48. PEMATAHAN

"Kenapa Benjo ikut-ikutan ke sini?"


Gak ada yang menjawab pertanyaan gue. Malahan si Zyas tiba-tiba memukul kepala Arbenjo Maulana secara kasar. Bahkan gue lihat bibir ketua kelas 11 D IPS itu agak terluka. Habis diapain coba dia?

"Talk, you dickhead!" sembur kembaran glowing si Dyas itu, masih galak kayak tempo hari. "Explain everything!"

Explain? Dia mau minta Benjo menjelaskan apa?

Dyas gue dengar mendengkus keras. "You're wasting too much time, Moron!" Setelah itu melanjutkan, "Arbenjo inilah yang jadi kaki tangannya Jess."

Juan dan gue sama-sama mendelik.

"Hah?" respons gue nggak bisa percaya, nggak ngerti, kurang ... gak tau, deh. Gimana maksudnya? "Benjo? Kaki tangan Jess?" Lantas melirik Zyas agak segan. "Nggak salah, kan? Bukan ... kembaran elo yang--"

"NO FUCKING WAY AKU KEPENGIN DIJADIIN KAKI TANGAN BULE SETAN ITU!'

Gue meringis sekaligus seneng lantaran Zyas menyebut Jess dengan julukan yang sama kayak gue.

"Sebelum kamu, aku udah pernah lebih dulu jadi korban dia, ya!" Dia melipat kedua tangan di depan dada seraya menggerutu. "That bitch! Andai nggak takut berurusan sama konglomerat Inggris, udah aku ajak duel dia sampe babak belur dan lumpuh total! Hiiii!"

Yah, nggak heran juga. Boro-boro dia yang pernah dilawan Juan. Juan sendiri yang lebih sangar aja nggak berkutik tuh melawan si bule titisan Dajjal. Emang bener-bener ngerepotin ternyata makhluk nggak berprikemanusiaan satu itu. Huh.

Si Bangsat kemudian berdiri dari tepi ranjang untuk melangkah menghampiri Benjo yang sedari tadi cuma dapat menunduk. "And you? Kenapa masih diam aja?" Dia bertanya bagai bisikan maut. "SAY SOMETHING!"

"I hate both of you!" Benjo membalas bentakan pacar gue nyaris sama kencang. "Terutama elo, Juanda Andromano! Gara-gara elo yang pacaran sama Feryan, nama baik kelas 11 IPS D tercemar. Gue sebagai ketua kelas dikatain banci, dihina dan diremehin oleh siswa lain lantaran dianggap pemimpin pencetak murid homo dari kelasnya! Kalian pikir semua murid di kelas juga udah nerima hubungan gila kalian, huh? Homo menjijikkan macam kalian nggak seharusnya--"

PLAK!

Gue tercekat.

Zyas mengibas-ngibaskan tangannya yang baru aja menampar Benjo. "EW! Aduh! Aku nampar wajah kotor homophobic anjing! Harus dicuci pakai air suci nih supaya steril!" ujarnya memasang raut risih seraya mengelapkan tangan ke jaket Dyas yang sekadar bergeming pasrah.

Sedangkan Benjo yang mendapat tamparan itu seketika bungkam.

Namun, menangkap penjelasan darinya nggak ayal menumbuhkan sensasi sakit di sudut hati gue. Sebab, selama ini nyatanya gue betul-betul terlalu naif. Sadar bahwa cinta yang gue miliki nggak wajar, di lain sisi berlagak bahwa apa yang gue perbuat adalah hal yang gak akan jadi permasalahan.

"Thanks, Zyas," ucap si Bangsat dengan kepalan yang diangkat. Sepertinya baru berniat dilayangkan, tetapi malah didahului kembaran sahabatnya. "Gue nggak sepenuhnya paham dengan hal apa yang elo omongin. But, if you really don't like me, or even MY BOYFRIEND, you should just admit it. Talk or complain, freely to do it. Didn't I say it clearly already that time? Kenapa mesti masang tampang pura-pura nerima, tapi di belakang malah bersikap MACAM PENGECUT." Kerah kemeja Benjo ditarik kuat hingga bikin badannya tersentak. "Oh, well. You indeed such a coward. Mau-maunya dijadikan kaki tangan sosok gila macam Jess hanya karena benci! Padahal Feryan itu adalah teman lo!" Dia mendengkus keras dan bikin Benjo mendelik sengit.

Setya mendadak batuk-batuk sambil mengernyit gak suka. "Tolong nggak usah pake nyebut dia sebagai teman Feryan, deh. Gak sudi gue disetarain levelnya barengan cowok bermuka dua kayak dia," komentarnya beneran bikin ginjal tersentil.

Benjo lantas didorong oleh Juan sampai terjengkang ke lantai. Ngebuat gue mendesah lesu. Antara harus marah, iba, kecewa atau justru merasa bersalah. Tetapi, seluruh kejadian yang menimpa gue beberapa hari ini asli melelahkan. Kepengin hidup tenang dan punya target masuk 10 besar aja udah macam ikutan acara Ninja Warrior. Penuh rintangan.

"At least, kita sekarang tau siapa pelakunya." Vano buka suara. "Si Bento ini nggak punya partner in crime lain, kan?"

Saking seriusnya suasana saat ini, sampe nggak ada yang mau repot-repot mengoreksi kesalahan penyebutan yang bule jangkung itu lakukan.

"Nggak ada." Zyas menjawab. "Aku mergokin Benjolan bisul ini ngobrol sama seseorang dari dalam mobil sendirian. Yang, oh rupanya wow, itu Jess a.ka.a bule setan yang pernah nyaris ngebotakin rambut aku dua tahun lalu. Jelas aku tau dia bakal berulah dan menargetkan kamu sebagai korban, Feryan. Makanya aku diam aja. You know-lah, aku masih merasa jengkel karena Juanda bisa-bisanya suka ke kamu dibandingkan aku."

Bodo amat dia mau bilang apa soal gue. Sementara yang lain gue lihat kompak memutar bola mata, bahkan Benjo juga.

"And then, I heard from my devil twins, bahwa Jess di sekolah sepertinya punya kaki tangan yang tengah mengerjai kamu dan sedang dia cari-cari. Karena aku ini makhluk berhati mulia yang suka menebar kebaikan meskipun agak sombong, jadi ya, akhirnya aku kasih tau ke Dyas bahwa Benjolan kanker inilah orangnya. Dia menghubungi Ervano, setelahnya itu bule saingan menara Petronas meminta bantuan teman kamu, Setya, untuk mencarikan alamat dari ketua kelas kalian yang biadab ini. Aku dan Dyas menjemputnya, lalu ...." Dia menarik napas banyak-banyak lebih dulu sebelum meneruskan, "ketemuan dengan Ervano dan Setya yang udah menunggu. Sayangnya, aku dong yang dituduh sebagai sekutu si Jess oleh teman kamu itu. Cuma yah, begitu aku menarik Benjolan nanah itu keluar dan menjelaskan, barulah dia kena hajar. Teman kamu ini kecil-kecil unyu tapi punya nyali loh, Feryan. Nggak kayak, kamu. Ups. Maaf. Sengaja." Seusai mengungkapkan semuanya, cowok glowing itu tertawa cekikikan.

Persis kayak Dyas kalo sedang ketawa usil. Dasar kembar.

"Elo harusnya bilang lebih awal ke gue!" sahut Juan, tampak kesal.

Si Zyas melotot sok kaget. "Oh, nggak bisa gitu dong, Juanda. Kayak yang aku bilang tadi, setelah apa yang pernah kamu lakukan ke aku, udah sepantasnya pacar kamu itu dapat ganjaran. Biar adil. Masa hal simpel kayak gitu aja kamu nggak paham, sih? Makin gemes deh aku sama kamu!" Lalu dengan genit lengan pacar gue dicubitnya.

Si Bangsat menepisnya jengah dan membuat Zyas manyun. "Still, thank you so much for your help, Zyas. But also, still, I won't apologize for what I did to you. So, we're break even now, deal?"

Ekspresi manyun itu berubah ceria lagi. "Okay, deal! Apa sih yang nggak buat kamu, Juanda?"

Hadeuh. Sifat ganjennya masih nggak berubah. Pepetin aja terus pacar orang!

Akhirnya, gue memutar bola mata. Lanjut berdeham keras agar mampu membuyarkan keadaan yang keliatan makin serius sekaligus aneh ini. "Terus, sekarang gimana? Kalian jelas sadar, sekalipun Benjo udah ketauan, nggak mungkin si Jess berhenti gitu aja dengan segala ide gila di kepalanya, kan?"

Setya mengangguk setuju dengan pertanyaan yang gue ajukan. "Nah itu. Elo udah dikerjain di sekolah, sampe rumah tetep kena cekek juga. Siapa sih cowok ini sebetulnya?" ujarnya keliatan gregetan.

Vano melirik yayangnya. "Kan aku udah ceritain semuanya ke kamu, Febri. Masa kamu lupa?"

Jawaban Vano dibalas cengiran maksa, "Ya, tetep, aku gregetan, Hannes. Nggak nyangka bisa ada manusia sekejam itu yang ikut menghirup oksigen barengan sama aku di sekitar sini. Emangnya dia nggak bisa apa di ... apain, kek? Di--"

"Santet!" sahut gue dan Zyas kompak. Kami beradu pandang, kemudian saling membuang muka.

Wajah Setya langsung semringah. "Ide bagus! Skuy, santet rame-rame!"

Vano tertawa, sementara gue dan Zyas cekikikan dengan Juan yang hanya mampu menggeleng masygul. Dyas sendiri cuma tersenyum kecil. Benjo di bawah sana gue lihat tampak terasing sendirian.

Andaikan nggak takut masuk neraka jalur prestasi dan belum tau rasanya tersakiti itu nggak enak untuk dialami, beneran jalan satu-satunya adalah nyantet. Duh. Ampun, deh.

Zyas bertepuk tangan satu kali. "Well, urusan aku udah selesai di sini. Now, it's time to go home. Bye. Aku titip Benjolan tumor ini ke kalian, ya."

"Tunggu!"

Zyas urung berbalik mendengar seruan gue. "What?" tanyanya judes.

"Makasih atas bantuan elo, Zyas," ucap gue tulus. Lupain permasalahan yang sempat terjadi di antara kami kapan lalu itu, deh. Sebab apa yang Zyas lakukan di sini sangat berarti meski alasan sampingannya sedikit ngeselin.

Zyas tersenyum. "Iya, iya. Sama-sama. Jadikan ini pelajaran supaya kamu berhenti jadi lembek kayak agar-agar kurang matang. Good luck, Feryan! I support you sincerely. At least, between you and Jess, aku lebih memilih kamu sebagai saingan sekaligus pacarnya Juanda. Karena dengan kamu, aku nggak perlu ngerasa takut jika-jika nyawaku terancam. So, see you again!" pamit dia yang setelahnya betul-betul keluar dari kamar gue.

Ah, sedikit. Ada perasaan lega yang menyelimuti. Walau satu masalah yang gue hadapi belum selesai, seenggaknya ada satu pertikaian yang tampak berujung damai.

"I had a plan!" Seluruh perhatian kini mengarah pada Dyas yang sedari tadi cuma ngomong seperlunya. "Wanna give it a try?"

.

Namun, rencana itu ditolak mentah-mentah oleh Juan karena ternyata sudah pernah dicoba oleh dirinya sendiri. Lagi pula, memanggil orang lain sebagai penarik perhatian Jess sama aja dengan menambahkan daftar korban di sekitar kami, katanya.

"Jelas nggak akan berhasil. Zyas yang udah pernah kena hajar aja masih begitu. Gimana Jess yang nggak berani diapa-apain ini."

Gue melirik Setya yang duduk di depan bersama Vano yang tengah mengemudi. Saat ini gue, Juan, dan dua orang di kursi utama tengah menuju kediaman Juan untuk mengajak Jess bicara. Seumpama bisa. Sementara Dyas sendiri tengah mengantarkan Benjo menggunakan motornya. Urusan kami dengan ketua kelas gue itu dianggap udah kelar dengan syarat jangan sampe dia ngadu yang macam-macam dulu ke Jess.

Sebenarnya gue agak khawatir. Takut apabila nanti keributan justru bertambah sebab gue malahan ikut segala. Tetapi, si Bangsat meyakinkan gue bahwa kali ini dia nggak akan tinggal diam.

"Rasa takut gue ke Jess nggak lebih besar dari ketakutan gue jika sampai kehilangan elo."

"Cieeee."

Sialnya, ini bule curut ngucapin hal itu di depan Setya dan Vano, Bambang! Aaaaaa. Norak abis. Walau gue suka, sih.

"Apa nggak bisa manggil polisi?" tanya Setya yang tampak berpikir keras mencari-cari jalan keluar.

Salut gue sama solidaritasnya. Vano udah melarang ikut pun, sohib gue ini tetap memaksa demi mengantisipasi kejadian buruk yang bisa jadi menimpa gue lagi.

Vano yang menjawab, "No, Febri. Polisi terlibat, ada kemungkinan justru kita sendiri yang dibekuk habis karena Jess ini orangnya sangat licik. Koneksinya ada di mana-mana. Apalagi kalo sampe keluarganya ikut turun tangan. Scary. Aku ingat dulu pernah dimarahi oleh om Julius gara-gara balas mengerjai Jess. You know, Jess mengadukan hal sepele begitu ke keluarga besarnya dan ngebuat nama keluarga kami disebut-sebut. What a coward."

"Dan ayah elo nggak ada bilang apa-apa?" Setya menoleh sebentar ke Juan.

Si Bangsat menghela napas lesu. "Bukannya keliatan jelas bahwa Jess ini tipe orang yang pintar cari muka? Di depan daddy, he's act like an angel. But behind him, he's being himself who as evil as demon!" ucapnya penuh penekanan. "Gue capek juga memperingatkan daddy soal betapa menyebalkannya Jess. Daddy always said that we're family. Family, my ass! Setiap tahun ngeganggu ketenangan hidup gue." Kepalanya disandarkan ke bahu gue. "Kalo dia cuma nyari masalah sama gue, it's okay cause I can handle it. But, Jess ini selalu menambahkan target lain sebagai korban setiap tahunnya. He's really crazy."

"Dia bukan tahanan atau pasien dari RSJ di UK yang malah melarikan diri, kan?"

Vano ngakak mendengar pertanyaan Setya yang bangsulnya parah itu. "If only that's true. Sayangnya, Jess ini bukan orang biasa."

"Dia designer muda berbakat yang karyanya udah diakui dunia," timpal Juan.

Buseet. Makin berat aja rasanya setelah disuguhi fakta yang satu itu.

Setibanya di kediaman Juan, kami berempat masuk dengan cara sembunyi-sembunyi agar memastikan Jess nggak mengetahui keberadaan kami. Terutama gue dan Setya, sih. Mencari sosok bule sialan itu ke mana-mana, yang lalu dipandu Yellow menuju ke kolam renang.

Karena ternyata Jess tengah ada di sana. Duduk di tepian dengan bagian bawah kaki yang dimasukkan ke air. Tampak melamun dengan wajah yang ... baru. Maksud gue, ekspresinya di sini berbeda dari setiap raut muka yang sempat ditunjukannya selama menghadapi gue.

"You guys, stay here," bisik si Bangsat lalu meninggalkan kami bertiga untuk menghampiri si Jess yang langsung menyadari kedatangannya.

"Why are you here?"

"I need to talk to--"

"No need."

"You, could you just listen to me--"

"I don't want to!"

"Tck." Juan keliatan menarik napas panjang sebelum duduk di sebelah Jess. "I ... Jess, I'm--"

"You've changed, Saga." Jess menatap cowok gue dengan tatapan sedih. "You've changed, because you brave enough to hurt me now."

Tanpa diminta, Vano dan Setya untungnya kompak menjadi penerjemah pribadi bagi gue. Jadi, meskipun bingung, seenggaknya gue paham isi obrolan mereka soal apa. Dasar bule ngerepotin. Padahal apa susahnya coba dia ngobrol pakai bahasa Indonesia sama Juan.

Jess menunjuk pipinya yang beberapa jam tadi terkena tamparan. "You hurt me directly. For the first time since we meet ten years ago. Do you realize that?" Dia menggigit bibir. "I always believe that you're a good man. Even when you know I'm a monster in human shapes, you still care about me. I know you hate me like other people's do, but still, you stay with me. And I'm happy being with you. For me, you are everything, Saga. Everything. If by threatening can scaring you, I guess that's more than enough. But it looks like, I'm wrong. You're not scared to me anymore because you have something more than me who makes you scared as human being."

"Yeah. You're right. I'm scared of losing Ryan more than anything else in the world now. For me, he's the most important."

"You love him." Itu pernyataan.

"So deeply much."

Muka gue anget, babi!

"Why it should be him? Why not me? I think, you'll accept my feelings someday. You even know I'm always waiting patiently. For couple of years, just for you. But why? You fallen for someone who I never even know or met--someone as new like him to your life. I, just can't understand. And it's drive me crazy, Saga."

Juan tersenyum. "Being with Ryan always makes me happy, Jess. Everything about him for me it's just what I needed. After such a long time, finally I want to have somebody beside me. Someone like him which I could protect, loved, pleased, and also pleasuring me."

Tambah anget muka gue nih, kampret! Mau tutup muka rasanya! Mana yang nerjemahin kayak yang gak ada beban ngucapin kata-kata norak itu!

"You're ... happy."

Senyum di bibir si Bangsat kian lebar. "I'm indeed happy. He's very funny boy, you know."

"You mean stupid?"

DIH, SEMPRUL!

"That his main charm. If you know him better, you will know."

PESONA DARI MANANYA, ELAH! Gue punya cowok geblek amat gitu bentukannya.

"If I change myself, would be there's a chance for me?"

"No need to change yourself for me, Jess. That's really unnecessary. Someone as not perfect as me. It's a waste. You should just hoping someone would accept you for the way you are now. Like Ryan did to me." Mata dia pake segala melirik ke sini.

TAUK, AH. Mau ngumpet ke ketek kingkong rasanya gue sekarang. Gak kuat, Nek!

"But, you're indeed perfect, Saga."

"No way. What kind of absurd imagination do you have about me?"

"I always thought, you could be perfect boyfriend for anyone."

"Maybe, that's true. But it depends who's that person. And you're not in the list cause for me you are only a brother."

"A brother, huh. A bad brother suits me more."

COCOK EMANG!

"You finally admit it yourself." Juan tampak terkejut sekaligus takjub.

Jess tertawa. Untuk pertama kali, gue melihat tawa lepas darinya. "Thanks for everything, Saga. And, I'm sorry for hurting the one you love. From now on, I will stop bothering you guys."

Hah? Serius itu? Alhamdulillah, Ya Allah. Sujud syukur boleh kali, ya.

Juan pun terlihat senang bukan main. "Wow, Jess. Thank--"

"But it doesn't mean I will give up. At less than two years, you'll be staying at UK anyway. So, there's still bunch of a chance for me," ucap itu bule mendadak tobat memotong kalimat Juan.

Namun, mengapa dua orang di dekat gue diam aja?

Pasangan bucin ini gue lirik bergantian. "Heh? Apaan itu artinya? Kenapa kalian diam aja?" tuntut gue nggak sabar.

Si Setya justru mendongak ke pacarnya dengan raut kebingungan. "What is that supposed to mean, Hannes? You know something about this?"

Yeee, setan. Jadi pada ngobrol sendiri. Minta dikutuk jadi lumut kolam nih mereka berdua.

Anehnya, bukannya menjawab, ini bule jelmaan kelapa malah memandang gue. "Saga belum cerita apa-apa tentang persoalan kuliahnya sama lo, Feri?"

Lah? JAUH AMAT PERGANTIAN TOPIKNYA, KAMBING. Ini mereka mendadak error apa gimana?

Gue jelas mengernyit bingung. "Euh, belum. Emang kenapa?"

Vano mengembuskan napas panjang. "Well, kalo gitu biar nanti dia sendiri yang cerita. Gue nggak ada hak untuk buka mulut karena ini adalah urusan kalian," ungkapnya sama sekali gak bisa gue mengerti.

Emangnya kenapa, sih? Apakah ada sesuatu dalam perkataan si Bangsat yang berisikan hal kurang menyenangkan?

Mendadak, perasaan gue yang seharusnya senang karena pernyataan Jess kembali menjadi runyam disebabkan penasaran.

Huh. Andaikan diri ini becus bahasa Inggris, nggak akan sepusing ini gue sekarang!

_______

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top