5. Pertimbangan

Oke. Rupanya Juanda ini berada di kelas jurusan yang beda dari gue. Pantesan aja itu cowok kayak yang asing di mata sewaktu gue dan dia pertama kali ketemu. Meski kata si Setya,

'Serius elo nggak tau Juanda ada di kelas mana? Padahal dia famous!'

Ya, masuk akal aja kayaknya kalo gue gak tau. Mana sudi gue ngurusin hal tentang cowok lain di sekolah ini, kan? Cewek aja ogah-ogahan gue lirik karena mereka suka berisik. Mendingan tidur aja daripada kepo mengenai hal yang nggak penting bagi gue, deh.

Gue celingukan. Ke mana ya sosok Juanda Andromax itu pergi? Mana gue ngerasa kurang nyaman sama suasana di sini. Awkward aja gitu kesannya. Kalo nanti gue dikira mau melakukan tindak kriminal gimana coba?

"Lo ngapain ada di sini?"

Gue berbalik cepat. Mendapati sosok si Juanda yang badannya keliatan keringetan dengan tiga kancing teratas seragam yang dibuka, menampakkan kaus abu-abu bergambar pohon putih di baliknya. Bau parfum bercampur keringatnya yang lumayan wangi seolah-olah nyebar jadi pengharum koridor ini.

Dih, bangsul! Kenapa gue malah salah fokus?

"Lo nggak kesasar, kan?"

Mendengar pertanyaan kedua darinya bikin gue tersadar. Dengan perasaan nggak keruan gue mikir keras. Bilang sekarang nggak, ya? Eh, harus gitu? Ya, harus, sih! Oh, atau mesti gue tunda aja?

"Feryan?"

"Y-ya?"

Hee? Dia tau nama gue? Dari mana? Emang gue dan dia pernah kenalan? Meski gue juga udah tau namanya tanpa kenalan dulu, sih.

Mendadak dia mengembuskan napas panjang. "Perlu gue siram selangkangan lo pake es lagi supaya elo mau buka mulut?"

Terlonjak, gue pun refleks mundur satu langkah. "Jangan berani lo, ya!"

Sialnya, gara-gara itu gue menjadi pusat perhatian beberapa orang. Bisik-bisik lantas bersahutan meski gak bisa didengar jelas. Meski yakin mereka semua lagi ngomongin gue. Bukan kepedean, ya. Gue ini emang paling asik dijadiin bahan ghibah. Nenek gue pun setuju. Ngenes.

Juanda malah tersenyum kecil seraya mengacak rambutnya yang tampak lembab.

Hmm. Dia ini emang keren kalo diperhatiin. Mungkin itu salah satu alasan kenapa dia famous. Ya, kan?

Eits. Bukan urusan gue.

"Gue mau ngomong sama lo."

Dia menyipitkan mata mendengar ucapan gue. "Oh? Oke. Bilang aja."

Sekarang? Di sini? Tapi, gue bingung. Ditambah perhatian orang-orang masih belum hilang dari pandangan. Berasa lagi berdiri disidang pengadilan gue.

Anjrit. Gue bertingkah macam cewek di anime yang sok malu-malu pas mau nembak gebetannya.

Dih, goblok! NGGAK. GAK GITU!

Mulut membuka, akan tetapi dua kata yang mau gue ucapin--sayangnya belum siap disuarain, malahan macet. Kena lampu merah di tenggorokan karena jakun gue mendadak kayak bengkak. Akhirnya, gue malah berdeham macem bintang iklan obat batuk. "Gimana kalo kita ngomong pas pulang sekolah aja?"

Alis tebal cowok yang gue yakini punya darah blesteran ini mengernyit. "Penting?"

Menurut gue sih penting. "Iya." Jadi, gue juga mengangguk.

Juanda manggut-manggut. "Oke. Pulang sekolah tunggu aja gue di deket tangga sebelum masuk koridor ruang olahraga."

Gue mengangguk sekali lagi, tanda mengerti. Sesudah itu, berjalan cepat meninggalkan lingkungan kelas yang diisi sekumpulan orang yang belum juga selesai saling bisik-bisik gak jelas. Sebagian sisanya, mereka bau keringat macam si Juanda. Tebakan gue, mereka pasti habis buang-buang energi di jam istirahat. Nggak kayak gue yang punya kegiatan rutin untuk menghemat keringat alias tidur.

Duh. Semakin sadarlah betapa pemalasnya diri gue ini, Bambang.

.

"Udah?" Adalah pertanyaan pertama yang Setya ajukan begitu gue balik ke kelas. Begitu melihat gue memberi gelengan, kedua mata sipitnya membundar. "Terus elo tadi ngapain?"

"Euh, gue minta ketemu sama dia sepulang sekolah."

Dia tampak menahan tawa. "Elo tuh cuma buat bilang makasih aja kebanyakan buang waktu. Gimana kalo punya niat nembak gebetan coba. Keburu malaikat nyabut nyawa lo saking gregetan."

Gue mendelik. "Bacot lo, ah!"

Nggak tau apa dia betapa awkward dan gak keruannya perasaan saat ngomong sama orang yang gak lo kenal akrab? Gue emang orangnya suka malu-maluin, tetapi tetap aja gue masih punya kemaluan. Maksud gue, rasa malu. Eh, bener juga gue punya kemaluan, kok. Di balik celana gue.

Anjir. Lagi mikirin apa sih gue! Gara-gara hutang ditolong doang jadi kacau gini isi kepala gue yang dari sananya soak. Arrrghhh!

Semoga pulang sekolah nanti gue bisa bilang makasih secara baik dan benar. Kalo perlu, ala-ala orang Jepang sekalian.

(Bayangan)

'Arigatou gozaimashita, Juanda-san!' Ditambah badan gue membungkuk 90 derajat di depan si Juanda Andromax.

Hidih. Mendingan gue ditembak mati Hitler daripada mesti berlagak gitu, deh.

.

Gue ngelus-ngelus kepala yang beberapa saat lalu kena pukul Setya lagi. Padahal gue cuma nanya, sebagai tanda terima kasih bagusnya gue ngasih si Juanda apaan?

"Emang lo ada modal berapa?"

Kantong seragam gue rogoh, mengeluarkan satu pecahan Rp. 5000 dan Rp. 2000. "Cukuplah buat beli Mogi-Mogi atau permen. Duit lima ribu ini buat gue pulang balik naik angkot." Kemudian nyengir. "Nah, bagusnya gue kasih yang mana?"

Setya memandang gue malas, setelahnya mengarahkan pukulan. Tanpa ngasih jawaban, dia melenggang meninggalkan gue dengan pertanyaan besar, "Salah gue apa lagi, woi?"

Akhirnya, gue membeli permen Fox dari kantin sekolah. Lumayan dapat empat. Permen sekarang kan gitu, mahal. Karena bingung Juanda suka rasa yang mana, gue beli aja empat warna sekaligus. Eh, tapinya yang oren udah gue makan duluan. Kalo andai nanti dia malah suka yang oren gimana coba, duh? Apa mesti gue lepehin lagi?

"Lo udah nunggu lama?"

"Ohok!" Gue keselek.

Anjir. Karma akibat makan permen yang mau gue kasih sebagai tanda makasih, nih. Lagian ini cowok nongolnya mendadak banget, macam jelmaan jin.

"Lo gak apa-apa? Kesedak taik cicak lo, ya?"

Si Juanda bangsat gue beri pendelikan maut seraya menghirup napas banyak-banyak setelah berhasil menelan permen. Untung aja ukurannya udah mengecil.

Wah. Gue baru sadar penampilan cowok ini udah keliatan beda lagi karena sekarang dia pake jaket tebel untuk merangkap seragam, juga topi yang terpasang di kepala. Jangan-jangan dia ini model majalah, atau bahkan bintang FTV kesukaan nenek gue? Mukanya jika ditilik-tilik lebih lama kayak pernah gue liat di TV perasaan. Keren gila gayanya.

LOH, GUE MIKIR APA, SIH! INGAT TUJUAN AWAL LO, FERYAN FERIANDI.

"Akhirnya elo dateng." Alhasil, gue sok-sokan melambaikan tangan.

Dia sekadar senyum, nyandarin badan ke dinding sambil matanya gak lepas merhatiin gue. "Jadi, lo mau ngomong apa?"

"Oh, itu." Permen Fox warna-warni yang gue simpan di kantong seragam dikeluarkan, lalu gue sodorin semuanya ke dia. "Nih."

Juanda menatap heran permen di tangan gue. "Apa?"

Gue menarik satu tangan dia, kemudian menaruh permen-permen ini di atas telapakannya. "Itu, sebagai tanda terima kasih."

Dia mengernyit dengan tetep menerima permen pemberian gue. Bahkan salah satunya langsung dibuka. "Buat?" Dia makan yang warna biru.

"Tisu basah, yang elo kasih kemarin. Makasih. Intinya, gue mau bilang makasih aja, sih." Duhlah. Kok mendadak gue malu gini, ya. Keliatan konyol banget gitu perasaan.

Dia tampak tercenung sesaat sebelum gue liat ngangguk-ngangguk. "Gak masalah, kok. Itu hal normal yang mesti dilakuin." Lalu tersenyum usil. "Buat nolongin cowok bego kayak lo."

Batin gue menggeram. "Jangan bikin gue nyesel karena udah bilang makasih sama lo, Bangsat!"

"Heheh." Dih, ini anak malah cengengesan. "Oke. Sorry. Habis tipe orang kayak lo paling enak buat ditindas, sih."

Hadeuh. Sial amat nasib gue mesti dikelilingi orang kayak dia di sekolah ini.

Juanda tiba-tiba berjalan mendekat. "Tapi, lain kali andai elo dikerjain lagi, lo bisa kok minta bantuan gue." Dia nepuk pelan pipi gue. "Gue siap nolongin elo kapan pun elo butuh."

DEG.

HAH? YANG BARUSAN APA? KENAPA JANTUNG GUE MENDADAK MALAHAN DAG DIG DUG KAYAK LAGI NUNGGU UNDIAN BERHADIAH?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top