Special Chapter 1: MAKAN SAMYANG
Lapar. Bosan. Ngantuk. Saking bosan dan ngantuknya sampe gue nggak nafsu untuk sekadar makan camilan di kulkas si Juan. Mana orangnya juga tengah fokus mengerjakan tugas yang jelas lagi nggak bisa diganggu.
Nasib. Punya cowok yang lebih perhatian ke tugas sekolah ketimbang gue selaku pacar. Untung tugasnya dalam bentuk kertas. Andaikan itu manusia, udah misuh-misuh sepanjang siang-malem kali gue.
Gue menghela napas. Membetulkan posisi berbaring di sofa sembari lanjut melihat-lihat isi beranda Facebook. Yang masih banyak diisi berita dari kasus viral Reyhand Sinaga. Eh, Reynard, ya? Atau Reynald?
Bodo amat elaaah! Ngapain juga gue sibuk nginget-nginget nama kriminal. Yang kepengin ngerasain enaknya ngeseks, tapi gobloknya malah dengan cara merkosa orang. Amit-amit, deh. Padahal apa susahnya nyari pacar sendiri buat diajakin enak bareng-bareng, kan? Nggak perlu segala sampe makan korban puluhan orang. Merugikan diri sendiri--yang berakhir menjadi tersangka, para korbannya yang jadi trauma dan malu, keluarganya, bahkan negara asalnya sekaligus. Bikin para warga di negara ini nge-bully dia habis-habisan. Dan sialnya, gue sama Juan yang gak tau apa-apa juga ikut jadi korban hinaan.
'Emang dasar semua golongan LGBT tuh bejad', komentar para netizen maha benar.
Bacot! Satu orang salah, yang lainnya dianggap sama rata. Heran gue. Gue mah boro-boro mau merkosa cowok banyak, demen ke satu cowok modelan si Juan aja udah ngebuat kewalahan. Jangankan merkosa, ngalahin sifat Bangsatnya aja susahnya ampun-ampunan.
Hadeuh. Kebanyakan mikir jadi nambah lapar. DIH, KAMPRET. Lagi lapar gini video resep mie pedas justru terputar otomatis dari Facebook lantaran tersambung jaringan WiFi dari rumah pacar gue ini. Ngileeer. Pengin makan mie pedes juga. SAMYANG.
"Juan, gue lapar," adu gue sehati-hati mungkin. Takut nanti kena omel apalagi diusir keluar karena dianggap pengganggu.
Dari meja belajarnya, dia melirik. "Ya udah, sana cari makanan. Gue masih sibuk."
Jawabannya bikin nyengir. "Makan Samyang, skuy!"
Ajakan gue ditanggapi pelototan. "Sayang?"
IDIH, NGACO! "Gue bilang Samyang ya, Bangsat! Budeg lo!" umpat gue lantas mendengkus.
Dia ketawa sebelum nanya, "Itu apaan, sih?"
"Makanan. Mie pedes yang kepengin gue coba sejak lama. Ehehe. Cuma harganya bikin jiwa bokek gue ngamuk gitu. Jadinya nggak kebeli-beli sampe sekarang." Sengaja menyuarakan nada semelas mungkin supaya dikasihani.
"Ya udah, sana elo beli." Dompet diambil dari kantung celana. "Butuh berapa?"
BAHAGIANYA PUNYA COWOK KAYA. MINTA APA AJA LANGSUNG DIKABULKAN DENGAN DOMPET PENUH DUITNYA.
Gue turun dari sofa, melangkah menghampiri si Bangsat sambil berpikir sebentar. "Euh, dua ratus kali, ya?" jawab gue ragu-ragu.
Yah, sekalian beli banyak hitung-hitung buat persediaan.
"Nih." Dua lembar duit merah diambil dari dalam dompet. Sesudahnya, kunci motor miliknya gantian diserahkan. "Hati-hati jalannya. Jangan sampe elo nabrak orang."
Duit dan kunci motornya gue terima. "Nggak bakalanlah, Bangsat. Nanti kita makan sama-sama, ya?"
Dia mengangguk setuju. "Oke. Kebetulan gue juga lapar," balasnya sambil tersenyum.
Duh, gemes. Cium pipinya dululah. Kanan-kiri biar mantul. "Gue pergi dulu!" pamit gue, buru-buru berlari keluar sebelum dia ngeledek atau ngarepin yang lebih. Hehe.
Jarak dari rumah Juan ke minimarket terdekat menghabiskan kurang lebih 10 menit perjalanan menggunakan kendaraan roda dua jika tanpa kemacetan. Setelah memarkirkan motor, gue secepatnya masuk untuk mengambil satu keranjang kuning lantas langsung berjalan ke barisan rak tempat mie diletakkan.
Samyang merah ambil satu, yang varian hijau satu, pink juga satu, jangan lupa warna kuningnya satu.
Selesai dengan Samyang, gue beralih ke barisan rak minuman dingin. Bingung harus memilih antara minuman bersoda ataukah teh-teh dan sebangsanya. Minuman bersoda di kulkas si Bangsat banyak, sih. Sayangnya cuma ada Coca Cola. Teh juga kebanyakan yang less sugar alias gak ada gulanya. Gak suka gue.
Oke. Sprite 2 botol gede, Teh Pucuk 5. Sisanya, gue ngambil Boncabe level 30. Jaga-jaga siapa tau Samyang rasa pedasnya kurang nendang.
Nah, beres. Tinggal bayar.
"Mau sekalian isi pulsanya, Mas?"
Gue menggelengkan kepala dengan mata menyipit memperhatikan letak penjualan kondom. Soalnya di sini memang salah satu tempat membeli kondom langganan gue dan Juan.
Hm, beli kondom lagi nggak, ya? Tapi stok kondom di rumahnya masih ada seingat gue. Nanti aja kali. Lagian kami udah ngeseks juga kemarin sore.
"Totalnya jadi Rp. 182.700, Mas."
Bubar, bubar! Berhenti ngebayangin soal seks sehari aja susah banget perasaan. Mentang-mentang enak. Mendingan gue cepet-cepet bayar, ambil belanjaan, nerima kembalian, terus pulang dan lanjut makan sampe kenyang. Duh. Gak sabar pengin makan Samyang bareng si Bangsat kesayangan.
Namun, bangsatnya gue ternyata nggak doyan Samyang, dong.
"WHAT THE HELL IS THIS! SHIT!" Seusai mengunyah beberapa lembar mie yang warna sausnya merah pekat ini, dia nggak menelannya dan justru dilepehkan ke tisu. "Yo-you stupid!" Lalu minum air sampe habis nyaris setengah botol. Bibirnya gemetar sembari lanjut marah-marah, "Elo mau ngebunuh indra perasa gue apa gimana sih, hah? BUANG!"
Piring Samyang sontak gue jauhkan dari jangkauan tangannya. "Enak aja! Sayang Samyangnya, ya. Mana tadi masaknya lumayan lama. Dan ini tuh sedap, tauk! Mantul," kata gue kemudian mulai menyuapkan sesendok Samyang lagi ke mulut.
Maknyus. Pedes, asin, dengan sensasi membakar bikin panas di bibir dan lidah ini bener-bener demenan gue banget. Juan nih pasti selera pedasnya terlalu rendahan sampe baru ngunyah doang udah nyerah.
Tiba-tiba kepala gue dipukul sampe ngebuat gue keselek. ANJING INI COWOK!
"Bego elo yang mantul! Samyang atau apa pun namanya itu cuma racun pembakar mulut dalam bentuk mie!" omelnya nggak juga puas. Minum lagi, lalu meneruskan, "Kalo sampe nanti elo sakit perut, awas aja. Bakalan gue kutuk semua Samyang kesukaan elo ini. Damn!" Lagi-lagi dia minum air karena bibir tipisnya keliatan masih aja gemetaran.
Mau ngetawain, tapi takut ancamannya langsung dilaksanain. Tahan ajalah sebisanya.
Gue berdeham sehabis minum Sprite. "Dasar payah lo. Omongan aja pedes. Eh, ternyata mulutnya lemah."
Ejekan gue dibalas putaran bola mata. "Mulut gue kuat buat cipokan doang!"
Gara-gara ucapannya, gue keselek lagi. SI BANGSAT SETAN!
"Najis!" maki gue, sesudah itu meminum lebih banyak air. Perih hidung gue, nih.
Dia menghela napas panjang. "Seriously, itu makanan nggak sehat, Ryan. Mendingan elo gak usah habisin. Kasian cacing-cacing di perut elo nanti kepanasan," ujarnya memperingati lalu mengelap mulut dengan tisu.
"Gue udah biasa makan pedas, gak usah khawatir. Andaikan nanti gue kenapa-kenapa, janji gak akan ngerepotin elo, deh," respons gue sambil nyengir.
Juan sekarang mengelapi sisi mulut gue yang pasti blepotan. "Susah emang ngasih tau lo. Terserah. Gue mau bikin makanan sendiri aja. Gak usah maksain andaikan itu mienya gak bisa lo habisin."
YEEE, SEMBARANGAN. Ini tuh mie mahal. Sayang banget kalo nggak dihabisin, Bambang. Tapi iya sih, makin ke sini gue ngerasa bagian dalam mulut gue kayak yang makin kebakar. Ditambah berasa mual lama-kelamaan. Entah karena porsinya yang lumayan banyak, atau emang ini mie beneran beracun seperti apa yang si Bangsat bilang.
Gue meringis. Meletakkan piring wadah Samyang yang menyisakan saosnya doang ke tempat cuci, sehabis itu menaruh Sprite ke meja sembari memegangi perut yang langsung aja perih. Nyeri asli. Berasa diremas-remas dari dalam gue. Bikin makin mual juga kepengin muntah lantaran sensasi panasnya berasa naik sampe ke tenggorokan dan mulut.
Duh. Samyang nggak tau diuntung. Udah dimakan sampe abis, masa kepengin dikeluarin lagi? Atau jangan-jangan mereka berantem sama cacing-cacing di perut gue yang nggak terima lantaran dibuat kepedesan?
"Samyangnya abis atau elo buang?"
Mendengar suara itu, seketika gue menegakkan badan lantas berbalik. "G-gue abisinlah. Ehehehe. Daripada mubazir."
TAHAN. Jangan meringis atau nunjukin gelagat sakit. Nanti yang ada gue kena omel.
Juan menyipitkan mata menatap gue. "Elo kenapa? Wajah lo keringetan banyak banget gitu," tanyanya seraya menaruh piring ke belakang gue.
Buru-buru gue menyeka keringat yang dia maksud. "Mungkin efek kepedesan," respons gue dengan cengiran yang dipaksakan. "Gue, kayaknya mau balik sekarang."
Lengan gue dipegangi ketika baru melangkah. "Tunggu sebentar lagilah. Tugas gue belum kelar." Badan gue ditempelkan ke depan tubuhnya. "Nggak apa-apa, kan? Elo nunggu sebentar lagi?"
MASALAHNYA ISI PERUT GUE JUGA MERONTA-RONTA MINTA DIKELUARIN SEBENTAR LAGI. Gak mau gue kalo-kalo harus muntah di depan si Bangsat. Malu-maluin.
Pelan-pelan, gue mendorongnya menjauh. "G-gak apa. Gue bisa pulang sendiri, kok." Seusai berkata begitu, gue cegukan yang mana ngebuat isi dari bagian perut bagian bawah serasa dibawa naik ke kerongkongan.
PAHIT ANJRIT. Panasnya ngedatangin sesak di dada pula. Kalo begini terus bisa mampus gue. MUAL SIAL. Akhirnya gue berjongkok sambil membekap mulut sebelum sensasi asam dan pahit semakin terasa naik ke tenggorokan.
"Ryan, are you okay?"
Tepat setelah Juan bertanya begitu seraya turut berjongkok, isi dari dalam perut gue menyembur keluar melalui mulut. Mengotori lantai dengan cairan warna kuning kemerahan hingga mengenai ujung kaki si Bangsat yang sempat gue dengar mengumpat tertahan. KAMPRET. Perih anjir hidung dan tenggorokan gue. Perut gue juga masih sakit.
"I TOLD YOU NOT TO EAT THAT SHIT!" sergah Juan heboh sembari sigap berdiri.
Gue batuk-batuk cukup keras sebelum bersuara, "S-sorry." Kemudian mengelap mulut menggunakan ujung lengan. "Badan gue lemes banget sekarang. Gue mau pingsan dulu."
"No. Don't. Jangan berani-berani becanda soal pingsan. Gue gak suka dengernya," katanya yang sehabis itu berjalan entah ke mana. Datang lagi membawa kain lap untuk menutupi muntahan di lantai. "Berdiri. Biar gue bawa elo ke kamar mandi. Elo perlu mandi."
Hadeuh. Mager sumpah. "Badan lemes gini malah disuruh man--"
"Gak usah bawel!" potongnya mengomel sambil mengangkat badan gue di rangkulannya. "Daripada nanti elo sakitnya makin parah. Nurut aja apa kata gue."
"Tapi--
"SHUT UP NOW!"
Oke, oke. Gue shut up, nih. Begitu sampai di kamar mandi juga, gue masih shut up. Tetap shut up sewaktu si Bangsat mulai menelanjangi gue. Berusaha terus shut up saat dia memasukkan gue ke dalam bathtub untuk lanjut memandikan gue menggunakan air yang menyejukkan badan.
GUE INI PACARNYA APA ANAKNYA ELAAAH. BANGSUL AMAT. Tapi gue suka, sih.
"Elo udah agak baikan?"
Gue menganggukkan kepala yang tengah diguyur keran shower. "Iya. Udah enakan. Cuma perut gue masih sakit."
Mualnya emang berkurang. Panas dan nyeri di bawah sana yang gak kunjung sirna.
Keran shower diletakkan, selepas itu Juan mengusap air di muka gue. "Mungkin elo harus BAB. Sini, gue bantu bawa elo ke WC."
"Anjir. Gue bisa jalan sendiri," tolak gue. Jelas nggak mau ngerepotin dia lebih dari ini.
Dia mengangkat tangan. "Oke, oke. Elo coba BAB aja dulu, sementara gue mau nyiapin minuman hangat buat lo. Kalo nanti kenapa-kenapa, tinggal panggil atau teriakan nama gue. Lo ngerti?"
Jiwa over-protektif dia ini emang gak ada matinya.
"Iya, Tuan Juan. Saya mengerti. Jadi Anda tidak perlu khawatir lagi."
.
Samyang gue betul-betul dibuang ke tempat sampah.
Yah. Malang bener nasibnya. Pengin gue pungut lagi, tapi takut sama pelototan si Bangsat yang setara tatapan malaikat maut. Meski gue belum pernah ketemu malaikat maut, sih. Cuma yakin deh seremnya setara macam pacar gue ini.
"Jangan pernah berani-berani elo makan mie itu lagi. Kalo tetep nekat, next time elo sakit perut gara-gara makan beginian lagi, gue gak akan peduli! ELO NGERTI?"
Peringatannya gue tanggapi anggukan sepatuh mungkin. "Iya, iya, Bangsat. Udah napa. Gak usah ngambek lagi. Capek gue ngeliat muka ngambek elo," keluh gue sembari terus menggosoki perut menggunakan minyak kayu putih. Ini si Bangsat juga yang ngasih perintah.
"Siapa yang ngambek?" tanyanya dengan kernyitan heran.
Gue mendelik lantaran gregetan. "Ya, itu. Elo. Dari tadi marah-marah terus."
Dia menghela napas lesu "Gue begini karena gue khawatir sama lo, Bego! Lagian elo tiap dikasih tau orang nggak pernah ngedengerin, sih. Makanya gue kesel," sahutnya yang sesudah itu mengelus-elus rambut gue.
"Iya, iya. Sorry, Juan. Gak bakal gue ulangin lagi, deh. Tapi gak janji." Kalimat terakhir gue ucapkan dengan nada selirih mungkin.
Tiba-tiba pipi gue dicubit sekuat tenaga. "APA LO BILANG?"
Anjrit, nyeri. "Aw, aw, aw! Ng-nggak, nggak. Gue becanda doang. Udah napa!" protes gue sambil berusaha menepis tangannya dari pipi.
Cowok gue ini mendengkus lalu memutar bola mata selepas menjauhkan tangannya dari muka gue. "Terserah elo ajalah."
Bibir gue manyun. "Yah, ngambek lagi."
Padahal seharusnya gue yang ngambek karena tadi dia nyubit pipi gue keras banget. Dasar bangsat!
"Iyalah. Habisnya elo ngeselin dan bego," komentarnya menusuk sampe ke ginjal.
Decakan gue keluar. "Ngeselin dan bego gini juga gue tetep pacar lo. Terima aja, kek."
Akhirnya Juan ketawa. "Bukannya udah jelas, ya? Andai gue nggak nerima, mana mungkin sampe sekarang elo masih gue jadiin pacar, kan?" Kali ini pipi gue dihadiahi ciuman.
Duh, suka. Alhasil gue nyengir selebar-lebarnya dengan pipi memanas akibat rasa jengah kali ini.
Kemudian bibir gue lanjut dikecup lembut. "Meski lo bego dan ngeselin, gue tetep bakalan ngeliat elo sebagai cowok paling ngegemesin di dunia. Seneng?"
ANJIR NORAK. KALIMATNYA ASLI NORAK ABIS. Cuma yah, gue emang seneng, sih. Jadi, yang gue berikan sebagai respons hanyalah anggukkan pelan.
"Sebagai ganti dari makanan yang elo muntahin tadi, gimana kalo gue bikinin elo makanan yang baru? Bilang aja elo kepenginnya apa. Nanti pasti gue masakin."
Mendapati tawaran itu bikin gue refleks memeluk erat tubuhnya saking bahagia. "Meski elo bangsatnya kebangetan, gue juga bakalan tetap ngeliat elo sebagai pacar terbaik di dunia ini, Juan. Jadi, gue kepengin makan ayam bakar, ya!"
Juan terkekeh mendengar ungkapan gue seraya membalas pelukan. "Oke."
Ternyata nggak ada ruginya juga dibikin mabok pedas gara-gara Samyang. Selain karena itu dibeli bukan dengan duit sendiri, di lain sisi gue juga berhasil mendapatkan perhatian yang lebih intens dari si Bangsat kesayangan di sini. Lumayan buat dijadikan pelajaran. Sekarang gue tau rasa Samyang itu kayak apa dan risiko setelah memakannya jadi gimana. Di kesempatan mendatang, jangan sampe gue tergoda lagi oleh mie pedas yang harganya setara 10 bungkus Indomie ini. Pun, harus selalu ingat bahwa semenggoda apa pun makanan di dunia ini, gak ada menu yang lebih enak untuk disantap tanpa efek samping selain masakan Juan.
"Udah dong meluknya. Buruan elo masak sana!"
"Iya, Bawel!"
___SPECIAL CHAPTER 1: END___
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top