52. PERJALANAN
________
"Nenek bakalan baik-baik aja pergi ke Bandung sendirian?"
Gue meremas kain pel sekuat tenaga. "Iya. Lagian kan nenek naik kereta. Gue udah bilang kan rumah gue deket stasiun?" Lalu mulai mengepeli lantai, sementara Juan duduk santai sambil memakan sisa nasi goreng hasil racikannya di sofa.
Tadi malam dia nginap karena setelah nemenin gue pulang, hujan deras malahan turun. Alhasil, kami sekalian mengutarakan niat untuk liburan bersama pada Nenek yang tentunya setuju-setuju aja--malahan seneng sebab Nak Saga kesayangannya bisa ikut ke sana. Rencananya, gue dan si Bangsat mau pergi ke Bandungnya naik motor aja supaya bisa sambil jalan-jalan. Sementara nenek memutuskan untuk berangkat duluan. Barusan gue nganterin dia ke stasiun Pasar Minggu, sepulangnya langsung beres-beres kayak sekarang.
"Besok kita bakalan berangkat, ngapain elo bersih-bersih rumah segala?" tanyanya lagi sembari bantu menggeser ember berisi air saat gue hendak mengepel bagian bawah meja.
"Udah kebiasaan, Juan. Cowok yang bisa ngebayar pembantu kayak lo mana ngerti," jawab gue yang setelah itu memasukkan lagi kain pel ke ember. Menghela napas lelah, kemudian membuka mulut begitu si Bangsat memberikan suapan terakhir nasi goreng untuk gue. "Nasi gorengnya abis, ya?" Piringnya yang udah licin gue lirik.
Dia mendecak. "Kalo masih lapar, seharusnya elo bilang. Jadi, nanti gue sisain buat lo yang banyak," ujarnya sembari menaruh piring ke meja. "Mendingan, sekarang kita mandi, dandan, terus cari makan di luar!"
Gue mendengkus. "Sembarangan aja lo. Gue mesti nyiapin barang-barang yang bakal dibawa ke Bandung besok, ya," sahut gue lantas lanjut mengepel.
"Kan kita berangkatnya agak siangan. Santai aja, kali."
Duh, kalo disantai-santai pas udah siap berangkat malah keteteran. "Keburu mager nantinya, Bangsat! Mending elo aja yang mandi duluan sana."
Juan pun berdiri. "Oke, oke!"
"Eits! Bawa piringnya sekalian ke dapur!" omel gue melihatnya yang main pergi gitu aja.
Dia berbalik lagi sambil mendecak. "Bawel lo!" balasnya setelah menuruti titah gue.
Gue sekadar terkekeh sambil menggeleng-gelengkan kepala masygul. Dasar dia tuh.
"Bego, handuk elo bau apek! Gak ada yang masih wangi?"
Duh, andai deket. Udah gue getok kepalanya pakai gagang pel ini.
"Banyak bacot lo! Mau gue siram pakai air bekas ngepel, hah?"
Juan cuma ketawa mendengar respons nyolot gue. Tuh, kan. Selalu aja ngeselin.
Kurang lebih setengah jam kemudian, dia muncul dengan penampilan yang udah cakep dan tampak segar di saat gue sedang mencuci piring.
"Yes. Besok elo datang aja ke rumah buat ngambil Yellow. Eum, for about ... three days? I'm going home when Christmas come of course. Yeah. Well, if your Febri don't mind, just ask him. Okay, okay. Good luck for you too. Thanks. Bye. Ah, wait. Satu lagi. Jangan lupa makanannya nanti elo bawa satu bungkus sekalian yang masih baru. Iya. Bye again." Selepas memutus sambungan telepon, Juan langsung aja mencium gue. "Urusan Yellow beres. Vano sama Setya yang bakalan ngejagain dia sementara."
Gue turut lega mendengarnya. Namun, ada sesuatu yang bikin gue nggak nyaman ketika memperhatikan gaya berpakaiannya ini. Jaket miliknya yang diberikan ke gue sepulangnya gue dari rumah sakit kapan hari itu tengah dikenakan, sedangkan di bawahnya dia cuma memakai salah satu boxer gue yang mana agak ngetat membalut pahanya.
"Nggak ada celana lain yang ngepas buat elo pake apa?" Keran air gue matikan sesudah meletakkan piring kotor terakhir.
Dia mengangguk. "Ada, sih. Cuma, gue lagi kepengin pakai beginian. Supaya gak gerah." HPnya dimasukkan ke kantung jaket.
"Terus, ngapain dong elo pake jaket segala kalo gerah?" Gak paham gue sama jalan pikiran dia jadinya. Gregetin!
"Gue males minjem baju lo."
Hm. Hawanya siap-siap dibikin kesel lagi nih gue.
"Kenapa? Jelek? Kan baju pemberian elo sama ayah lo juga banyak, noh."
Juan terkikik. "Bukan soal itu. Tapi, gue nanti malah sange begitu nyium baunya."
Nah, kan!
"Dasar anjing!" Gue menyipratkan tangan basah gue ke arahnya.
Dia ketawa, sesudah itu memeluk gue dari belakang. "Makanya, sana elo mandi. Terus, nanti kita ... ngeseks," bisikannya sukses menjalarkan sensasi panas ke sekujur badan.
Hadeuh. Jelas ketularan sange gue. Untungnya sayang dan sama-sama mupeng. Jadinya diajakin ngelakuin kemesuman pun gak ada alasan yang bisa gue gunain untuk menolak. Ditambah rumah lagi sepi juga. Kesempatan bagus gak boleh disia-siakan. Ehehehe.
Jangan ditiru di rumah kalian, ya.
____
"Barang bawaan elo mana?" tanya gue, mendelik kaget mendapati Juan yang datang menjemput tanpa terlihat membawa apa-apa. Dia sekadar menggunakan helm dengan setelan jaket parka hitam, jeans hitam yang sedikit robek lututnya, sarung tangan putih, sepatu santai warna polos serta satu helm lainnya untuk gue pakai. UDAH. "Elo gak bawa baju ganti?"
Secara santai dia menggeleng sesudah melepaskan helm. "Gampang. Bisa beli di jalan. Lagian di Bandung gue nggak akan lama juga, kan."
"Tas?"
"Gak bawa."
"HP, dompet, charger?"
Matanya melirik ke bawah. "HP di kantung. Yang lainnya ada di jok motor bareng jas hujan, kotak P3K sama camilan."
Gue mengembuskan napas pasrah. Setelahnya mulai melangkah menghampiri Juan dan motor Yamaha Aerox warna kuning kehitamannya yang masih terbilang baru ini. "Elo bawa camilan apaan?" Lalu mengencangkan tali tas gendong yang gue bawa.
"Kue cokelat kering. Minta resep ke kak Armet. Soalnya yang gue tau elo suka." Dia tersenyum.
Duh. Meleleh hati gue mendengar jawabannya. "Udah minta izin sama Om, kan?"
Si Bangsat mengangguk dan mengernyit. "Oh, iya. Gue lupa," ujarnya sambil mengambil HP dari kantung bawah jaket sebelah kiri. "Daddy nyuruh gue ngasih nomornya buat elo. Jadi, andaikan nanti gue berulah atau ngelakuin hal yang sekiranya bikin kewalahan, elo bisa langsung ngadu ke dia." Seusai menjelaskan hal itu sembari mengklak-klik HPnya, HP di kantung celana gue terdengar berbunyi. "Itu nomor Daddy. Simpan baik-baik. Jangan sampe ada orang lain yang tau."
Anggukan paham gue berikan sebanyak empat kali. "Bensin udah diisi?"
Gantian, dia mengangguk. "Rumah? Udah dikunci?"
Gue mengangguk lagi.
"Ya udah. Tunggu apa lagi? Ayo, berangkat!" katanya seraya memberikan helm satunya kepada gue.
Helm mulai gue pakai, sementara Juan kini tampak tengah berdoa sambil memegangi kalung salib kesayangannya. Duh, bener-bener sosok panutan banget pacar gue ini.
Pijakan kaki motor diturunkan, kemudian gue mulai naik ke boncengan bersamaan dengan si Bangsat yang tengah mengenakan helmnya lagi. "Let's go!" sorak gue penuh antusiasme lalu meletakkan masing-masing tangan ke sisi pinggang cowok di depan gue.
"Nggak meluk sekalian?"
"Nantilah, Bangsat. Kalo udah di jalan gede."
"Okay. Let's go!"
Perjalanan menuju ke Bandung dengan menggunakan motor memakan waktu kurang lebih 5 jam--sejauh yang gue ketahui. Ini merupakan perjalanan jauh pertama kami dengan menaiki kendaraan beroda dua. Sama-sama belum punya pengalaman apa-apa sebelumnya, tetapi dinekatin aja. Juan bilang, kapan lagi kami bisa berkendara sekalian jalan-jalan jauh berdua, kan?
Bermodal daya ingat hasil panduan Google maps juga petunjuk dari orang lain, si Bangsat berusaha mati-matian melajukan motor secara hati-hati tanpa bikin kami berdua sampai kesasar. Dan mengingat dia pintar, gue pun percaya bahwa kami akan baik-baik aja serta bisa selamat sampai tujuan tanpa ada halangan apa-apa.
Setibanya di jalan TB. Simatupang, gue mulai memeluk perut Juan lantaran dia juga langsung menambahkan kecepatan. Setelah menempuh satu setengah jam lebih perjalanan, gue memutuskan untuk melaksanakan sholat Dzuhur dulu di masjid yang ada di sekitaran daerah Cileungsi sementara Juan tetap menunggu di motor.
Hitung-hitung sekalian berdoa meminta keselamatan dengan lebih khusyuk.
Selesai sholat, gue menghampiri si Bangsat yang udah aja memakai masker mulut berwarna hitam. Menoleh menyadari kedatangan gue, lantas maskernya diturunkan ke bawah dagu.
"Tadi gue diajakin salat sama bapak-bapak."
Mendengar cerita itu, jelas aja gue agak tercekat. "Terus, elo jawab apa?"
Dia nyengir. "Gue minta maaf aja sambil nunjukin kalung salib gue. Terus bilang, cuma lagi nungguin pacar salat di dalam." Seusai menjawab, dia menyodorkan plastik putih ke arah gue beserta sebotol air mineral. "Makan ini buat pengganjal perut. Gue tadi udah kenyang duluan."
Pemberiannya ini gue terima. "Mau lanjut jalan? Atau mau istirahat ke tempat lain lagi?" tanya gue lantas mulai membuka botol air untuk diminum.
"Langsung jalan aja." Juan memasangkan kembali helmnya. "Lebih cepet sampai lebih bagus. Istirahatnya kalo nanti kita udah deket atau mulai masuk daerah Bandung aja."
Gue ikut apa kata yang punya motor aja, deh.
Kue dan minuman gue masukan ke tas. "Nggak mau gantian nyetir? Gue masih sopir elo, loh." Kayak tadi malam juga kan gue yang nyetir ketika pulang dari rumahnya.
Si Bangsat menggeleng. "No need. Elo ngebonceng aja. Kalo capek atau ngantuk, tinggal bilang," balasnya yang setelah itu memakai lagi maskernya. "Naik!"
Begitu duduk di boncengan, gue mengenakan helm kembali. Untuk tasnya, kali ini gue taruh di tengah-tengah. "Udah!"
Juan mengebut bersama gue yang berpegangan menggunakan satu tangan ke pinggangnya, sedangkan tangan gue yang lain sibuk menyuap kue kering ke mulut. Belum seenak buatan kak Armetta, tapi ini juga udah mantap. Kurang setengah jam kemudian setelah berhasil melewati kemacetan, kami berhenti di pom bensin di sekitaran daerah Jonggol untuk buang air dan istirahat sebentar sekalian mengisi bahan bakar, lalu kembali melanjutkan perjalanan.
Jalur panjang yang kami lalui selanjutnya banyak disuguhi pemandangan dari daerah perkotaan yang adem dan juga asri. Kata si Bangsat sih, ini daerah Subang. Nama wilayahnya apa, dia lupa. Terus mengebut nyaris tanpa hambatan sampai tahu-tahu total waktu perjalanan yang kami tempuh sudah lebih dari 4 jam. Udah lewat setengah perjalanan, dong?
Mendapati banyak sekali rumah makan yang tertangkap mata selama kami melintas bikin jiwa rakus gue lama-lama nggak bisa nahan jeritan lagi. Rumah makan padang, sate, soto, seblak, ayam, saung makan, dan lain-lain. Terus, ikan bakar. Ah, pengin.
"JUAN, GUE MAU MAKAN IKAN BAKAR!"
Ikan bakar pun tersaji di depan mata nggak pake lama. Euh, mungkin kira-kira nyaris 20 menit lantaran antre?
Gue dan si Bangsat memilih tempat yang sedikit berbeda dari yang lain. Duduk di salah satu saung yang berada di dekat sungai kecil rumah makan ini. Bener-bener bikin nyaman dan betah seolah berhasil menyedot lelah yang gue rasakan, terutama di bagian pantat. Mana suasananya sejuk. Di sekitar sini pemandangannya enak dilihat.
Juan menaruh ikan bakar terakhir yang tersisa ke piring gue, sementara dia sendiri menikmati sayur sop tanpa banyak-banyak memakan nasi. Tersenyum sambil mengelapi mulut gue yang pasti blepotan sebab gue makan dengan terlalu bersemangat.
Piring kosong. Bakul kosong. Gelas kosong. Sate habis. Ikan tinggal tulang. Sop nggak bersisa lagi. Dan sambal pun bersih. Alhamdulillah, kenyang.
"Mau nambah?"
Gue secepatnya menggelengkan kepala. "Nggak. Makannya nanti lagi aja di rumah. Gue udah minta Nenek buat masakin gue jengkol di sana."
Mendengar penuturan gue, si Bangsat mengernyit gak suka. "Ew. Bakalan bau, dong."
Yah, jelas. "Elo nanti ikut makan jugalah. Supaya mulut kita bau sama-sama," saran gue usil yang terang aja ngebuat jurus putaran bola matanya keluar.
"Gak tertarik." Lalu mengambil HP. "Let's take a picture together!" ajaknya yang tahu-tahu membuka kamera depan.
Sigap aja gue beringsut menjauh. "No! Apalagi muka gue lagi dekil begini," tolak gue sembari mendelik padanya.
Masker yang dia pakai mendadak disodorkan ke gue. "Nih, kalo gitu elo pake masker aja. Gak ada masalah, kan?"
Ragu-ragu, gue menerimanya. "Nggak apa-apa?"
"Nggak apa-apa. Yang penting kita bisa foto berdua," balasnya disertai senyuman cakep.
HERAN DEH SEHARIAN NAIK MOTOR DAN KENA POLUSI KOK MUKANYA MASIH AJA KELIATAN CAKEP BEGITU, YA AMPUN!
"Oke, deh." Masker ini sekarang menutupi mulut dan hidung gue. "Nih, udah."
Juan merangkul gue lantas mengarahkan kamera agak ke atas, mencari-cari sudut bagus yang pas. Dia tersenyum kecil, sementara gue tersenyum di balik masker sembari membuat tanda V dengan tangan kanan. Setelah itu foto kami berdua dijepret sebanyak tiga kali.
"Nah, it's good," ucap si Bangsat dengan binar ceria yang kentara ketika memandangi hasil foto di HPnya.
"Lebay lo. Cuma foto gitu juga," komentar gue jengah sendiri selepas mencopot masker.
Dia mencubit pipi gue gemas. "Gue selalu mau foto berdua sama elo, Bego. Tapi elonya masih aja susah. Kita ini pacaran udah jalan dua bulan, loh. Makanya, gue seneng meski punya foto begini doang."
Penjelasan itu bikin gue nggak tau harus berkata apa. Tulang ikan di deket kaki gue pun sama.
Lalu terkekeh. "But, it's okay. Gue nggak akan maksa jika lo nggak suka. By the way, nggak apa-apa kalo gue upload foto kita ini ke Instagram, kan?"
Mau gak mau, gue mengangguk. "Iya. Asal jangan elo kasih tulisan yang macam-macam."
Cowok gue mengangguk paham sesudah itu mulai mengotak-atik HPnya secara cepat. "Kenapa elo gak coba bikin Instagram?"
"Boros kuota," jawab gue nggak perlu mikir dulu.
Pakai Facebook dan YouTube aja menguras isi kuota gue dengan drastis. Apalagi jika ditambah Instagram. Mana harga paketannya mahal. Gak kuat diri ini, Bambang.
"Ya, biar gue yang ngisiinlah."
Waduh, diskakmat.
Gue meringis. "Males mainnya. Gak tau juga mau follow siapa selain elo atau Setya. Punya Facebook pun jarang gue urusin kecuali buat nyari berita terbaru tentang One Piece," ujar gue seraya memainkan masker milik si Bangsat.
Di samping gue dia sekadar menggumam menanggapi, setelahnya meregangkan badan. "Udah? Mau lanjut lagi? Sebentar lagi kayaknya kita bakalan sampe," tanyanya, melirik jam di pergelangan tangan dengan mata menyipit. "Mau beli oleh-oleh buat mamah lo? Sekalian belanja baju ganti gue. Lokasinya nanti di dekat daerah Cimahi."
Seperti selalu, gue menuruti apa pun maunya. "Iya. Elo yang punya duit. Gue ikut apa kata lo aja."
"Good. Mamah elo sukanya apa?"
.
Cat rumah ini sekarang berwarna biru telur asin.
Sewaktu gue memberitahu Juan bahwa dia tinggal mencari rumah minimalis berlantai dua dengan cat putih yang ada pohon mangga juga jambu air di depannya, gak pake lama dia menyahut bahwa rumah yang begitu adanya yang bercat biru. Rumah di depan kami ini. Terbaik emang cowok gue, nih.
"Beneran ini rumah elo?" tanyanya setelah melepaskan helm, sarung tangan dan masker.
Sementara gue kebagian membawa dua tas serta tiga buah plastik. Tas baru ini berisi barang belanjaan si Bangsat, sedangkan plastik-plastik ini merupakan oleh-oleh untuk mamah dan juga nenek. Katanya sih, modal buat cari muka.
Bodo amatlah dia mau ngomong apa. Udah capek gue ngeladeninnya.
Juan bantu menarik lepas helm gue, lalu menaruhnya di atas spion motor satunya. Kemudian mulai melangkah mendekati pintu yang udah terbuka, tetapi penghuninya kayak yang nggak ada. Pada ke mana orang-orang di rumah?
"Assalamu'alaikum! Mah, Nek! Fery udah sampe!" seru gue seraya mencopot sepatu. "Ayo, elo masuk aja!" Gue melangkah ke dalam, setelahnya meletakkan segala barang bawaan ke sofa panjang.
Nggak ada yang berubah dari bagian utama rumah ini kecuali sofa kecil dan sedangnya yang kini bertukar posisi. Oh, lampunya juga sekarang jadi lebih terang. Brrr. Baru jam segini, tapi hawa dinginnya udah kerasa. Beda banget dari Jakarta. Yang paling khas, setiap beberapa menit sekali suara kereta yang lewat pasti kedengeran sampai kemari. Salah satu bebunyian yang gue sukai setiap pulang.
Suara langkah kaki beserta bisik-bisik samar terdengar dari arah dapur. Nggak lama kemudian, sosok mamah yang terakhir kali gue temui pada hari Idul Adha menampakkan diri. Kedua matanya yang bulat tampak berseri-seri.
"Aduh, beneran atuh, Mah. Fery ngebawa temen bulenya kemari!" serunya heboh, asli malu-maluin.
Deuh, anjir si Mamah. Kayak gak pernah ngeliat bule seumur-umur. Norak.
Ketika Mamah berjalan ke sini, refleks aja gue menyodorkan tangan sebab berniat memberi salam. Sayangnya, Mamah justru melewati gue gitu aja untuk melangkah menghampiri Juan yang ada di ambang pintu.
"Ini ya, yang namanya Saga? Aduduh, gantengnya. Apa kabar? Udah makan? Tante sama Nenek udah masak banyak, loh. Ayo, cepetan ke dapur."
Di rumah sendiri, tetapi diperlakukan bagai orang asing. Wajar nggak sih kalo gue sekarang ngerasa sakit hati?
Andaikan perjalanan dari Jakarta ke Kiaracondong ini nggak memakan waktu lama, gue beneran kepengin balik lagi secepatnya. Karena seperti masa-masa sebelumnya, perasaan tentang gue yang gak pernah benar-benar dibutuhkan belum kunjung sirna.
Gue ... benci hidup gue sendiri.
_______
MAAF. Detil suasana kota yang Juanda & Feryan lewati nggak bisa dijabarkan secara baik lantaran aku nggak pernah bepergian ke mana-mana. 😭😭😭
Bolak-balik ke mbah Google sampe bikin ludes kuota juga nggak ngehasilin apa-apa. Nanya ke temen, slow respons. Hasilnya, ya udah. Aku publikasinya sejadinya aja. Huhuhu. Sorry.
Tetap, aku harap kalian semua menikmati part ini, ya.
Sampai jumpa di chapter selanjutnya! ❤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top