51. PERMINTAAN

"ARRGHHHHH!"

Gue menjerit penuh emosi yang hasilnya bikin seisi kelas kaget, lalu lanjut membanting rapor ke meja selepas itu mengacak-acak rambut secara frustrasi.

Kacaulah! Gagal! GAGAL TOTAL SIAL!

Cece ragu-ragu mendekati gue. "Fer, elo kesurupan apaan?"

"Dari rapornya keluar jin kali." Komentar Herman gue balas pelototan, yang seketika ngebuat dia mundur teratur.

"Mungkin dia masuk peringkat terakhir."

"Ya, gak heran, sih."

"Feryan gitu, loh."

"Gak apa, Fer. Semester depan elo bisa nyoba lagi. Siapa tau beruntung."

DIKIRA GUE LAGI NGEGOSOK KUPON ALE-ALE APA!

Kawan-kawan sekelas gue minta diceburin ke septic tank semua, nih. Gak peka emang mereka!

Gue mendengkus. "Bacot elo semua! GUE GALAU KARENA TERNYATA CUMA BISA MASUK PERINGKAT 14 PADAHAL TARGET GUE ITU SUPAYA BISA MASUK 10 BESAR!"

Seperkian detik, suasana kelas mendadak hening. Hingga suara terkesiap dan memekik saling bersahutan menanggapi pernyataan gue.

"Hah? Gila amat! Itu pasti kesalahan teknis!"

"Siapa di sini yang dapat posisi 14 asli? Angkat tangan, dong!"

"Rapor elo ketuker sama yang lain kali, Fer."

"Serius elo dapat ranking 14?"

Si Setya yang juga ikut-ikutan jadi nyebelin gue kasih tatapan malas. "Cek aja sendiri!" titah gue kelewat dongkol seraya duduk lagi ke kursi.

Dahlah. Males gue. Habis hasilnya ampas. Sengaja nunggu buka rapor begitu Pak Ghandi keluar kelas biar surprise jika memang isinya sesuai apa yang gue harapin. Eh, ternyata keberuntungan masih belum berpihak pada gue. Lagu BCL yang judulnya Kecewa pun langsung muter di dalam kepala.

"Wah. Beneran ternyata! Feryan dapat ranking 14!"

"WAAAH!" seru anak-anak rese di sini yang kampretnya lebih mempercayai omongan Setya.

Salah gue apa, sih? Feryan lelah, Nek.

"Hebat juga lo, Fer. Selamat, ya!" Benjo tahu-tahu muncul di samping gue.

Namun, ucapannya sama sekali nggak gue ladeni. Pujian kampret yang lainnya juga berusaha nggak gue hiraukan. Lantaran sekarang fokus gue berada di tempat lain.

ANJIR! Mulai besok gue bakalan jadi supir pribadi si Bangsat, dong. Padahal niatnya kan gue kepengin liburan. Gimana nih nasib gue sekarang, Bambang?

"Set, elo dapat peringkat berapa?" tanya gue sembari merebut rapor dari tangan Setya untuk dimasukkan ke dalam tas sebelum jadi bahan kekepoan murid-murid sableng di sini.

Bibir tebal si Setya ngenyir lebar. "Lima dikurangi empat berapa?"

Jawaban itu sama sekali nggak bikin kaget sebab gue tau dia adalah salah satu murid paling pintar di golongan jurusan IPS--salah satu alasan kenapa gue ngejadiin dia teman sebangku juga. Eheu. Tetapi, jauh di dasar hati gue jelas ngerasa iri. Andaikan bisa tukar peringkat sama dia, saat ini gue pasti udah bisa minta apa aja ke Juan Saga. APA AJA.

Musnahlah seluruh ingin ini, ingin itu, banyak sekali punya gue.

"Selamat ya, Set," ucap gue tulus kepada sohib terbaik gue ini, sesudah itu menatap keluar jendela.

Coba siang bolong gini bintang jatuh bisa keliatan, gue nanti bakalan minta supaya diberi sedikit keajaiban gitu, kan. Sedikit. Ngarep angka 4 di belakang 1 itu mampu diubah menjadi 0 doang. Heheh.

Ngimpi di siang bolong emang jauh lebih mantul ketimbang susah-susah nunggu bintang jatuh. Haaaah.

.

BANGSAT SIALAN! Apa-apaan sama isi rapor si Juan ini? Masa nilai paling kecil yang dia dapat 89! Nggak ada nilai 70an sama sekali, anjir. Sisa nilai lain dipenuhi angka 90an lebih dari atas sampe bawah. Nggak adil. Gue kepengin tukeran otak sama dia!

Balik lagi ke bagian depan buat ngecek foto rapornya. GAK ADIL LAGI! KENAPA MUKA DI RAPOR DIA TETEP KELIATAN GANTENG COBA! KAMPRET! Mau cium! Gemes gue!

"Elo gak kepengin bilang apa-apa?"

Gue menoleh ke arah Juan yang sedari tadi sedang asik memakan buah anggur. "Selamat karena elo berhasil dapat peringkat pertama, Juan."

Kalimat gue malah bikin dia nyaris keselek. "Bukan itu, Bego. Rapor elo sendiri gimana? Begitu kita sampe sini elo main ngerebut isi tas gue gitu aja buat ngecek rapor. Nah, punya elo mana?" Tangan kanan dia menadah di depan gue.

Yeee, bangsul. Pake ditagih segala. Nggak tau apa gue males banget buat nunjukin ke dia hasilnya. Namun, pada akhirnya gue tetap mengeluarkan rapor dari tas yang langsung diserahkan ke si Bangsat dengan jantung berdebar-debar. Takut bakalan diketawain, diledekin, dibabuin. Semua-muanya.

Juan mulai membolak-balik halaman rapor gue. Memeriksa bagian awal, membaca nama kedua orang tua gue, bergumam entah apa sewaktu melihat foto buluk gue sembari tersenyum, sesudah itu matanya menyipit meneliti nilai demi nilai yang gue dapat sejak awal masuk SMA.

Udah persis guru dan wali gue dia, nih. Padahal papah gue aja gak pernah setertarik itu untuk mengecek isi rapor putra tunggalnya ini.

"Hm, 14, ya," komentarnya lirih dan santai.

Gue menghela napas lesu. "Iya. Gue, gagal masuk 10 besar. Jadi, mulai hari ini gue siap jadi su--"

"Gue bangga sama lo!" Dia memotong ucapan gue gitu aja. Menutup rapor, selepasnya mengacak-acak rambut gue lembut. "You're great, Ryan. Congrats! Untuk sekarang, elo emang belum bisa masuk peringkat 10 besar. Tapi, elo perlu tau bahwa hasil yang elo dapat ini juga udah cukup bagus. So, you should be proud and happy. Terus, di semester berikutnya, elo mesti berusaha supaya bisa dapat nilai yang lebih baik lagi. Gue tau elo pasti bisa! I'll cheer on you! Okay?"

Perasaan gue seolah dibawa melambung seusai mendengar seluruh perkataan Juan. Mendatangkan kelegaan bercampur senang dan terharu, yang tiba-tiba ngebuat kedua sudut mata gue panas. Alhasil, gue pun menangis sambil terkekeh sebab bahagia. Menerima pelukan dari si Bangsat sembari terisak-isak tertahan.

"M-makasih, Juan. Makasih."

Nggak gue sangka dia bakalan muji gue dengan cara kayak gini. Nggak tau sama sekali bahwa kalimat berisi dukungan dan kepercayaan yang diberikannya sungguh berefek luar biasa. Soalnya selama gue hidup, belum pernah ada orang yang mengutarakan hal sedemikian berkesan pada gue. Paling mentok ngasih semangat dan selamat, terus udah. Tapi Juan beda. Dia seakan-akan tau hal apa yang gue butuhkan saat ini yang sekiranya mampu ngebikin gue termotivasi.

"Sssh. Don't cry." Pipi gue yang basah diusap pelan. "You deserve it. Toh, hasil nggak akan mengkhianati usaha. Dan gue sangat tau, elo udah berusaha keras selama 2 minggu belakangan ini. That's why, I know you can do it," responsnya disertai senyuman lebar yang cakep parah.

Gue menyusut hidung, menahan ingus biar nggak ikut keluar. "You can do it apaan! Gue gagal masuk 10 besar, Bangsat!" sembur gue agak parau.

Alis tebalnya mengerut. "Terus, kenapa? Masuk 14 besar aja udah termasuk kemajuan, kok. Gak usah ngarep yang muluk-muluk."

Duh, greget sampe rasanya mau gigit bibir dia gue sekarang. "Tapi taruhan kita itu syaratnya gue harus masuk 10 besar! Elo lupa, ya?"

Juan malah terkekeh. "That's just a bait, Stupid." Bibir gue lalu dikecup. "Itu gue gunain sekadar sebagai umpan agar elo bisa punya hal yang dijadikan tujuan. Dengan adanya tujuan, jelas itu akan ngebuat siapa pun bersemangat dan berusaha semampu yang mereka dapat lakukan. Itulah kenapa gue ngajakin elo taruhan."

Mendengar penjelasannya, gue antara senang dan sedih. "J-jadi, maksud elo ... isi taruhan itu cuma bohongan?"

"No way. Itu serius, kok."

Duh. Tetep ada nggak enaknya rupanya.

"Yah, berarti gue beneran bakalan jadi sopir pribadi elo, dong."

Dia nyengir. "Well, yes. Tapi sebelum itu, elo boleh kok minta apa pun ke gue sebagai hadiah karena berhasil dapat ranking 14."

"Hah?" Mata gue melotot, asli kaget.

"Hm? Apa?"

Bentar, ini dia serius, kan? "G-gue, masih boleh minta apa pun meski nggak masuk 10 besar?"

Bahunya dinaikkan. "Kenapa nggak?"

"Elo serius, Juan?"

Bukannya langsung menjawab, bibir gue justru dikasih kecupan lagi. "Iya, Sayang."

Jawaban dari si Bangsat bikin gue bahagia bukan main, dong. Saking senengnya, gue langsung aja menubruk badan dia untuk mengajaknya bertindihan di lantai kamar gue ini. "Aaaakh! Gue sayang banget sama lo!"

Bagian belakang kepala gue dibelai-belai. "Gue juga sayang banget sama lo. Makanya, elo nggak usah sungkan. Sebutin aja apa pun yang elo mau."

Yang gue mau, ya? Gue sih ingin ini, ingin itu, banyak sekali. Mulai dari mana enaknya?

Gue menatapnya. "Apa pun, ya? Berapa banyak, nih?"

Si Bangsat tersenyum. "Sebanyak-banyaknya juga gak masalah. Terserah elo aja. Asalkan jangan kelewatan. Karena gue nggak akan nurutin permintaan lo andaikan elo kepengin dibikinin Going Merry."

Aduh. Udah nggak kuat lagi. Gak tahan lagi. Cakep dan baiknya pacar gue ini betul-betul terbaik. Mau disodok jadinya.

"Kita ngeseks dulu, yuk?" ajak gue sambil cengengesan dengan sok malu-malu.

Mendengar hal itu, dia pun ketawa heboh. "Itu permintaan pertama elo?"

Hidung mancungnya gue cium. "Iya. Elo sekarang lagi baik banget sampe bikin gue sange," aku gue, meringis lantaran di bawah sana Minnions langsung aja bangun.

Dia membalikkan posisi seraya mencium bibir gue. "Okay then. Tapi, kita mesti mandi dulu. Dan emangnya elo udah bersih-bersih? Kondom juga nggak ada stok di sini."

Iya juga. Yah, Banana girang gue menciut lagi deh di dalam sempak.

Gue mendecak. "Ya udah, deh. Sebagai gantinya, gue mau ngehisapin Minnions elo aja," tawar gue sembari mulai menyentuh bagian tengah celananya.

Juan melirik ke sana. "Oke."

Pikiran nakal gue lantas memunculkan satu keinginan lain yang udah sejak lama bikin penasaran.

"Tapi, gue sekalian kepengin nyobain rasa pejuh elo. Gimana?"

Cowok gue ini tercekat, sampai kemudian matanya menyipit genit. "Ryan, gue makin suka sama elo, deh. Ayo, sini. Hisapin cepet."

Permintaan awal gue sama sekali nggak sulit untuk didapatkan. Soalnya meski bikin rahang pegal, ngehisapin Minnions sampe muncrat ternyata cukup memuaskan. Puas karena gue bisa mengintip ekspresi keenakan si Bangsat saat kontolnya sedang dihisap, sekaligus sukses menelan setengah dari muntahan spermanya yang memiliki rasa manis. Mantul!

Gue meletakkan botol air dingin ke lantai, setelah itu melirik si Bangsat yang tengah mengumpulkan tisu.

"Nah, sekarang. Gantian!" kata gue sembari mulai melepaskan celana seragam.

"Apa?" Dia melirik sesudah memasukkan tisu ke plastik sampah.

Gue berkacak pinggang. "Giliran elo yang ngehisapin Banana guelah, Bangsat!"

Kedua mata sipitnya mendelik shock. "WHAT?"

.

Fakta lain yang gue ketahui perihal Juanda Andromano, ternyata dia lebih suka ngejilatin pantat daripada ngisapin kontol.

Sehabis gue muncrat di dalam mulutnya, Juan memuntahkan cairan si Banana sambil marah-marah. Katanya, kenapa gue muncrat gak pake bilang-bilang.

"Kan emang itu tujuannya. Supaya kita satu sama," sahut gue seraya mengenakan sempak lagi.

Putaran bola mata ngeselin muncul. "Gue nggak ada kepengin buat nyicipin sperma lo ya, Bego!" Dia meneguk sisa air di botol.

"Padahal elo doyan jilatin bool gue."

Gumaman gue dibalas tatapan sangenya. "Karena emang itu lebih memuaskan. Andaikan elo udah mandi, beneran mau gue jilatin sampe melar itu lubang."

Hidih, dasar otak selangkangan. Bodo amatlah. Gak akan bisa paham gue sama jalan pikirannya.

Sekarang gue dan Juan tengah berada di kediamannya untuk mengajak Yellow jalan-jalan sore di halaman rumah. Jelas ini juga permintaan gue sebab biasanya si Bangsat kan mager dibawa jalan kaki. Melihat kucing oren kesayangan kami bergulingan di atas rumput, mengendus-endus bunga dan dedaunan, sampai menggesek-gesekkan badan ke kaki gue yang tengah menggelitiki lehernya.

Suara gemuruh yang berasal dari langit mendung bikin gue dan si Bangsat yang sedang duduk di rerumputan kompak mendongak. "Looks like it's gonna rain. Mau masuk?" Dia menatap gue.

"Meow!" Yellow yang malah menyahuti pertanyaan itu seraya melompat ke atas pangkuan gue, setelahnya meringkuk manja.

Gue ketawa. "Tuh, liat. Yellow masih betah di sini," ujar gue, berusaha menangkap ekor panjangnya yang gak mau diam.

"Kalo nanti kita kehujanan, terus bikin elo kedinginan dan sakit, awas aja!"

Hadeuh. Jiwa over-protektif Tuan Juan Saga udah nongol, nih. Mendingan cari aman.

Yellow gue gendong, lantas berdiri. "Iya, iya. Ayo, deh. Kita masuk."

Namun, belum juga sempat melangkah, Juan malah menahan pergelangan tangan gue. "Elo kapan berangkat ke Bandung?" tanyanya lirih.

Hm. Gue pikir dia nggak peduli soal rencana liburan gue sebab beberapa hari lalu saat gue curhat, ini cowok Bangsat cuma manggut-manggut dan bilang, 'Ya udah. Selamat menikmati liburan elo ke Bandung.'

"Lusa."

"How long?" tanyanya lagi setelah mendengar jawaban gue.

Bentar, berapa lama ya kira-kira? "Mungkin, satu minggu lebih. Sebetahnya gue aja, sih."

Sebenarnya mamah nyuruh gue tinggal di Bandung sepanjang masa liburan. Sayangnya, gue jarang-jarang bisa kerasan di sana sampai nyaris dua minggu penuh.

"Sama Nenek?"

Tangannya gue balik pegangi lantas digoyangkan. "Ya iyalah, Bangsat. Sama siapa lagi?"

"Okay, then. Have fun!"

Dia bilang have fun, tapi ekspresinya kayak yang nggak rela. Duh. Gimana gue bisa liburan dengan fun jika dia begini?

"Elo sendiri gimana? Ada rencana liburan?" Gue balik nanya sembari membetulkan posisi Yellow di gendongan.

Helaan napas Juan kedengeran berat banget. "No. Daddy sibuk dan baru akan pulang Rabu nanti. Anak-anak sih ngajakin gue liburan keluar negeri, tapinya gue males."

Gue mengernyit. "Kenapa?"

Dia mendecak. "Pake nanya alasannya. Ya, jelas karena gue udah punya elolah. Kalo nanti gue liburan keluar negeri, makin susah nanti kita ketemu."

Hee? "Kan gue juga bakalan ke Bandung. Ya, elo pergi aja. Selesai liburan, kita bisa ketemuan la--"

"Terserah elo," potongnya ketus sambil melepaskan pegangan gue secara kasar. "Gue mau nunggu Daddy pulang aja biar kami liburan sama-sama. Apalagi sebentar lagi Natal."

Lah, dia kok ngambek? Salah gue apaan coba? Saran dari gue itu wajar untuk dikatakan, kan?

"Gue tadinya kepengin liburan bareng sama lo. Tapi apa boleh buat. Elo udah ada rencana," gerutu si Bangsat yang sontak bikin gue nahan ketawa.

Ya, gue juga niatnya pengin liburan bareng sama Juan. Cuma ... eh, sebentar. Kenapa gue nggak kepikiran?

"Juan, kita liburan ke Bandung barengan, skuy!"

_________

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top