50. PENYERAHAN

Satu detik, gue berkedip. Dua detik, gue coba mengulang isi ucapannya di dalam kepala. Tiga detik, mata gue melotot kaget begitu selesai mencernanya. WADUH! Jangan-jangan pukulan Setya kemarin bikin otak Benjo jadi error? Gawat! Gak beres, nih. Harus cepet-cepet manggil unit gawat darurat.

"Gue tau elo pasti mikir gue lagi ngada-ngada. Setelah semua yang gue lakuin dari ngerjain lo dan bikin elo kesusahan beberapa hari belakangan ini, wajar kalo elo nggak percaya. Tapi, justru itulah alasan utama kenapa gue mau diajak kerja sama oleh bule bernama Jess." Kedua tangannya yang bersatu saling mengepal kuat. "Gue dan dia sama-sama mau elo dan Juanda putus. Kami sama-sama nggak suka kalian jadian, padahal faktanya elo dan dia belum lama saling kenal. Gue muak sama dia. Cowok itu terlalu belagu. Juanda tuh nggak pantas jadi pacar cowok sebaik elo, Feryan. Makin elo nempel sama dia, gue yakin pasti masalah yang akan lo hadapi nanti bertambah."

Gue melongo tanpa tahu harus memberikan reaksi atau tanggapan apa. Pengakuan ketua kelas monyong ini terlalu ngagetin. Asli bikin shock. Nggak menyangkakan hal itu sama sekali. Maksud gue, kenapa? Gimana bisa?

"Elo itu cowok baik, Feryan." Tatapan matanya yang diarahkan ke gue berubah lembut. "Selama ini gue selalu merhatiin lo di kelas. Lo duduk tepat di depan gue, jelas mustahil jika gue nggak ngeliat setiap tingkah laku lo. Ekspresi lo saat bicara, ketawa, marah, bingung, kaget. Bagi gue, itu semua sangat manis."

Bentar, gue kok mendadak mual begini jadinya. Perasaan si Juan udah sering bicara begitu ke gue. Tetapi, kenapa giliran Benjo yang bilang sensasinya malah bikin nggak nyaman?

"Gue suka elo. Gue mendam perasaan gue karena mikir mustahil elo juga punya ketertarikan ke sesama cowok. Tapi nyatanya apa? Kabar mengenai elo yang ternyata pacar dari Juanda malah menyebar di sekolah. Gue ... beneran nggak terima. Andai tau elo juga suka ke cowok, sejak awal suka gue pasti langsung nembak dan minta elo jadi pacar gue," terangnya dengan raut wajah geram bercampur sedih. "Dan kenapa harus Juanda? Selalu aja Juanda! Gak di mana-mana, Juanda dan Juanda terus yang orang-orang sebut dan puji-puji. Kelebihan dia emangnya apa, sih? Modal tampang dan sifat belagu doang udah ngebuat dia ngerasa paling sempurna. Gue benci sama dia. Makin benci lagi saat dengan beraninya dia ngakuin elo sebagai pacar dan sering bolak-balik ke kelas buat ngajak elo ketemuan atau ngobrol. Jika bukan karena larangan Jess, gue akan dengan hati nyelakain dia juga. Cowok sialan."

Oke. Gue meradang sekarang. Bacotan dan wajah nggak suka yang ditunjukkan Benjo terhadap pacar gue bener-bener nggak sedap didengar atau dipandang. Andai punya keberanian, saat ini gue pasti akan langsung maju untuk memberinya tamparan atau tendangan. Ya, emang sih Juan kadang keliatan sialan. Sayangnya, Benjo nggak sadar aja level sialan dia berkali lipat lebih ngeselin dari si Juan.

"Sebelum elo ngatain cowok gue sembarangan, ada baiknya elo mikirin kekurangan elo sendiri ada di mana," sahut gue memulai. "Pertama, elo pakai cara norak cuma demi melampiaskan dendam. Kedua, elo ngaku suka padahal sempat kepengin bikin gue celaka. Ketiga, elo itu JAUH lebih sialan dari Juan, ya! Di mata gue saat ini, di dunia ini, cowok paling sialan di hidup gue ya elo, Arbenjo Maulana. Dan tanpa perlu dijelasin, gue tau elo pasti ngerti maksud gue apa." Dengkusan keras gue keluarkan. "Kalo elo nggak tau apa-apa soal Juan, mendingan elo nggak usah bicara yang macam-macam. Gue yang suka ke Juan, yang lalu nembak dia, kemudian setuju pacaran sama dia dan ngebucinin dia sampe ke level yang nggak kepengin putus atau terjadi apa-apa ke dia. Secinta itulah gue ke dia. Dibanding dia, elo jelas nggak ada apa-apanya. Bahkan ketika gue di-bully sama anak-anak satu sekolah juga, elo ngapain, sih? Ya, diem aja, kan? Malahan ELO YANG NGELUARIN GUE DARI GC KELAS YA, ANJING! Kok yang elo salahin malahan pacar gue? Orang yang rela datang ke sekolah dengan kondisi luka cuma demi ngebela gue di depan banyak orang siapa? JUANDA! Cowok yang nggak malu sama sekali mengakui gue sebagai pacarnya tanpa pertimbangan, YA JUANDA JUGA! TERUS TADI DENGAN GOBLOKNYA ELO NANYA KE GUE KELEBIHAN DIA APA? Mata lo udah dibutain kebencian, Ben!"

Napas gue naik-turun seusai meluapkan amarah. Sebelah tangan gue mengepal meremas HP yang gak hentinya bergetar. Bodo amat! Ada urusan yang harus gue selesaikan di sini. Mumpung ada kesempatan. Biar sekalian gue ungkapin semuanya.

"Kemarin, elo yang ngaku benci ke gue dan Juan. Ngatain kami pasangan homo menjijikkan pula. Lalu, JENG! Barusan elo tiba-tiba nembak gue seakan-akan nggak ngaca sama setiap kalimat yang elo ucapin yang mana udah bikin gue sakit hati. Tck, tck, tck." Kepala gue geleng-geleng heran sendiri. "Gue emang bego, Benjo. Tapi makasih, berkat elo sekarang gue tau di kelas 11 IPS D rupanya ada murid yang lebih bego dari gue. Yaitu elo!" Jari tengah gue menunjuk tepat ke Benjo. Sengaja ngikutin gaya keren pacar gue kapan hari dulu ketika marah-marah. "Awas aja kalo elo berani ngapa-ngapain Juan, ya. Elo nanti bakalan gue ... ya, pokoknya elo jangan apa-apain dia!"

ANJRIT! Apaan, woi. Nada ancaman gue kedengaran nggak ada isinya sama sekali. Dasar bego! Bener kata si Zyas. Gue ini emang sekadar bentukan agar-agar lembek.

Benjo yang sempat kaget mendengar bentakan gue tampak menghela napas saat ini. Jakunnya naik turun, keliatan gelisah. "Maka dari itu, gue minta maaf."

HAH? Gantian, sekarang gue yang terkejut lagi, dong!

"Gue minta maaf karena udah bikin elo sakit hati atas segala ucapan gue. Maaf sewaktu elo di-bully dan dijauhi, gue malah nggak bisa berbuat apa-apa. Elo tau sendiri, gue juga ikut kena sasaran gara-gara kabar mengenai hubungan lo dan Juanda. Itulah sebabnya, gue diam. Gue ... takut ketahuan. Nggak siap jika anak-anak lain tau mengenai perasaan gue buat lo. Gue, nggak seberani pacar lo. Oke, gue terima itu." Dia menunduk memperhatikan lantai dengan sorot mata yang bimbang. "Dan elo harus tau bahwa gue jujur. Semua hal yang gue ungkapin tadi nggak bohong sama sekali." Matanya memandangi gue kembali. "Gue suka ke elo, Feryan. Untuk sekarang, elo boleh gak percaya, marah atau nggak suka. Tapi gue pastikan, setelah kejadian ini, gue nggak akan ragu-ragu lagi. Gue bakal merebut elo dari Juanda!" tegasnya sambil tersenyum.

Dih, optimis bener ini muntahan kucing.

Gue tersengih. "Ngayal elo ketinggian. Tapi, suka-suka elo ajalah. Yang jelas, mustahil elo bisa ngerebut gue dari Juan, ya! Karena gue sama dia bener-bener saling cinta!" balas gue nggak mau kalah.

Benjo terkekeh. "Gak ada yang mustahil di dunia ini. Apalagi kurang dari dua tahun lagi elo sama dia bakalan LDR."

ARRRGHHH! INI MUNTAHAN KUCING KENAPA HARUS NGEBAHAS HAL ITU JUGA, SIH! Emang ya, para tokoh antagonis di kehidupan ini seneng banget ngeliat gue galau!

Mendadak, pintu di belakang gue terbuka. Gue lebih dulu melihat Benjo yang tampak tersentak sebelum menengok ke belakang, hanya untuk menemukan Juan yang mendelik ke arah ketua kelas gue dengan ekspresi nggak menyenangkan. BANGSUL. KOK DIA BISA ADA DI SINI?

"Juan, elo kok--"

"Gue nyariin elolah, Bego!" potong si Bangsat sambil menoyor kepala gue gemas. "Gue pikir elo ngilang ke mana. Untung aja Setya peka dan ngikutin elo diem-diem kemari, jadi gue bisa ikut mantau dari luar."

Mengetahui itu nggak terlalu mengejutkan tapinya. "Sejak kapan?" tanya gue sembari mengelus-elus kepala.

Dia nyengir. "Sejak elo ngatain dia sialan," ujarnya yang setelah itu mendaratkan ciuman ke mulut gue.

KEBIASAAN BANGET INI COWOK SIALAN!

"Anggap aja itu hadiah buat lo," bisik Juan seraya mengusap pipi gue lembut, kemudian beralih menatap Benjo dengan sorot mata yang sinis. "Tapi buat elo, itu adalah tanda peringatan. Meskipun elo berniat ngerebut Ryan di saat gue dan dia nanti berjauhan, gue pastikan tujuan elo nggak akan mungkin berjalan lancar. Because I will NEVER let him go. He's mine and will always be mine even if you have so many chance when I'm not around. Remember that, asshole!" gertaknya penuh penekanan.

Sesudah itu, gue dan Juan keluar dari lab meninggalkan Benjo yang hanya mampu terdiam. MAMPUS.

"Kenapa elo nggak ngasih tau gue kalo itu cowok ngajak lo ngomong? Kenapa harus Setya dan Setya terus yang lebih cepet ngelapor ke gue!"

Gue meringis mendengar omelannya. "Eum, gue kepengin ngasih taunya belakangan. Ehehehe."

Si Bangsat mendecak. "Nah, kan. Elo masih aja ceroboh. Masih untung elo nggak diperkosa sama dia! Dasar bego!"

YEEE, BANGSAT! "Elo mikirnya kejauhan," komentar gue, mendengkus sebal.

"Gue berpikir rasional! Dia suka sama lo sampe ngehalalin cara kotor karena gak bisa ngedapatin elo. Gue yakin, jika nekat, itu cowok bisa ngelakuin hal yang lebih gila. Termasuk, memperkosa. Dia kan satu dua sama Jess," jelasnya masih memasang tampang BT.

Hmm, ya iya, sih. Eh, bentar, bentar! Kok kayak ada sesuatu yang nggak beres di balik kalimatnya?

"Elo, pernah mau diperkosa sama Jess?"

Tebakan gue dijawab dengan anggukan pelan. "Nyaris setiap dia punya kesempatan."

"What?" sahut gue kaget bukan main.

Gila. Seriusan apa itu? Pacar gue udah nyaris kena kasus pemerkosaan berapa kali dong, Bambang!

Dia mendadak berhenti melangkah, lantas menghadap gue. "Tapi gue bukan cowok lembek kayak lo. Dan gue jelas lebih cerdas dari lo. Jadi, setiap Jess mau macam-macam, gue bisa ngalihin fokusnya atau nyaranin dia untuk ngelakuin hal lain. Nah, elo? Diapa-apain sama Benjo? Yakin bisa ngelawan? Gak bakalan!"

Gue manyun sebab nggak mampu menyanggah perkataannya.

Melihat reaksi gue itu, Juan malah tersenyum. "But, I'm glad. Gue lega karena elo cukup punya keberanian untuk memaki dan ngebalas setiap ucapan Benjo. Seenggaknya meski lembek, elo juga bisa tegas sekarang." Ujung jari kelingking gue dipegangnya. "I love you so much. And I'm happy because you also happy knowing about how much I love you."

Ungkapannya itu cakep, sayang gak sepenuhnya gue paham. "Artinya apa?"

Pertanyaan itu bikin Juan mengeluarkan jurus memutar bola mata. "Elo begonya bener-bener luar biasa, ya. Arti kata I love you aja sampe nggak tau. Salut gue," sindirnya sebelum lanjut melangkah.

"Bagian I love you itu gue taulah, anjir. Sisanya aja yang gue kurang ngerti."

"Cari tau sendiri!"

"Dih, Bangsat pelit!"

Namun, sebenarnya itu bukan masalah. Mau gue mengerti setengah atau semua kalimatnya, urusan perasaan jelas nggak akan ada yang berubah. Yang pasti, gue cinta Juan dan gue tau bahwa Juan juga cinta ke gue. Itu tentu jauh lebih penting dibandingkan seluruh bualan Jess serta Benjo yang selalu berusaha meruntuhkan keyakinan yang gue punya.

Karena seluruh isi perasaan gue ini sudah diserahkan sepenuhnya teruntuk Juanda Andromano seorang.

______

"Gue pacarnya, jadi gue yang berhak duduk di depan!"

Jess menarik jaket gue, mencegah gue masuk ke dalam. "Bullshit! Ini hari terakhir aku di Indonesia, jadi aku yang lebih pantas duduk di depan!" balasnya nggak terima sambil mendorong gue menjauh.

Gue berkacak pinggang. "Elo mendingan berangkat ke bandara naik taksi sana! Supaya gue sama Juan bisa jalan berdua!"

Dia memutar bola mata. "Talk to my ass, you stupid! Get lost! Aku duduk di depan!"

Secara sigap gue menghalangi. "Gak bisa! Gue yang duduk di depan!"

"Me!"

"Gue!"

"SHUT THE FUCK UP! BOTH OF YOU!" Bentakan Juan bikin keributan yang terjadi antara gue dan Jess terhenti. "Kalian duduk di kursi belakang! SEKARANG! Masih protes juga, silakan masuk ke bagasi sana!"

Jika Tuan Juan Saga sudah bicara, apa mau dikata. Alhasil, gue dan Jess betul-betul duduk bersisian di kursi belakang. Saling membuang muka sambil misuh-misuh dalam diam.

Tahu-tahu, Jess buka suara. "How could someone like him become your boyfriend, Saga? He's really rude!"

Si Bangsat terkekeh di depan sana. "You need a mirror, Jess. But, he's indeed rude sometimes--even almost everytimes. Still, I also love that part of him."

Lalu bule setan itu melirik gue setelah mendengkus keras. "Which part of him do you like anyway? Well, of course his face is not the reason, is it?"

Walau gak ngerti, entah kenapa ekspresi songong di mukanya asli kayak ngundang tabokan.

Pacar gue berdeham. "Well, you should know I fall in love with him from the first sight. Because his face makes me horny."

HEE? APA-APAAN SEGALA BAWA-BAWA HORNY? MEREKA LAGI NGEBAHAS APAAN, SIH?

Mendadak Jess mengernyit jijik. "WHAT THE FUCK, SAGA! That's absurd and ... crazy! You really crazy!"

Suara ketawa Juan meledak. "You just don't know. Ryan is really sexy. Especially when he's in bed while seducing me."

Jess memutar bola mata mendengar hal bodo amat itu apaan. "Like I care about that! I'm sure I could doing better than him," ujarnya dengan lagak PD selangit.

Dibalas putaran bola mata lagi oleh cowok gue. "As if I want to do it with you, Bitch!"

"ASSHOLE!"

"BACOT KALIAN TUH, YA! GUE GAK NGERTI KALIAN NGOMONGIN APAAN!"

Habis udah kesabaran gue. Tadi nyebutin kata horny, ujung-ujungnya jadi saling memaki. Ini dua bule kesurupan jin mabok apa gimana, deh. Heran gue.

"That's because you're too stupid."

Andaikan halal nendang si Jess dari dalam sini biar dia gelindingan di tengah jalan.

Setibanya di bandara, gue semakin ingin nendang ini bule setengah Dajjal saat dengan lancangnya dia memeluk si Bangsat erat-erat sambil menatap gue.

"See you again next year, Saga," kata Jess seraya melepaskan pelukan.

Juan sama sekali nggak senang mendengarnya. "No, please don't come again here. I beg you," balasnya dengan sorot mata sok memelas.

Lagi-lagi ini bule memutar bola mata birunya. "Whatever. But, yeah. Okay. I'll not come. Cause you're the one who will visit me later." Senyumnya mengembang.

"In your dream!"

Respons itu bikin si Jess mendecak. Lantas dia beralih pada gue, kemudian menyodorkan tangan kanannya. "Goodbye and nice to meet you, Feryan. Aku titipkan Saga padamu dari sekarang. Jika kamu berani menyakiti atau membuangnya, jangan harap aku akan memberikan kesempatan kedua untukmu agar bisa kembali menjadi pacarnya. Kamu mengerti?" Sebelah alisnya naik seusai berucap demikian.

Secara mantap, jabatan tangannya gue terima. "Serahin aja sama gue!"

Jess lalu memeluk gue sebentar sambil memberikan tepukan kecil, selepasnya mendorong gue ke sisi Juan yang refleks memberi rangkulan. "Be happy! Both of you! Bye!" Dia melambaikan tangan sebentar dengan sorot mata agak sendu sebelum berbalik sembari menyeret kopernya.

Gue dan si Bangsat melambaikan tangan ke arah Jess yang mulai memasuki area dalam bandara, seraya secara diam-diam berpegangan tangan di tengah lalu lalang kerumunan. Mungkin Juan juga sama bahagianya kayak gue. Sebab, salah satu sumber masalah di dekat kami telah memutuskan pergi. Walaupun memakan waktu lebih lama dari yang dijanjikan.

Yah, gue sebetulnya nggak keberatan. Toh, jika bukan karena Jess, gue nggak akan pernah mengetahui kebusukan Benjo serta segala sisi noraknya yang terus-menerus berusaha caper ke gue. Hhhh. Kalo nggak ada Setya dan jurus melotot galaknya, bisa stres berat gue menjalani hari-hari di sekolah lantaran diganggu sang ketua kelas monyong nyaris setiap saat.

"Elo mau langsung pulang atau jalan dulu?" tanya Juan begitu kami kembali masuk ke mobil.

"Jalan dululah, Bangsat. Gue lapar!" jawab gue sesudah memasang sabuk pengaman.

Dia mengernyit heran. "Elo udah lapar lagi? Sebelum berangkat ke sini kan kita udah makan."

Yeee, terus karena udah makan dilarang lapar lagi gitu? "Ya, orang lapar mesti gimana? Masa ditahan-tahan! Nanti cacing di perut gue nangis. Kasian mereka," ujar gue lebay.

Si Bangsat mengangguk pasrah. "Oke, oke. Kita cari makan. Elo maunya apa?" Mesin mobil mulai dinyalakan.

"Hmm. Ayam geprek."

"Itu terus yang elo mau! Ganti, kek."

"Ya udah, ayam bakar."

"Yang lain, kecuali ayam."

Gue nyengir. "Hm. Fried chicken?"

"Tck. Terserah elo aja, deh." Pada akhirnya, dia menyerah meski tetap memutar bola mata.

Di sampingnya, gue sekadar tertawa. Merasa lega, senang, sekaligus ... resah. Karena ada sesuatu yang belum sempat gue beritahukan pada Juan perihal libur akhir semester yang datang sebentar lagi. Bilang nggak, ya?

"Juan?"

"Hm, apa?"

"Gue ... bakalan liburan ke Bandung."

_________


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top