mengingat tujuan gue ke sini untuk apa, nggak ada waktu untuk berkomentar dan protes.
Tisu basah gue keluarkan. Baru berniat mengusapkan itu ke wajah Feryan yang penuh coretan saat dia tiba-tiba menggumam dan menggeliat.
Shit. Dia malah bangun.
Gue harus buru-buru duduk supaya nggak terlihat mencurigakan. Tenang. Alhasil, gue memilih duduk di jajaran kursi belakang supaya dia nggak bakalan bisa gitu aja mendeteksi keberadaan gue.
Damn. Sekarang gue mirip stalker yang seolah-olah sedang berusaha menarik perhatian gebetan. Itu emang gak sepenuhnya salah. Cuma cara kayak gini kelihatan sangat nggak keren.
Beberapa detik setelah Feryan sadar dari tidur, dia langsung berteriak histeris. "ANJIR. KALIAN SEMUA PADA ILANG KE MANA ...!!"
Well, I can't help but think that his reaction is funny. And again, cute. Andai gue punya keberanian untuk memeluk dan menciumnya sekarang ju--DAMN YOU, MY PERVERT MIND! GET LOST!
"DASAR BIADAB KALIAN ...!"
Ya, bagian itu gue cukup setuju. Teman-temannya gue rasa agak biadab walau gue juga mengakui menindas murid nggak berdaya emang hal yang menyenangkan.
Sewaktu Feryan mengambil tas dan menghadap ke arah belakang, saat itulah tatapan mata kami bertabrakan. Gue menelan ludah. Mencoba menenangkan diri beserta detak jantung yang debarannya semakin menjadi-jadi.
"Oh, elo ada di sini."
What? Ini dia melindur atau bagaimana? Dia barusan nyapa gue begitu aja? Mengesankan. Gue bakalan mengabadikan senyum ramahnya ke dalam ingatan. Sayang disayang, itu nggak berlangsung lama.
"HAAA ...!!! Ngapain elo ada di kelas gue, Bangsat!" Dia menunjuk gue dengan ekspresi linglung bercampur kesal di wajah konyolnya.
Tanpa bisa ditahan, gue justru tersenyum. Ah, gue gak bisa begini terus. Dia sungguh menggemaskan, Ya Tuhan.
"Gak usah nunjukin muka sok ganteng begitu, Bangsat. Lo minta gue tonjok, hah?"
Well, gue emang ganteng, kok. Tapi, mungkin menurut dia gue nggak tampak semenarik itu.
Gue mendengkus pelan, berdiri dari kursi ini lalu mulai berjalan menghampiri Feryan yang menunjukkan gelagat was-was. Apa dia bisa mendeteksi kesangean gue terhadap dirinya? Itu jelas mustahil, kan?
"Lo jadi bahan tertawaan semua orang gara-gara ditinggal di kelas pas lagi tidur."
Kata-kata gue sukses bikin dia bengong kayak orang bego. Ralat. Dia memang bego.
Mati-matian gue coba menahan tawa. "Emang lucu sih ngeliat elo tidur anteng begitu. Bahkan saat temen-temen elo nyoret muka lo sampe bikin elo mirip alien, hebatnya lo tetep nggak bangun."
Kali ini mulutnya menganga.
"Coba lo ngaca."
Secara cepat Feryan mengeluarkan HPnya yang gue bahkan nggak tau jika merk HP miliknya itu ada yang memproduksi saking jeleknya. Sewaktu berkaca, dia mengeluarkan suara terkesiap lantas berteriak, "KALIAN APAIN MUKA GUE ...!!"
Tawa gue nggak bisa ditahan-tahan lagi. Astaga Tuhan. Sungguh lucu dan bodoh sekali makhluk ciptaan-Mu ini. Gue ketawa sampe sakit perut padahal gue nggak inget kapan terakhir kali gue pernah ketawa sepuas dan sekeras ini. Ah. Tertawa di balik penderitaan orang lain memang hal yang seru.
Sewaktu mengerling Feryan, seketika semua tawa gue terhenti ketika menangkap sorot sedih di matanya. Damn it. Gue pasti kelihatan keterlaluan banget karena malah menertawakan dirinya yang sudah sangat memalukan begini. Jangan sampe gara-gara ini gue malah dibenci nanti olehnya.
Feryan terlihat hendak beranjak, maka refleks gue menyodorkan tisu basah yang sedari tadi gue pegang ke arahnya. Dia tercenung, mendelik pada gue seakan-akan bingung dengan apa yang tengah gue lakukan.
Don't be nervous, Saga. You can do it.
"Lo keliatan makin bego kalo muka lo penuh coretan begitu. Bersihin pakai ini. Itu cuma spidol biasa, jadi pasti bakalan gampang ilang," ucap gue seraya menaruh tisu itu ke atas telapak tangannya. Nyaris bikin gue gemetaran sebab ini adalah kontak fisik gue yang pertama terhadapnya.
Kemudian, mau gak mau gue berlalu dari sana secepat mungkin. Menghindari kemungkinan buruk yang bisa aja terjadi andai gue terlalu lama berada di dekat Feryan.
Jantung gue rasanya mau meledak. Dan wajah gue panas kayak habis masak dua jam non-stop.
Oh God. It's dangerous. I really love this stupid boy.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top