Special Chapter 4: Happy Sweet 17, Bego!
Halo, semuanya~ Long time no see. ❤
Kabarnya gimana? Sehat?
Masih adakah yang kangen sama cerita ini? Hihihi.
Seperti yang beberapa dari kalian tahu, 3 Mei kemarin, adalah hari ulang tahun Feryan yang ke-17 (Iya, loh. 17. Dia 'kan masih bocah SMA, kelas 2 lagi, tapi kenapa banyak yang heran pas tau umurnya masih bocah). Tujuan cerita ini diciptakan juga sebagai bentuk perayaan sekaligus hadiah khusus teruntuk kalian yang masih setia menantikan kisah mereka berdua.
Nah, sebelum mulai membaca Special Chapter 4 ini, pertama-tama aku ingin memberitahu serta mengingatkan beberapa hal pada kalian:
1. INI ADALAH SPECIAL CHAPTER TERAKHIR.
Artinya, setelah Special Chapter ini dirilis, dalam waktu beberapa bulan hingga mungkin setahun ke depan, aku nggak akan update chapter apa pun lagi.
2. Jadwal rilis sekuel cerita ini masih sama. Jadi, silakan tunggu 1-2 tahun ke depan jika kalian cukup sabar dan masih penasaran.
3. Namun, jika ada kendala, bisa jadi sekuel kisah mereka nggak akan jadi dirilis, dan aku putuskan kisah mereka cukup sampai di sini aja mengingat kemampuan menulisku pun makin ampas. 😭😭😭
Terakhir, maaf apabila Special Chapter ini nantinya kurang memuaskan. Aku mati-matian berusaha menyelesaikannya sampai kepalaku jadi migrain sekarang. Ngedit dan ngetiknya sedang dalam kondisi kurang enak badan, jadi andaikan kalian sampai kecewa, aku maklum. Cuma aku berharap, kalian bisa tetap menikmatinya. Dan tolong jangan pelit vote sama komentar buat balik modal semangatku. Huhuhu
Nah, selamat membaca chapter dengan jumlah kata terbanyak pada cerita SBKB dari sudut pandang Juanda ini! ❤
________
I remember, back then when I was a kid, Mommy once told and give me something.
"Here, a present for you. Happy birthday, Saga!" Mommy memberi pelukan setelah kotak hadiah tanpa bungkus yang disodorkannya gue terima. "Open it! Jangan cuma dilihatin, dong!" titahnya galak.
Gue nyengir. Mulai membuka kotak hadiah dengan hati-hati, lalu dibuat agak tercekat oleh isinya. "This is ... isn't it Mommy precious necklace?"
Mommy tersenyum. "Saga masih ingat, ya? Iya. Ini kalung yang mommy dapat dari Grandma di ulang tahun mommy yang ke-10 dulu. Tapi, mulai sekarang mommy berikan kalung ini untuk Saga. So, you should treasure it. Okay?"
Penjelasannya membuat gue masih bingung, tetapi gue juga nggak punya alasan untuk menolak.
Mommy menyenggol bahu gue dengan lengannya. "Why? Saga kurang suka? Saga mau hadiah lain?"
Buru-buru gue menggelengkan kepala. "No, it's not because I don't like it. I'm just, happy. I'm happy I can get something so precious from Mommy." Pipinya gue kecup. "Thank you, Mommy."
Mommy mengacak-acak rambut gue dengan senyuman hangat yang nggak juga luntur dari bibirnya yang agak pucat. "When you get older, you'll also understand and will do something that I do to you like this. Giving something precious for your beloved one. Someday."
Gue mengambil kalung salib dari kotak, tersenyum senang menatapnya. Hingga sekarang, kalung pemberian mendiang Mommy masih gue bawa dan kenakan ke mana pun gue pergi. Seperti saat ini. Meremasi bandulnya yang tetap indah dan seolah-olah nggak kenal kata usang.
Bandul salib gue kecup sembari berdoa sebentar, kemudian gue simpan di balik kemeja. Memeriksa isi dompet sekali lagi demi memastikan benda yang akan gue bawa nggak ada yang tertinggal, setelah itu menyimpannya kembali.
"Are you sure you're gonna be okay?" Daddy yang telah selesai membantu gue menyiapkan semua barang yang ingin gue bawa muncul ke sisi mobil bersama Yellow di gendongan.
Masker mulut gue tarik turun, tersenyum pada Daddy yang mengantar kepergian gue sudah bagai ingin melepaskan anaknya ke medan perang. "It's okay, Dad. Saga nanti pulang sebelum larut malam, kok. Jangan lupa kasih makan Yellow, ya. Menu makan malamnya nanti hangatin sendiri aja dulu sebelum Saga balik," respons gue berusaha tenang sambil mengelus-elus leher Yellow gemas.
Yeah, I try to look calm here. Because actually I'm so nervous right now.
Daddy menghela napas pasrah. Mengusap puncak kepala gue, sesudah itu mengangguk. "Okay, then. Be safe and be careful. Jangan terlalu bertindak gegabah. Sampaikan salam dari daddy untuk Feryan, ya."
Gue balas mengangguk seraya memakai kembali masker dengan rapat. Melambaikan tangan pada Daddy dan Yellow, setelahnya menutup kaca mobil, mulai menyalakan mesin mobil untuk lanjut gue kendarai menuju kediaman Ryan.
I want to give a surprise for him, also temu kangen? Well, semacam itulah.
Okay, I know this is absurd and too reckless. Di tengah kondisi pandemi yang belum reda, memaksakan diri bepergian begini tentunya cukup berisiko. Namun, gue pastikan kondisi gue sehat karena selama sebulan lebih sudah menjalani isolasi mandiri bersama Daddy di rumah dan nggak pernah berkeliaran untuk hal nggak perlu. Meskipun untuk kasus yang sekarang entah diperlukan ataukah nggak, tapi gue berpikir bahwa gue harus melakukan ini bagaimana pun caranya.
I just don't want Ryan to celebrate his birthday alone. Again. Sebab gue yakin, di ulang tahunnya yang lalu-lalu pun nggak begitu ada banyak kenangan indah yang pernah dia dapatkan ketika menginjak masa bertambah usia. Mengingat seperti apa sifatnya, kondisi keluarganya serta lingkungannya sebelum semua itu mulai berubah.
Jam tangan di pergelangan gue lirik. Tersenyum simpul memperhatikan hadiah ulang tahun yang Ryan berikan untuk gue kira-kira setengah tahun lalu.
Wow. Setengah tahun, ya. Nggak terasa sudah selama itu gue dan Ryan menjalin hubungan. I mean, tahun lalu, di masa-masa ini, gue sama sekali nggak pernah kepikiran akan bisa menemukan seseorang yang bisa begitu awet menjadi pacar gue dan mengimbangi sifat gue sejauh ini. Ryan is too amazing. The more I spend my time with him, the more I love him. And I don't think this feeling will change for next ten years of my life. Even maybe, forever.
Damn! I really want to see him as soon as possible.
I wonder, what is he doing right now? Terakhir gue berkirim chat dengan dia sekitar dua jam yang lalu. Berandai-andai mengenai tempat dan kegiatan apa yang akan dilakukan andai kondisi di sekitar kami sedang normal sebagai perayaan ulang tahunnya yang ke-tujuh belas hari ini.
[Elo sendiri mau apa?]
[Gue maunya elo ajakin gue makan enak dengan semua menu buatan elo, terus gue tiup lilin di atas kue enak buatan elo juga. Intinya, gue mau yang enak-enak.
WOI GUE PUASA, YA. BUBAR, BUBAR! BUBARLAH SEMUA BAYANGAN MAKANAN ENAK DARI KEPALA GUE!]
[Dasar rakus]
[Manusia doyan makan itu normal kali, bukan rakus, ya. 😑]
[Kalo porsi doyan makannya kayak lo, itu di luar batas normal, Bego!]
[Bodo! Yang penting gue doyan makan!]
Pada akhirnya gue cuma bisa tertawa sambil terus mengaduk adonan kue yang tengah gue buat, disertai bantuan dari Daddy yang bilang ingin ikut terlibat dalam persiapan perayaan sederhana untuk ulang tahun Ryan selaku calon menantu kesayangannya. Daddy yang mengatakan itu, anehnya justru gue yang merasa malu. Yah, faktanya masa depan gue dan Ryan memang masih panjang, akan tetapi untuk urusan terus bersama seterusnya gue pilih juga sebagai salah satu tujuan hidup gue nanti.
Mobil gue berhentikan sementara di gerbang bagian dalam depan di mana ada beberapa satpam yang tengah berjaga. Menurunkan kaca mobil serta masker, kemudian mengangguk pada salah satu satpam yang menghampiri gue.
"Selamat sore, Mas. Mau pergi ke mana?" tanya Pak satpam tampak sungkan.
Gue tersenyum. "Saya ada urusan sebentar, mau berkunjung ke rumah teman di wilayah desa sebelah. Sebelum larut malam nanti juga akan kembali. Jadi, tolong bukakan gerbangnya, ya, Pak. Maaf merepotkan."
Pak saptam mengangguk paham. "Baiklah, Mas. Jaga diri dan hati-hati, ya. Hindari kerumunan dan jaga kebersihan." Seusai berkata begitu, dia menyuruh salah satu rekan kerjanya untuk mulai membukakan gerbang.
"Terima kasih, Pak," balas gue sebelum menaikkan kaca mobil dan menggunakan masker lagi.
Setelah berhasil melewati gerbang, gue menambahkan kecepatan lantaran nggak sabar ingin segera sampai ke kediaman Ryan. Sayangnya, ini weekend. Sekalipun beberapa daerah di kota ini sudah lock down bahkan orang-orang dilarang bepergian, tetap aja yang namanya macet nggak ada matinya. Damn!
Gue melirik waktu melalui jam tangan. Hm, sudah nyaris jam setengah empat. Sigh. Gue harap, di rumahnya Ryan belum sempat masak atau beli lauk apa pun untuk menu berbuka karena gue sudah membawakan cukup banyak lauk buatnya. Yang kemungkinan bisa juga dijadikan menu makan hingga waktu sahur nanti.
Oh, iya. Bicara mengenai sahur. Semenjak adanya Ryan di bulan ramadhan yang gue jalani kini, gue jadi punya kebiasaan baru. Bangun pada waktu dini hari supaya bisa turut membangunkan Ryan yang hendak menjalankan ibadah puasa, sesudah itu mengobrol dan menemaninya makan camilan sampai masa imsak tiba. Satu kali, dia pernah menyuruh gue agar ikut berpuasa juga sepertinya.
"Elo coba ikut puasa, deh. Biar kita kompakan."
Gue terkekeh mendengarnya. "Elo pikir di ajaran agama gue nggak ada yang namanya puasa juga? Gue udah beberapa kali ngelakuin, kok."
Dia keliatan kaget. "Hah, serius? Gue pikir cuma muslim aja yang punya kegiatan berpuasa. Terus, puasa elo macam gimana?"
Ajaibnya, gara-gara pertanyaan itu gue jadi menjelaskan perihal berpuasa bagi umat kristen pada Ryan. Padahal alih-alih mendengarkan cerita gue yang setara khotbah, ada baiknya dia menonton tayangan mengenai keindahan agama islam yang makin banyak bermunculan di televisi.
"Nggak apa-apa. Gue seneng bisa ikut belajar soal agama elo juga. Hitung-hitung nyari ilmu pengetahuan tambahan soal elo, 'kan?"
Komentar itu bikin gue tersenyum senang. Kemudian kami berakhir mengobrol tentang pengalaman pertama berpuasa hingga bagaimana kami juga pernah sama-sama malas menjalankan puasa saking nggak sanggup menahan lapar. Well, we both are still a kid anyway.
And finally, gue tiba juga di daerah perumahan tempat Ryan tinggal. Sebetulnya, jarak antara rumah kami memang nggak seberapa jauh. Kadang Ryan malah memilih berjalan kaki menuju ke rumah gue jika sedang merasa bosan, tapi tetap, itu nggak bisa dijadikan alasan agar kami bisa terus saling berjumpa di tengah kondisi wabah yang melanda.
Nggak beda seperti saat hendak pergi, setibanya di dekat gerbang perumahan ini gue menurunkan kaca mobil dan berbincang pada penjaga jalan untuk minta izin masuk. Karena gue sudah sering bolak-balik kemari dan sudah pula meyakinkan bahwa tubuh gue sehat sepenuhnya, nggak susah mendapatkan izin dari mereka meskipun gue juga dinasehati supaya diam di rumah aja alih-alih keluyuran.
Okay, okay. It's the first also my last time that I wouldn't stay at home. Not really a promise, but I'll try my best to do better later.
Mobil gue parkirkan di tepi jalan kediaman Ryan yang lumayan lengang, berbeda seperti hari-hari lalu di mana kadang ada cukup banyak kendaraan berlalu lalang. Hanya terlihat beberapa bocah yang tengah bermain sepeda sambil berlarian, sementara beberapa orang lain gue lihat tengah mengobrol. Di antara mereka ada yang melirik ke arah kedatangan gue dengan ekspresi heran.
Mesin mobil dimatikan, setelahnya gue melepas sabuk pengaman. Lanjut mengambil hand sanitizer beralkohol, lalu menggunakannya untuk membersihkan tangan. Agak terperanjat sewaktu gue mendengar ketukan yang asalnya dari kaca bagian luar sebelah kiri. Gue menoleh, serta-merta nggak dapat menahan cengiran melihat Ryan yang kelihatan bingung sekaligus kaget menyambut kedatangan gue. Jika memang ini bisa disebut sambutan.
"Elo ngapain ke sini? Elo itu 'kan seharusnya stay at home aja!" omelnya selepas kaca mobil diturunkan.
Dia pikir gue bela-belain not stay at home for a while ini demi siapa? Dasar bego!
Gue menurunkan masker seraya berdecak. "Gak usah banyak omong. Mendingan elo bantuin gue bawain semua ini ke dalam," balas gue seraya melirik kursi bagian belakang di mana gue membawa masing-masing satu wadah berukuran besar serta sedang berisi makanan dan kue untuknya.
Ryan masih tampak nggak suka, tetapi dia menuruti aja apa titah gue. Seperti biasa.
"Baunya enak banget ini," ujar pacar bego gue begitu mulai mengangkat wadah besar di tangannya.
Komentar itu bikin gue seketika tertawa. "Ya udah, nanti saat masa berbuka udah datang, elo boleh makan itu semua. Bakal kenyang elo makan itu. Yakin gue."
"Isinya, 'kan?"
"Bukan, wadahnya aja!"
Dia tampak kesal dan ingin membalas, tapi ditahan. Mungkin karena sedang berpuasa. Andai ini hari biasa, gue pastikan dia bakal menghujani gue dengan banyak sumpah serapah. Well, apa terkesan aneh kalau gue mengaku bahwa gue merindukan masa dikata-katai dan ribut saat tengah bertatap muka dengannya?
Gue menutup lalu mengunci mobil sesudah mengambil wadah berisi kue ulang tahun milik Ryan, kemudian menyusul melangkah menuju ke rumahnya yang amat gue rindukan juga. Mendapati Nenek yang menunjukkan ekspresi semringah ketika gue berjalan ke arahnya.
"Ya Allah, Nak Saga. Udah lama ngga ketemu!" Nenek menyambut gue bagai melihat sosok cucunya yang telah lama nggak ditemui.
Nyatanya, beliau memang sudah menganggap gue bagai cucu sendiri, sih.
Wadah kue diletakkan dulu ke meja, selepas itu tangan Nenek langsung gue salami, nggak lupa sekalian memberi pelukan singkat. "Lama nggak ketemu, Nek. Gimana kabarnya? Sehat?" tanya gue, sedikit merasa lega mengetahui beliau yang masih nampak bugar dan ramah seperti selalu.
Nenek tersenyum seraya mengusap-usap bahu gue. "Alhamdulillah sehat, Nak. Nak Saga sendiri bagaimana kabarnya?"
"Saga juga sehat, Nek. Maaf, Saga datang kemari nggak pake bilang-bilang. Sengaja mau kasih kejutan," jelas gue sebelum ditanyai yang bukan-bukan.
Nenek sekadar mengangguk maklum, setelahnya menunjuk ke sofa. "Oh, iya. Nak Saga, silakan duduk. Mau minum apa?"
Tawaran itu jelas membuat gue tercekat.
Oh. Rupanya Nenek masih ingat tentang gue yang punya keyakinan berbeda darinya. Gue kira Nenek bakalan lupa lantaran sudah pikun.
Gelengan cepat gue berikan sebagai tanggapan. "Nggak usah, Nek. Nggak enak Saga minta minum di saat Nenek sedang puasa. Nggak apa-apa. Saga mau nunggu waktu berbuka bareng Nenek dan Feryan."
Gantian, Nenek yang terkejut mendengar jawaban gue. "Eh, begitu? Tapi, nenek belum sempat masak dan beli la--"
"Gak usah repot-repot, Nek." Ryan yang baru muncul dari arah dapur menginterupsi. "Itu wadah yang tadi Fery bawa isinya makanan semua, kok. Banyak banget pula."
"Eh?" Nenek yang tampak bingung memandangi gue dan Ryan bergantian.
Beralih ke dapur langsung, gue dan Ryan mengeluarkan satu demi satu kotak dari wadah untuk lalu disusun di lantai saking banyaknya. Kadang heran kenapa dapur ini sangat sempit. Mana mejanya pun kecil.
"Elo masak dari jam berapa sampe bisa nyiapin makanan sebanyak ini?"
Gue nyengir ditodong pertanyaan itu. "Sejak selesai ibadah bareng Daddy. Dia juga bantuin gue masak ini semua."
Dapat gue dengar Ryan mendesis, 'Dasar anak tukang ngerepotin.'
Whatever.
Nenek sendiri lebih terlihat senang, kaget sekaligus nggak tahu harus bereaksi bagaimana. "Ya Allah, Nak Saga. Jadi nggak enak, nih, nenek. Apa ini nggak kebanyakan? Nggak bakal habis dimakan kita bertiga juga, 'kan?" responsnya yang lantas menaruh tumpukan piring di dekat kaki gue sebagai tempat pengganti.
Satu piring gue ambil, setelahnya mulai memindahkan menu ikan goreng sambal balado ke situ. "Nggak, kok, Nek. Toh, cucu Nenek makannya banyak. Pasti bisa abis dimakan dia semua nanti. Aw! It hurts, stupid!" Nyaris aja kotak bekas ikan gue jatuhkan gara-gara si bego mencubit gue secara tiba-tiba.
Ryan mendengkus, kemudian tampak meneguk ludah melihat beberapa potong paha ayam bakar yang dibaluri sambal hijau tersaji di depan mata. "Ya Allah, buka masih dua jam lagi. Berat amat ujian mata dan perut dari-Mu."
Nenek menepuk pipi cucunya gemas. "Ish, nyebut, ah. Udah, biar nenek yang ngerapihkan semua ini. Fery bawa aja Nak Saga ke kamar, suruh dia istirahat. Pasti capek habis bikin semua makanan ini."
Ryan mendelik mendapati perintah itu. "Tapi, Nek--"
"Cepetan!" Nenek melotot, bikin sang cucu seketika nggak berani melawan lagi.
"Ya udah, iya! Ayo, ikut gue!" ujar Ryan pasrah sekaligus terpaksa.
Memasuki kamar Ryan adalah hal yang sangat-sangat gue nantikan, pun menjadi ujian sangat berat karena aroma yang memenuhinya langsung masuk ke indra penciuman gue. Ugh. Tahan, tahan. Ryan masih harus berpuasa, jadi gue nggak boleh bertindak gegabah. Sayangnya, Minions sama sekali nggak bisa diajak tenang dan menahan diri.
Dasar kontol nggak ada akhlak.
"Elo mau gue buatin minuman? Oh, tapi tadi elo bilang mau buka puasa bareng kami, ya. Emm, mau tidur dulu? Nanti pas mulai buka puasa, gue bakal bangunin elo." Kalimat yang Ryan tuturkan sama sekali nggak bisa membuat gue fokus. Justru tatapan gue berpusat penuh ke mulut serta gerak bibirnya yang terlihat agak kering dan pecah-pecah.
Tubuhnya masih belum banyak berubah, tetap kurus, meski yang gue liat kulitnya jadi agak bersih yang mana itu pasti efek baik dari stay at home yang dijalaninya selama dua bulanan ini. Gaya berpakaiannya tetap sama, memakai kaus tipis dirangkap celana santai pendek selutut. Rambutnya terlihat agak lembab, kemungkinan karena air wudhu sebelum menjalankan shalat. Dan wajahnya, masih manis seperti selalu. I'm really glad to knowing he's okay. Also, I'm glad I come here to meet him.
Oh. I miss him so much. I want to touch him. I want to kiss him. I want to have sex with him. DAMN! WHAT THE FUCK AM I THINKING!
Tiba-tiba Ryan mengalihkan pandangannya ke arah lain, parasnya berubah agak merah. "Elo, bisa nggak jangan ngeliatin gue begitu? Muka sange elo bikin gue salting jadinya."
Oh, shit. It's pretty obvious, huh.
"S-sorry," ucap gue yang malah jadi ikut malu.
Dia melipat kedua tangan di depan dada. "Harusnya, elo bilang kalo hari ini elo mau datang dan mau kasih kejutan."
What? "Mana ada orang mau ngasih kejutan pake bilang dulu, Bego!" Rambutnya gue acak-acak secara gemas.
Dia jadi berdecak risih. "Ya, maksud gue, 'kan, kalo gue tau elo bakalan datang, gue nggak perlu repot-repot ... euh, puasa penuh." Tatapannya melirik ke bawah. "Sedangkan ini, dua jam lagi waktu buka. Mau gue batalin juga tanggung."
Gue meneguk ludah setelah mendengar pernyataan yang diucapkannya. Cowok bego ini selalu pintar memancing hasrat gue tanpa dia sadari.
Mata gue menyipit. "Elo jangan bikin gue tambah sange, dong!"
Ryan tersengih. Kelihatan berpikir, lantas tiba-tiba maju pada gue. "Ah, bodo amat!" Dan memberikan pelukan.
H-huh? What? Why so suddenly?
"E-elo ngapain?" tanya gue ragu-ragu sambil memegangi bahunya. It's not good if I can't control myself because of him.
Ryan membenamkan kepalanya di bahu gue. "Meluk doang, nggak bakal ngebatalin puasa, 'kan? Gue kangen banget sama lo, Juan."
Mengetahui itu, akhirnya gue membalas pelukannya dengan cukup erat. "Ah, yeah. Gue juga kangen banget sama elo."
Aroma tubuhnya benar-benar sangat ... wait, no. Jangan dicium. Jangan dirasakan. Forget about it, Saga. Hold yourself!
"Meski tadi gue marah pas ngeliat elo dateng, sebenarnya gue seneng karena elo mau bela-belain datang ke sini. Gue seneng akhirnya bisa ketemu elo lagi. Dih, anjir. Bucin banget gue sama lo. Kesel gue." Tangannya menepuk punggung gue cukup keras, yang gue respons melalui kekehan.
Still adorable as ever, huh. I'm happy.
Gue balas berbisik, "Lebih bucin siapa yang bela-belain keluar rumah cuma demi nemuin pacar yang lagi ultah?"
Dia melerai pelukan untuk memandang gue. "Ya udah, kita sesama orang bucin."
Anggukkan setuju gue berikan. Tangan gue angkat untuk menyentuh pipinya yang terasa hangat, bergerak ke hidungnya, dan turun ke bibir sampai dagunya. "Gue beneran capek banget. Kayaknya, gue emang butuh istirahat."
Tangan gue di dagunya dipegangi. "Ya udah, elo tiduran du--"
"Tapi elo juga temenin gue," pinta gue begitu mulai berbaring ke atas kasur Ryan yang sempit bagai ranjang semut ini.
Matanya mendelik curiga. "Nemenin aja, ya. Ogah gue bobo bareng. Takut terjadi hal yang iya-iya antara kita berdua."
Tubuhnya gue tarik mendekat. "Iya, Bawel! Sini!"
Ryan duduk di samping gue, sementara gue mulai memejamkan mata setelah mendekap erat perutnya. "Nggak usah elo nina boboin, yang ada gue malah gak akan bisa tidur."
Kepala gue mendapat pukulan sebagai balasan. Namun, nggak lama, usapan dan belaian lembut terasa di sana. Membuat gue nyaman dan perlahan-lahan merasakan rasa lelah yang gue jalani seharian hilang, apalagi gue berbaring sambil memeluknya begini.
Berada di dekatnya memang suatu cara memulihkan diri terbaik.
"Gue sayang sama lo, Juan. Tidur yang nyenyak, ya."
.
Is this a dream? Saat ini, gue bagai tengah melihat Ryan yang cuma memakai celana dalam murahannya berdiri di depan lemari baju sambil menggosok-gosok leher dan telinganya menggunakan handuk. Wow. Lihat bongkahan daging pantatnya yang mengundang remasan tangan gue itu. Tanpa dapat ditahan gue jadi bersiul, membuat Ryan yang berniat memakai celana terlonjak sambil menoleh dengan mata melotot.
"Sambutan bangun tidur yang bagus banget."
Dia mendengkus, wajahnya kentara banget sedang merona. "Bacot, lo. Mendingan cepet bangun, terus mandi juga. Sebentar lagi waktu buka datang," katanya seraya mulai memakai celana. Melemparkan handuk ke kasur untuk lalu menarik satu kaus lengan panjang dari lemari.
Gue menguap, bangun dari posisi berbaring kemudian duduk di tepi ranjang. "Lumayan lama juga gue tidurnya. Enak banget tidur ditemenin bau badan elo yang menggoda di sini." Bantal guling miliknya gue peluk erat.
Decakan kerasnya menyahut. "Udah, cepetan. Sana mandi!"
Gue terkekeh, berdiri lantas menghampirinya. "Baju gue yang di sini masih ada, 'kan?"
"Ada. Bentar, gue cari."
Ketika Ryan mengacak-acak isi lemari bagian atasnya, badannya gue peluk dari belakang. "Hm, badan elo wangi banget, Bego."
Baru hendak mencium daun telinga dia, tapi tubuh gue malah didorong menjauh. "Juan, gue masih puasa."
Oh my God. What the hell.
"Sorry, gue lupa."
Dia sekadar tersenyum konyol sembari menyerahkan baju ganti. "Ini, baju lo."
Mata gue menyipit melihat lipatannya yang agak acak-acakan.
"Kenapa?" tanyanya heran yang mendapati gue justru diam.
"Kenapa lecek? Tumben. Biasanya baju di lemari elo rapi-rapi. Heh, Bego! Jangan bilang elo ngejadiin baju gue bacol?"
Tuduhan itu dibalas putaran bola mata. "Ngapain gue perlu baju lo kalo di HP gue foto lo numpuk menuhin galeri?"
I'm really shock to hear that. Sampe gue gak tahu harus berkomentar apa. Does it means our pervert side kinda equal now?
Lengan gue dipukul, untuk selanjutnya didorong menuju ke pintu keluar. "Gak usah mikir yang macem-macem, sana cepetan mandi!" titahnya yang nggak lupa melemparkan handuk dari kasur pada gue.
Namun gara-gara pengakuan Ryan tadi, gue jadi nggak mampu menyingkirkan bayangan dia yang coli sambil menontoni foto wajah gue. Damn. Pasti dia sangat seksi dan menggemaskan. Gue mau banget menyaksikan adegan coli itu secara live.
Sigh. So, pada akhirnya gue mandi cukup lama lantaran harus melepas hasrat membuncah dipenuhi kilasan Ryan yang tengah coli. I'm really hopeless.
.
"Juan, elo nggak bilang kalo elo juga bawa kue."
Sisir gue letakan ke nakas, selepasnya menghadap Ryan yang berdiri berkacak pinggang dengan wajah kesal di ambang pintu. "Oh, gue belum bilang?"
Kedua matanya melotot. "Kapan elo bilangnya?"
Mungkin gue emang belum sempat mengatakan itu. Whatever. "Oh, ya udah. Yang penting elo sekarang udah tau."
Ryan lalu berjalan mendekat untuk kemudian merapikan poni rambut gue. "Gue mana bakal tau kalo bukan Nenek yang ngasih tau. Dia bingung kenapa elo bawa kue juga, katanya," ujarnya dengan senyum tertahan.
Gue melirik keluar lebih dulu sebelum menarik Ryan merapat. "Nenek nggak tau elo ulang tahun?"
Helaan napasnya terdengar berat. "Buat inget ultah sendiri aja dia susah, boro-boro inget ultah cucunya. Lagian gak penting juga buat ultah gue selalu diinget."
Komentar itu bikin gue mencubit pipinya gemas. "Bagi gue itu penting. Karena elo adalah pacar gue."
Dia berdecak lantas nyengir. "Iya, deh. Iya." Setelah itu mendorong badan gue pelan untuk merapikan kekacauan yang gue buat di kasur sesudah mandi beberapa menit lalu.
Masih rajin seperti selalu. Idaman banget emang pacar gue ini. Calon pendamping masa depan gue.
Waktu pada jam tangan gue lirik. "Udah mau tiba waktu buka, 'kan? Ayo, kita mulai rayain ultah lo."
Ryan terlonjak dan batal mengambil handuk. "Hah? Ngerayain?"
.
Lilin putih dengan angka 17 gue nyalakan. Tersenyum kepada Ryan yang tengah Nenek peluk sambil dibelai kepalanya. Nenek merasa bersalah sebab dia nggak ingat ulang tahun sang cucu kesayangan. Really, mereka benar-benar manis.
Meski sebetulnya gue agak setuju dengan apa yang Ryan katakan di dalam kamar beberapa saat lalu, mengenai nggak terlalu penting untuk hari ulang tahunnya agar selalu diingat. Apalagi gue yang setiap mulai ulang tahun akan selalu ditanyai atau disiapkan acara serta hadiah macam-macam. Terlalu merepotkan.
Nenek melepaskan pelukan bertepatan dengan suara adzan yang terdengar dari masjid di dekat sini. "Ya Allah, maaf, ya, Fery. Nenek beneran lupa hari lahir cucu sendiri. Jadi sedih nenek."
Ryan cuma terkekeh. "Gak usah dipikirin, lah, Nek. Lagian Feryan aja nggak ngarepin apa-apa. Dasar aja Juan ini yang kebanyakan nganggur jadi bikin kerjaan sendiri," responsnya seraya melirik gue sok sinis.
Nyaris tepat, tapi, "I feel like, kalo gue nggak ngasih elo ini semua, rasanya gue bakalan menyesal seterusnya."
Komentar gue ditanggapi dengkusan oleh Ryan. "Huft. Ya udah. Daripada ribut terus, mendingan kita cepet kelarin acara ultahnya, terus mulai buka puasa."
Nenek mengangguk setuju. "Iya, ayo."
Gue bertepuk tangan satu kali. "Should I sing a happy birthday song for you?"
Dijawab sangat cepat, "Gak perlu!"
Sementara Nenek tampak nggak paham maksud gue. Maklum, sih.
Gue memutar bola mata mendengar penolakan Ryan itu. "Tapi gue mau."
Ryan tersengih pasrah. "Terserah elo aja, deh. Males gue," balasnya yang melipat kedua tangan di depan dada.
Tersenyum geli, gue lalu menarik napas panjang sebelum mulai bernyanyi. "Happy birthday to you ... happy birthday to you ... happy birthday to you, Feryan. Happy seventeenth birthday to you," lantun gue sambil memandang Ryan lekat. "Happy sweet seventeenth, Bego!" bisik gue menambahkan.
Membuat pacar gue ini menatap ke bawah lantaran merasa malu, nggak sanggup membalas tatapan gue. Damn, he's so cute. I want to kiss him right now.
Nenek yang memberi tepuk tangan meriah seketika membuyarkan khayalan gue. "Alhamdulillah."
Aduh, gue betul-betul lupa bahwa di sini kami gak cuma sedang berduaan.
Akhirnya, gue berdeham. "Now, tiup lilinnya. And don't forget to make a wish," desis gue pada Ryan yang mengangguk paham.
"Iya, iya." Dia memejamkan mata sembari merapalkan beberapa kata tanpa suara, sesudahnya membungkuk dan meniup lilin hingga padam.
Kali ini gue dan Nenek bertepuk tangan secara kompak.
Ketika kedua matanya kembali membuka, dia melirik gue dengan paras merona.
Grrr. Jadi penasaran gue. Kira-kira harapan apa yang dia minta sebelum meniup lilin barusan? Well, let's just forget about that. Selama harapannya baik, gak ada yang perlu dikhawatirkan, toh.
Gue lanjut buka suara selaku MC dan tamu tunggal di perayaan sederhana ini. "Next, elo bisa mulai ngebagi kue ini juga buat kita. Sebagai menu pembuka berbuka puasa."
Jadi, Ryan mulai memotong kue secara hati-hati, setelahnya meletakkannya pada piring mungil yang juga telah disiapkan. Kue pertama dia serahkan pada Nenek yang menerima dengan kedua mata berkaca-kaca.
"Buat, Nenek," ucap Ryan dengan wajah dan senyum manis yang sangat menggemaskan.
Nenek menerima kue, lalu memberikan ciuman ke pipi kiri dan kanan Ryan. "Selamat ulang tahun, ya, Fery. Cucu kesayangan nenek. Semua doa terbaik nenek buat Fery. Makin rajin, makin pinter, sehat selalu, bahagia terus pokoknya. Apa pun itu, selama bisa bikin Fery senang, selalu ingat nenek juga akan turut senang. Panjang umur, ya," ujar nenek tulus seraya mengelus pipi sang cucu penuh sayang.
Langsung dibalas cengiran senang. "Makasih, Nek." Selanjutnya, Ryan memotong kue dan menaruhnya di piring lagi. "Ini, buat elo." Untuk diserahkan kepada gue.
Tanpa basa-basi, gue menerimanya langsung. "Thanks." Mengabaikan sorot keponya, yang pasti mengharapkan ucapan lain-lain dari gue.
Nah, itu bisa dilakukan nanti saat Nenek nggak sedang ada di dekat kami lagi. Terlalu berisiko jika gue harus mengatakannya di sini, saat ini. Meski pendengaran beliau agak bermasalah, gue tetap nggak bisa gegabah. Sebab hal yang ingin gue katakan agak ... cheesy. Maybe?
Selesai memakan kue sebagai menu pembuka, kami bertiga lanjut berbuka puasa dengan semua masakan buatan gue. Namun karena menunya terlalu banyak, alih-alih makan sambil duduk di kursi, gue, Ryan dan Nenek justru menggelar tikar di ruang tengah. Rasanya bagai sedang berpiknik. Dan melihat ekspresi puas serta senang di wajah Ryan dan Nenek ketika tengah melahap masakan gue, bikin lelah gue seolah terbayar dengan harga yang pantas.
I'm glad I could do something for them.
Nenek berbicara sesudah meneguk air minum. "Ya Allah, masakan Nak Saga ini selalu aja enak," pujinya lantas lanjut melahap ikan goreng bercampur kuah sup daging di piringnya.
Ryan memberi ajungan jempol. "Endol surendol tak kendol-kendol..."
"Ngeunah!" Nenek menyambung kalimat absurd yang cucunya lontarkan hingga berakhir terucap dengan kompak.
Gue nyaris tersedak duri ikan yang ingin dilepaskannya gara-gara mereka.
What the ... Kalau nggak salah itu jargon yang sering muncul di suatu acara kuliner, 'kan? Daddy dan gue kebetulan sering menontonnnya untuk mencari inspirasi menu makan yang baru.
Konyol sekali duo nenek dan cucu ini.
"Mantap banget, ya, Nek!" ucap Ryan setelah selesai dengan jatah paha ayam keduanya.
Bukan main kecintaannya pada segala masakan berbahan ayam. Luar biasa.
Nenek mengangguk penuh antusias. "Iya, duh. Coba aja Fery juga bisa masak kayak gini, bahagia nenek."
Ryan urung meneguk jus semangka mendengar hal itu. "Nenek bilang begitu karena belum tau aja modal yang dia keluarin buat beli semua ini mahal," balasnya lalu lanjut minum.
Nenek meringis. "Aduh, iya. Pasti mahal, ya. Tapi nenek bahagia meski Fery cuma bisa masak sayur bayam atau sayur kangkung, yang mudah dan murah dimasaknya."
Gue nggak bisa menahan tawa lagi sekarang.
Apalagi saat melihat Ryan menghela napas pasrah. "Hhh, iya, Nek. Nanti Fery coba belajar masak."
Nenek tersenyum senang, setelah itu melirik gue. "Nak Saga kenapa sedikit makannya? Ayo, tambah lagi."
Tangan Nenek yang hendak mengambilkan nasi lagi gue tahan. "Nggak apa, Nek. Ngeliat Nenek sama Ryan lahap makan begitu cukup bikin Saga senang. Lagian Saga masih lumayan kenyang soalnya saat di rumah nyicipin satu per satu semua rasa masakan ini," terang gue nggak sepenuhnya bohong.
Alasan lainnya, gue nggak bisa terlalu banyak makan di sini sebab setibanya di rumah nanti gue juga harus menemani Daddy makan. Kasihan dia cuma ditinggal sendirian bersama Yellow.
Beres dari berbuka, gue dan Nenek duduk bersama di sofa ruang depan sementara Ryan yang membereskan semua sisa bekas makan. Permintaan dia sendiri. Katanya, gue dan Nenek pasti sudah capek, jadi sebaiknya duduk anteng aja.
"Udah kenyang, Nek?"
Nenek membelai sisi kepala gue. "Alhamdulillah, Nak. Sudah." Dia tersenyum lembut. "Duh, betul-betul idaman banget Nak Saga ini. Fery beruntung memiliki Nak Saga sebagai teman. Akur terus, ya. Nenek percaya, jika Fery bergaulnya dengan Nak Saga, nggak banyak hal yang harus nenek khawatirkan."
Tangan beliau gue raih untuk lalu gue genggam menggunakan kedua tangan. "Iya, Nek. Nenek bisa percayakan itu ke Saga."
Tanpa diminta, gue pasti akan berusaha menjaga Ryan sepenuh hati.
Ryan muncul dari dapur dengan suara helaan napas panjang. "Gue mau sholat maghrib dulu. Elo tungguin aja gue di kamar," ujarnya sebelum gue sempat buka suara.
Namun, gue hanya bisa menurut. "Oke. Saga ke kamar dulu, ya, Nek."
Nenek mengangguk, mempersilakan.
Masuk ke kamar Ryan untuk ke sekian kalinya dalam beberapa jam ini, barulah gue memperhatikan suasananya yang nggak banyak berubah, tapi nggak juga sama seperti saat terakhir kali gue datang dulu. Sprei yang dia gunakan bergambar pemandangan alam dalam seni 2D sekarang. Jumlah bantal selain guling miliknya di kasur berkurang satu karena seingat gue yang satu lainnya dia taruh di ruang depan, di sofa panjang tempatnya biasa menonton TV.
Well, sebenarnya nggak ada begitu banyak barang yang memenuhi ruangan yang sempit ini. Ada dua nakas yang letaknya diposisikan secara terpisah--di ujung serta sisi kasur, dua lemari baju yang kecil dan besar, juga single bed. Nah, sisanya terdiri dari setelan dan benda milik Ryan yang bergantungan di paku serta diletakkan di lantai seperti; sepatu, kardus berisi buku, hingga bantal Keropi kesayangannya.
Wait, kenapa bantal Keropi itu ada di bawah? Oh, mungkin kotor kali, ya.
Handuk yang ada di kasur gue ambil untuk lalu gue gantungkan di paku yang ada di dekat lemari. Melirik nakas, menemukan iPad serta HP yang sama-sama tengah diisi baterai belum juga dicabut.
Sebentar. Gue malah teringat sesuatu lain.
Lemari besar milik Ryan gue buka. Membuka satu-satunya laci yang ada di sana sesudah itu meraba-raba ujungnya. Mendapati kondom dan pelumas yang biasa kami gunakan masih disimpan. How great. Sayangnya, hari ini gue nggak ada niat menggunakan ini. Sigh. Tapi pelumas ini mungkin bisa berguna. Jadi, benda satu ini gue tarik dan lemparkan ke kasur.
Seusai menutup lemari, gue berjalan lagi ke nakas untuk mengambil HP milik Ryan. Memutar bola mata ketika ditanyai kata kunci untuk membukanya yang kalau nggak salah ingat diberi sandi 111111. Oh, masih ternyata. What a useless password. Dasar bego.
Mengklik aplikasi WhatsApp, mendapati beberapa chat yang bermunculan selain dari gue serta grup chat Whatever. Ada GC perkumpulan kelas 11 IPS D serta kelas belajar online, Jeje, Herman, Yudi, Nindy, Setya, Zyas, Mamah, Lena, Arya, bahkan ... Benjo.
This fucker.
Tanpa dapat ditahan, gue menekan chat milik Benjo yang pesan terakhirnya berisikan I love you selain ucapan selamat ultah seperti yang lainnya kirimkan. Disgusting.
Namun, gue cukup lega mendapati semua chat yang Benjo kirimkan nggak mendapatkan tanggapan sama sekali. Yang mana artinya, Ryan nggak bohong ke gue sewaktu mengaku bahwa chat si Benjo nggak ada gunanya juga dibalas. As expected from my stupid Feryan. Yah, ada baiknya ini chat diapus aja sekalian. Supaya bersih dari gangguan.
"Ngapain elo ngintipin isi HP gue?" tanya Ryan yang masuk ke kamar masih sambil memakai sarung. Dia melepaskan sarung sesudah menutup pintu.
HP gue taruh kembali. "Penasaran aja. Pengin tau apakah ada orang yang ingat ultah elo selain gue. Rupanya lumayan banyak juga."
Sarung di tangan dilemparkan ke kasur. "Sebagian dari mereka ingat karena notifikasi Facebook juga, 'kan?" komentarnya yang lantas berjalan ke meja, mengecek HP entah untuk melihat apa. Kemudian duduk di tepi kasur.
Gue menyusul duduk di sebelahnya. "Oh, iya. Why the fuck elo belum juga ngeblokir nomor Benjo?"
Meskipun gue lega dia nggak meladeninya, tapi gue akan lebih bahagia jika Ryan bisa menganggap Benjo ini sama sekali gak ada.
Dia langsung menatap sebal. "Dia itu ketua kelas gue. Selama libur sekolah, yang jadi perwakilan para guru buat ngebagiin kuis buat dikerjain selama di rumah 'kan dia."
"Elo bisa minta ke Setya."
Lengan gue kena pukul. "Hadeuh. Cemburu elo tuh kelewatan. Gue tau Jess juga selama ini masih suka gangguin elo, tapi gue nggak kepengin elo jauhin dia atau gimana."
Well, it's true. But, still. It's bother me somehow.
Gue merangkul Ryan erat. "Karena gue lebih sayang ke elo dan lebih gak mau kehilangan lo, Bego!" ucap gue seraya menatap lekat ke matanya.
Dibalas sorot malas milik dia yang khas. "Lama-lama gue pukul juga muka lo."
Gue tertawa. "Oke, oke. Enough. Ah, by the way, gue belum ngasih kado buat elo, 'kan?" kata gue sambil menarik dompet dari saku belakang.
"Hah? Kado? Gue kira semua makanan di luar tadi itu kadonya, kuenya juga."
What? Memangnya hal semacam itu pantas dihitung sebagai kado, ya?
Kepalanya gue toyor pelan. "Itu masakan doang. Ya kali, gue cuma bakal ngasih elo makanan sedangkan di ultah gue, elo ngasih jam ini," respons gue dengan menunjukkan jam tangan hasil pemberiannya.
Ryan tercenung sejenak sebelum bertanya, "Hm, terus?"
Benda kecil dari dompet gue keluarkan, tapi nggak langsung gue perlihatkan. "Wait. Ini, kado dari gue. Tapi sebelum elo ngeliat, gue mau elo tutup mata dulu."
Ryan tampak gregetan, akan tetapi dia menurut dan mulai memejamkan mata. "Nih, gue tutup mata!"
"Give me your hand."
"Mau elo apain?"
Pipinya gue cubit gemas. "Bawel. Tinggal kasih!"
Dia mencibir tanpa suara lalu menyerahkan tangan kanannya. "Nih, tangan gue!"
Kepalan tangan gue buka. Tersenyum melihat benda pilihan yang gue jadikan kado untuk sosok paling istimewa di depan gue ini.
Cincin emas putih pipih yang sudah dipesan sejak bulan lalu ini akhirnya gue pakaikan ke jari manis Ryan secara perlahan. "Oke. Elo bisa buka mata."
Dia membuka mata. Mengerling jari manis kanannya dengan sorot bingung, kemudian mendelik seakan-akan terkejut bukan main. "Juan, gue lulus sekolah aja belum, loh. Elo udah ngelamar gue ini ceritanya?"
Kurang lebih, niatnya memang begitu. Seperti yang dulu Mommy pernah katakan bahwa gue akan memberikan sesuatu yang berharga bagi sosok penting dalam hidup gue. Hari ini, di sini.
Puncak kepalanya gue usap. "Itu cuma kado. Anggap aja itu sebagai pengikat dari gue buat elo. Which means, you can't love someone else besides me. Paham?"
Dia berkomentar, "Kayak gue bakal bisa cinta ke orang lain." Senyumnya mengembang. Nggak lama, menciut lagi. "Cuma, kalo gue pakai cincin beginian, kesannya kentara banget. Takut ilang, atau nanti ada yang jambret."
Nah, gue sudah mempertimbangkan itu juga. "I know. Makanya gue juga nyiapin sesuatu buat kalung lo itu." Rantai kalung berwarna senada dengan cincin gue tarik keluar juga. dari dompet. "Sini, biar gue pakein juga," ujar gue sesudah menarik lepas lagi cincin dari jari manis Ryan.
"Pasti mahal," katanya begitu gue mulai memakaikan kalung cincin ini ke lehernya.
"Gak usah mikirin harganya." Gue duduk tegak kembali. Kini, memperhatikan Ryan yang mengenakan kado ulang tahun dari gue. "Nah, bagus, 'kan? Cakep dipake sama lo."
Ryan sendiri melihat ke bawah, pada kalung cincin yang mulai hari ini gue harap akan selalu dipakainya yang dipandang penuh suka.
"Sekarang ..." Cincin satu lagi yang juga sudah disiapkan gue berikan lagi pada Ryan, "giliran elo yang makein cincin ini ke gue." Tangan kanan gue sodorkan padanya.
Namun, gaagasan itu disambut tawa geli oleh Ryan. "Kita lagi tunangan ini ceritanya?"
Gue sekadar menaikkan bahu. Dan nggak mampu menahan senyum bahagia sewaktu Ryan mulai memakaikan cincin ke jari manis gue. Sekarang, kami resmi punya barang sepasang yang dipakai bersamaan.
Sebelah tangan Ryan gue genggam kemudian, untuk gue kecup punggung tangannya. "Thanks. And once again, happy birthday to you. Di hari ulang tahun elo ini, gue harap elo bahagia. Dan semoga, kita bisa terus ngerayain ultah elo begini di tahun-tahun berikutnya. I love you so much, so, I wish all the best for you, Baby." Nggak lupa memberikan kecupan lembut ke bibirnya. "Cincin ini anggap aja sebagai bukti tentang betapa seriusnya gue sama lo. Bukti tentang seberharga itu diri lo bagi gue. Jadi gue ingin pastikan, dan gue mau elo janji untuk jangan sampai ngebuang cincin kita ini jika memang elo benar-benar sayang ke gue. Oke?"
Ryan mengangguk sambil memegang erat jemari gue. Lantas sekali lagi, gue memberinya ciuman.
Niat awalnya gue cuma ingin mencium sebentar, tapi karena gue dan Ryan sama-sama sedang kangen, akhirnya kami malah berciuman cukup lama. Menbaui aroma pasta gigi dari mulutnya, embusan napasnya yang hangat dan menggelitik, juga desahan lirihnya di sela-sela decapan. Sudah jelas bikin Minions di bawah sana bangkit tanpa bisa dikendalikan.
Ryan menjilati bibirnya sendiri begitu kami menyudahi ciuman. "Thanks. Ini hari ulang tahun terbaik yang pernah gue punya. Makasih, Bangsat." Matanya sedikit berkaca-kaca.
Ah, I don't wanna see him cying. So, akhirnya kami memilih lanjut berciuman lagi.
Damn! Really, I miss him so much.
Secara gak sabar, gue langsung mendorong Ryan berbaring di kasur untuk saling bertindihan masih dengan kedua mulut yang berbagi ciuman. Jemari mulai menyusup masuk ke kaus yang dia pakai. Membelai kulit perutnya pelan, naik ke dada untuk memainkan putingnya yang sangat ingin gue jilati.
"Should we make out?" Too late to ask, but I don't care.
Ryan menatap gue penuh gelora. "Hm, gue gak keberatan. Gue udah sange banget juga dari tadi gara-gara elo."
Gue sudah menduganya, sih.
Lehernya gue kecup sembari menyingkap kausnya hingga ke bawah dagu. "Gue malah udah sempet coli di kamar mandi elo," aku gue setelah itu mencium puting dadanya yang mungil.
Ryan terkekeh geli. "Bangsat emang elo, ya!"
Kekehannya menular pada gue sehingga gue mendongak. Bertatap muka dengan parasnya yang merona, lantas gue mencium bibirnya lagi. "Bibir lo rasanya makin enak. Apa karena udah lama kita gak cipokan, ya?" Agak tersentak sewaktu dia menggerayangi Minions di balik celana. "Ah, Ryan. Yes, do more!"
"Kita bakal ngeseks, gitu? Pintu udah gue kunciin, sih."
Pertanyaan itu bikin gerakan gue yang hendak menarik turun celananya tertahan. "No. I think, kita enaknya ngocok bareng aja. Kalo ngeseks, gue gak yakin cukup kalo cuma ngelakuin satu atau dua ronde. Sementara elo masih harus puasa besok. Sholat juga. Belum lagi ngerjain kerjaan rumah, ngejaga kesehatan. Too risky." Gue mengambil pelumas yang tadi gue ambil dari lemari untuk menuangkan sedikit isinya ke tangan. "Let's do it."
Ryan mengecup hidung gue dengan senyum menawan, kemudian mendesah tertahan ketika Banana miliknya dan Minions mulai dikocok bersamaan. Still warm like always. And it feels more good than usual. Wait, mungkin ini efek kangen makanya rasanya ngocok bersamaan begini pun terkesan luar biasa.
"Juan ..." Ryan mencium gue, seperti biasa, demi meredam suara desahannya saat gerakan gue di bawah sana semakin kencang. "Gue bener-bener seneng karena elo ada di sini sekarang," bisiknya tepat ke daun telinga gue.
Damn! He's too sexy and adorable.
"Yeah. Apa, sih, yang nggak buat elo, Sayang?"
Punggung gue dipukul pelan. "Mulai noraknya!"
Gue tertawa di sela-sela desahan. "Emmh. Norak gini juga elo cinta mati." Lalu memberikan jilatan ke daun telinganya yang agak memerah.
Ryan mendengkus. "Iya, iya. Terserah."
Dahinya gue kecup. "I love you so much."
Dia nyengir sambil meringis. "Y-ya, ah, gue tau."
I'm so happy to be with him, here, right now. If only I could make time to stop for a while.
.
Ah, yang tadi itu benar-benar nikmat tiada tara. Melakukan hal nggak senonoh ajaibnya memiliki efek menyenangkan begini.
Ryan membuang tisu ke tempat sampah yang ada di bawah kolong kasurnya, selepas itu membetulkan letak celananya yang masih agak miring. Nggak beda dengan gue.
"Bentar lagi elo shalat taraweh, 'kan?" tanya gue setelah melihat waktu pada jam tangan.
Ryan mengangguk. Berjalan ke depan gue untuk bantu merapikan kemeja, tatanan rambut serta kerah. "Iya. Gue sholat di rumah sama Nenek. Elo gimana? Mau pulang?"
Tubuhnya gue tarik merapat, meletakkan kepala gue ke dadanya seraya mendesah lesu. "Hm. Iya."
Padahal gue masih sangat rindu padanya.
Kepala gue dibelai lembut. "Padahal gue masih kangen."
Oh, kami sepemikiran. "Sama, gue juga masih kangen, kok. Tapi mau gimana lagi? Gue udah janji sama Daddy nggak ak--oh, iya. Gue lupa. Wait." Dompet gue ambil, kemudian mengecek titipan dari Daddy di sini.
Untung aja gue keinget sama Daddy lagi. Hampir aja kelupaan.
"Apaan?" Ryan mengintip dompet gue, penasaran.
Beberapa lembar uang titipan Daddy gue serahkan pada Ryan. "Ini. Hadiah dari Daddy buat elo."
Dia tampak sangat kaget. "H-hah? Kok duit?"
Gue tersenyum. "Iya. Karena Daddy nggak tau mau beliin elo apa dan dia juga lagi nggak bisa pergi ke mana-mana buat nyari kado, akhirnya dia nitipin uang ini. Katanya, elo boleh pakai uang ini buat beli segala sesuatu dan kebutuhan yang elo ma--"
"Tapi gak sebanyak ini juga, kali! Ada berapa coba ini?" selanya masih nggak percaya dan nggak menerima.
Mau gak mau gue berusaha mengingat nominalnya. "Tiga sampe lima juta, kalo gue gak salah hitung."
Terang aja dia mendorong uang di tangan gue menjauh. "Anjir! Kebanyakan. Udah, bawa lagi aja. Om Julius nggak bisa ngado juga nggak apa-apa, kali. Gue gak mau ngerepotin dia."
Putaran bola mata gue berikan. Mulai malas jika sudah berhadapan dengan sifat keras kepalanya. "Itu masih gak seberapa dibanding jumlah uang yang sering gue dapat, kok."
Daun telinga gue disentil. Ouch. "Ya, elo 'kan anaknya, Bangsat! Lah, gue?"
Mata gue menyipit genit menatapnya. "Elo calon menantunya. Gimana?"
Sukses, wajahnya seketika memerah. "Hadeuh, gue serius!"
Pipinya gue cium bergantian saking gemas. "Gue juga, Bego! Udah, gak usah bawel dan ribet. Tinggal ambil aja. Apalagi di kondisi pandemi begini, gue yakin elo lagi butuh. Terakhir elo juga ngadu mamah sama papah lo pun nggak bisa kasih uang banyak karena lagi susah cari kerja, 'kan? Ambil aja. Ini ultah lo, itu rezeki untuk elo. Dan seingat gue, di agama lo ada ayat yang mengatakan bahwa rezeki gak boleh ditolak. Juga, bahwa rezeki itu gak pernah salah alamat. Gue bener, 'kan?" Uang di tangan secara paksa gue taruh di atas telapak tangannya.
Membuat dia berdecak jengah. "Gak usah berlagak jadi ustadz dadakan, deh. Gak cocok sama muka bejad lo," komentarnya lantas menatap uang di pegangan dengan sorot nggak enak.
Sigh. "Well, whatever. Intinya, ambil aja. Lagian kalo pun gue ngasih balik itu uang ke Daddy, gue yakin Daddy cuma akan nyuruh gue untuk datang ke sini lagi karena uang itu, sesuai pesannya, harus mau elo terima. Elo mau, ngeliat gue sampe bolak-balik dari rumah kemari?"
Pertanyaan gue dibalas nada lesu, "Gue nggak mau ngerepotin."
"Itu kado, rezeki. Bukan suatu beban yang elo timpakan ke Daddy gue secara sengaja. Daddy nggak bakal jatuh miskin juga cuma dengan ngeluarin uang segitu demi ngasih elo sesuatu. Tenang aja, oke? Elo layak dapatin itu, kok. So, you should be happy." Dagunya gue pegangi dan goyang-goyangkan.
Berhasil membuat dia tersenyum lagi. "Tha-thank you, deh. Gue bakal gunain uang ini baik-baik."
Hm, dasar dia ini. Gue tau sebetulnya dia ini seneng dapat duit, cuma karena Daddy yang memberikan dan bukan gue, sifat segan yang dia tunjukan jadi lebih kentara.
Bahunya gue tepuk laun. "Elo bilang makasih ke Daddy, lah. Daddy tuh sering ngeluh ke gue karena meski elo udah punya kontaknya, tapi elo malah gak sering-sering ngehubungin dia. Elo bisa anggap dia ayah lo sendiri, Ryan. Gak usah sungkan. He loves you like they way he loves me as his son, you know."
Bibir gue tahu-tahu malah dikecupnya. "Iya, iya. Nanti gue kontak si Om. Banyak bacot lo!"
Secara gemas gue memeluknya erat. "Good. Now, kita cipokan lagi sampe adzan Isya datang, skuy?"
"Skuy!" Ryan langsung naik ke pangkuan gue penuh antusiasme, lalu segera mempertemukan kedua belah bibir kami.
Oh God, I love him so much. I want to spend more time with him if I could.
.
Nenek mencium pipi gue, kanan dan kiri. "Hati-hati di jalan, ya, Nak Saga. Makasih buat semuanya. Yakin itu Tupperware sama wadah gedenya gak mau dibawa pulang lagi?"
Wow. Betul-betul enggan pulang gue jika terus diperlakukan begini. Nenek terlalu baik ke gue.
Gue mengusap bahu Nenek sambil menggeleng. "Gak usah, Nek. Biar itu tetep di sini aja."
Beliau tersenyum pasrah. "Ya sudah."
Tubuh wanita tua yang sudah gue anggap Nenek sendiri ini gue peluk sebentar. "Jaga diri dan kesehatan, ya, Nek. Kalo butuh apa-apa, bisa hubungin Saga. Nggak usah sungkan."
Nenek terkekeh. "Iya. Nak Saga juga. Makasih untuk semuanya, ya."
Kali ini, tangannya gue salami dengan ciuman. "Saga pamit, Nek."
Nenek mengangguk sambil melambaikan tangan.
Ketika gue mulai berjalan ke pintu, Ryan langsung melangkah mengikuti.
"Fery mau ngantar Juan ke depan ya, Nek," ujar pacar gue ini beralasan.
Meski tindakannya ini sangat gue harapkan.
"Iya. Sana!" Nenek mengangguk setuju.
Ah, suasana malam di bulan ramadhan. Hangat dan penuh kasih. Dinaungi langit malam yang terang, gue bisa melihat dengan jelas bintang-bintang yang bertaburan memanjakan pandangan. Beautiful. Kemudian menoleh pada Ryan yang juga tengah melihat ke atas, pada langit yang menjadi saksi atas keberadaan kami berdua di sini.
Beautiful as him. My most precious one.
Gue memakai masker, memasang sabuk pengaman, memasukkan kunci, setelah itu menurunkan kaca mobil untuk menatap Ryan yang mengantar kepulangan gue ke rumah dengan sorot nggak rela.
"Sampe rumah, jangan lupa elo chat gue!" pesannya penuh penekanan di setiap kata.
Anggukan paham gue berikan. "Oke, oke."
Dia mengembuskan napas panjang. "Kasih salam cium gue buat Yellow juga."
"I'll do that." Di balik masker, gue nggak mampu menahan senyuman melihat sisi manisnya ini.
Lalu secara enggan, dia melambaikan tangan pelan. "Hati-hati di jalan, Juan."
"Iya."
Bibirnya digigit sebentar sebelum berkata, "Gue sebenarnya mau nyium elo, tapi takut ada yang ngeliat."
Damn. Seriously. Bisa-bisa gue horny lagi jika dia terus begini.
Gue berdeham. "I know, but gak usah dipikirin. Yang di dalam tadi udah cukup, kok. Okay, I'll be going now."
"Dah." Lagi, Ryan melambaikan tangan begitu gue mulai menyalakan mesin mobil. Wajahnya kelihatan sedih.
Bagaimana gue bisa pulang dengan tenang, huh?
"At least smile for me, Baby."
Ryan menarik napas panjang lantas memenuhi permintaan gue. "Iya, Bangsat! Dadah!" Senyum menawannya kini jadi mengembang sangat lebar.
"See you later!" Gue balas melambaikan tangan, sesudah itu menaikkan kembali kaca mobil. Perlahan-lahan menutupi wajah manis Ryan dari pandangan.
Di sepanjang perjalanan pulang, gue nggak bisa berhenti memikirkan Ryan, juga dengan hubungan kami saat ini. Berpikir, hanya karena nggak mampu bertemu selama satu hingga dua bulan aja kondisi kami menjadi cukup kacau begini. Rindu menumpuk, keinginan untuk bertemu selalu hadir, bahkan setiap saat dibuat cemas dan nggak tenang lantaran kami nggak bisa bertatap muka sementara. Lantas, mulai satu tahun ke depan, pada masa ketika nanti gue dan Ryan akhirnya terpisah jarak yang jauh serta dihalangi rentang waktu tanpa berjumpa yang jelas lebih lama ... apakah, gue akan sanggup?
Is he gonna be okay? Am I gonna be okay? Could both of us through those time together without worrying much about anything?
What should I do?
Gue memijat pelipis sambil menghela napas letih. Tangan gue yang mengendalikan kemudi agak gemetaran. Hendak menepi sementara untuk menenangkan pikiran, saat HP yang gue letakan di kursi sebelah memperdengarkan dering tanda chat datang.
Laju mobil dipelankan, lalu agak malas gue mengambil HP. Mengecek isi chat berupa foto yang rupanya dikirimkan oleh Ryan.
Apa ini?
Namun, gue jelas terkejut sewaktu membuka foto yang dikirimkannya. For the first time since we're dating, he's finally sending his own photo to me. Dengan memakai kalung cincin hadiah dari gue. IS THIS FOR REAL?
Chat lainnya menyusul datang kemudian.
[Gue lupa bilang.
Gue suka banget sama kalung pemberian elo ini. Seenggaknya muka gembel gue jadi ketolong berkat kecantikannya.
Makasih, Juan.
Elo bikin gue bener-bener bahagia hari ini.
Di tahun-tahun selanjutnya, gue juga mau elo untuk terus nemenin gue. Ngerayain ultah barengan. Ngabisin waktu asik berduaan. Tapinya, jangan sampe elo nanti keburu berpaling dari gue, ya.
Awas aja!]
Disusul sticker wajah si pentol yang ngambek. Setelah itu, dia mengirimkan voice note.
'I love you, Juanda Andromano Saga Fransiskus. Asal elo tau, gue juga nggak mau kehilangan lo. Jadi, please, jangan pernah bosen sama gue, ya.'
Gue tersenyum senang dengan air mata yang menitik tanpa disadari.
Tombol voice note gue tahan, lantas balas mengirimkan pesan via suara pada Ryan, "Dasar bego!"
Ryan sekadar membalas pesan suara itu dengan sticker tertawa.
Berhasil membuat gue sedikit lega, karena gue yakin, kami akan tetap baik-baik aja apa pun yang terjadi.
Cincin di jari manis kanan ini gue kecup. "I'm really glad to have you as my precious one."
_____________TAMAT_____________
HAPPY BIRTHDAY, FERYAN!
TERIMA KASIH BANYAK SUDAH MEMBACA.
Trims banyak aku ucapkan pada para pembaca setia, silent reader serta pembaca yang mulai bosan pada cerita ini. Semuanya. Karena tanpa kalian, cerita ini nggak akan mungkin bisa dibuat sejauh ini. ❤❤❤
Sampai jumpa lagi pada karya-karyaku yang lain. ❤
© d'Rythem24,
Cikarang, 4 Mei 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top