47. PERLINDUNGAN

Di hari ketiga ketika rentetan kesialan belum kunjung usai dan membuat gue berakhir kekunci di kamar mandi, Juan akhirnya datang dan marah besar. Padahal gue minta tolongnya sama Setya. Eh, itu bocah setan justru memanggil Juan untuk memberi gue bantuan sembari membawa Dyas serta Vano.

"WHAT THE HELL IS GOING ON HERE?" Sesuai dugaan, si Bangsat meledak. "Setya bilang beberapa hari ini elo udah dikerjain dan ngalamin hal-hal nggak menyenangkan. Terus, kenapa elo nggak bilang ke gue?" Dia menarik kasar tangan gue untuk keluar dari kamar mandi. Melihat ke bawah, lalu mendengkus. "Celana dan sepatu elo kenapa basah?"

Gue meneguk ludah sebelum menjawab dengan suara pelan. "Tadi ada yang nyiram gue dari bawah di balik bilik toilet."

Juan menggeram. "Dyas, cari saksi mata!"

Dyas mengangguk patuh, setelah itu pergi dari area toilet ini. Sementara Vano gue lihat berdiri di depan gue dan Juan demi menghalangi murid-murid yang datang mendekat dengan tatapan kepo.

"Siapa yang ngelakuin ini? Anak-anak mulai nge-bully elo lagi?"

Duh. Gue mesti gimana, nih? Pertemuan yang terjadi antara gue dan Jess beberapa hari lalu untuk menyampaikan ancaman emang sengaja nggak gue kasih tau ke Juan lantaran nggak mau bikin dia khawatir--meski dia minta gue supaya ngadu. Berpikir, mau dikerjain segimanapun andaikan gue tetap mampu bercengkrama dengan cowok ini, nggak akan ada hal yang perlu ditakutkan. Namun, jika dia udah bertanya begitu, apa gue masih harus menutupinya?

"Maybe, it's Jess."

Mendengar nama itu disebut Vano bikin ekspresi kesal di wajah si Bangsat bertambah serem. "Apa iya? Ini ulah Jess?" Tatapan menyelidiknya menusuk tepat ke mata gue. "Dia bilang atau ngelakuin sesuatu sampe elo diperlakukan begini?"

Mau nggak mau, gue buka mulut, "Iya. Ini semua Jess biang keroknya." Kemudian mulai menceritakan semua hal yang beberapa hari ini terjadi pada gue, termasuk isi permintaan Jess yang sama sekali nggak akan gue ladeni. "Dia bilang, dia pengin bikin gue menyesal. Dan gue diam sebagai bukti bahwa gue nggak akan nyesal sama sekali. Apa pun yang dia lakuin, gue nggak peduli. Yang paling penting, dia cuma nimpain seluruh kekesalannya ke gue. Bukan ke elo, Yellow, atau nenek dan yang lainnya."

Juan mengembuskan napas lelah dengan tampang yang lebih tenang, setelah itu mengusap puncak kepala gue. "Dasar bego! Kan gue udah bilang, andai dia ngancam elo, aduin ke gue!"

Ucapannya gue balas decakan. "Lagian, meski gue ngadu juga toh elo tetep gak bisa ngelakuin apa-apa!"

Vano gue dengar menyemburkan tawa tertahan dan ngebuat si Bangsat mendelik sebal. "Yah, emang, sih. Gue nggak bisa ngelakuin apa-apa. Atau tepatnya, belum." Mengembuskan napas lesu. "Jangankan gue sendirian, nyaris setiap tahun gue minta bantuan Vano dan Dyas buat cepet-cepet bikin Jess nggak betah di sini aja selalu gagal. Mungkin kita harus nunggu dia bosan, lalu pulang lagi ke UK sana," tuturnya yang juga tampak berpikir keras.

"Berapa lama emang biasanya Jess netap di sini?" tanya gue asli penasaran.

"Sampe akhir tahun."

Jawaban itu bikin kedua mata gue kayak yang mau menggelinding ke lantai. "KEBURU MAMPUS GUE KALO HARUS NUNGGU SELAMA ITU, BANGSAT!"

.

Gue turun dari boncengan motor Dyas yang Juan kendarai. Langsung melambaikan tangan padanya yang segera memutar balik karena dia bilang bahwa hari ini ada rencana pengin kumpul bareng anak Jajaja. Daripada diem di rumah dan digangguin Jess terus, masih mending main, katanya. Sayangnya, gue menolak ikut ketika diajak lantaran kepengin istirahat di rumah. Capek gue menghadapi segala permasalahan selama tengah berada di sekolah. Pengin makan yang banyak, habis itu tiduran sambil nonton lanjutan anime Kimetsu no Yaiba.

"Assalamu'alaikum, Nek." Gue menyalami tangan Nenek yang tengah menonton FTV.

Nenek mengusap kepala gue. "Wa'alaikumsalam, Fery. Akhirnya pulang juga. Temuin Jess sana. Dia udah nunggu kamu dari tadi."

Badan gue membatu seperkian detik sebelum mendadak dilanda resah yang nggak menenangkan setelah mendengar ucapan Nenek. "Jess? Nunggu Fery? Di mana?" tanya gue dengan suara lirih saking gemetaran.

"Di kamar kamu, Nak. Nanti kamu ajak dia ma--loh, Fery!"

Gue nggak ada waktu untuk mendengarkan kalimat Nenek sampai akhir. Serta-merta berlari ke arah kamar, membuka pintu dan menemukan Jess tengah foto-foto ... menggunakan iPad mini gue. ANJRIT. Lancang bener ini bule kampret.

Baru hendak memprotes sewaktu Jess lebih dulu buka suara. "Tidak aku sangka pemuda miskin sepertimu sanggup membeli barang cukup mahal seperti ini. Bahkan HP milikmu juga lumayan." Dia menoleh ke arah gue, memberikan tatapan sinis. "Kamu memintanya pada Saga, kan? Berlagak memuja dan menyukainya yang mana hanya demi uang semata." Dengkusan angkuhnya asli ngeselin.

Gue merebut iPad mini dari tangannya lantas meletakkannya ke laci meja. "Nggak usah sok tau. Elo pikir di dunia ini cowok yang banyak duit cuma Juan? Jangan menilai perasaan gue dengan pandangan sepicik itu!" balas gue dongkol. Melepaskan tas yang lalu gue taruh ke ranjang. "Elo kenapa lancang banget masuk-masuk ke kamar gue tanpa izin, hah?"

Jess menaikkan kedua bahunya. "Nenek yang meminta aku menunggu saja di kamar. Jadi, aku menurut." Dia kemudian melirik tas yang berada di dekat badannya. "Padahal isi tas ini sudah kosong, kan? Seharusnya kamu buang saja karena sudah tak ada gunanya." Lantas dia betul-betul membuangnya ke lantai untuk lanjut diinjak.

Bodo amat. Tas mah gampang dicuci kalo kotor juga. Injek aja sampe puas.

Gue mendengkus. Nggak meladeni tingkahnya dan lebih memilih mengeluarkan HP. Niatnya ingin memberitahukan Juan mengenai keberadaan Jess di sini, sebab di sekolah tadi dia minta gue untuk lebih cepat melapor apabila terjadi apa-apa. Tetapi, mengingat saat ini dia pasti masih mengendarai motor, sebaiknya gue tunda aja kali, ya.

"Ingin mengadu pada Saga?"

Pertanyaan itu gue tanggapi dengan gelengan. "Nggak, kok." HP gue taruh ke atas meja. "Elo mau sampe kapan diem di sini? Sana, pulang. Juan juga barusan pulang tuh sehabis dia nganterin gue."

Kalimat gue sukses memunculkan raut nggak suka di wajah judesnya. "How dare you!" gumamnya setelah itu berdiri. "Kamu sepertinya tidak mengenal kata menyerah. Haruskah aku mengganti ancaman?"

Kernyitan tebal gue timbul. Ganti ancaman gimana, Bambang? Ini bule gak punya senjata cadangan selain ngancam apa?

"Maksud lo apa?"

Jess berlagak berpikir dengan senyum licik terpasang di bibir. "Bagaimana jika, aku menargetkan Saga dari sekarang? Kamu pasti akan lebih menderita jika melihatnya kesakitan, bukan?"

Detak jantung gue tersentak satu kali, seketika menumbuhkan rasa sakit yang menjalar ke sekujur badan sesudah mendengarnya berkata demikian. Ini bule benar-benar titisan Dajjal. Bahkan lebih dari itu kali. Iblis neraka paling jahanam.

Gue mendelik gak percaya. "ELO INI WARAS NGGAK, SIH? Kenapa malah larinya ke Juan?" protes gue jelas nggak terima.

Nggak cukup apa beberapa hari ini dia ngebikin gue kewalahan akibat kelakuan kaki tangannya yang entah siapa di sekolah?

Bule ini menyipitkan mata. "Karena Saga juga sengaja mencari gara-gara denganku. Dia menolak perasaanku, mengabaikan aku, hanya demi sosok jelek seperti dirimu. Kamu pikir aku akan terima?"

"TAPI ELO KAN CINTA JUGA KE DIA, SETAN!"

Nggak ngerti gue sama jalan pikiran ini orang. Eh, lupa. Dia bukan orang. TAPI SETAN. Mana ada orang yang tega nyakitin sosok yang dicintai.

"Cinta yang aku miliki tak sebanding dengan kekecewaan yang aku rasakan, Feryan. Bagaimana menurutmu? Lepaskan Saga atau aku siksa dia perlahan-lahan? Oh. Aku dengar kaki kanannya baru sembuh setelah beberapa minggu lalu mengalami kecela--"

"STOP!" Buru-buru gue menyela penjelasannya saking gak ingin membayangkan hal yang nggak-nggak. "Elo itu beneran ... gila. Jangan apa-apain Juan!" kata gue dengan tangisan.

BANGSUL. Malu-maluin. Habisnya dia beneran bikin gue takut. Waktu itu ngancam Yellow, terus nenek, nah sekarang Juan. Kapan coba dia puasnya? Capek gue ngehadapin kegilaannya.

"Wow. Kamu menangis?" komentarnya memasang raut yang entah beneran kaget atau pura-pura kaget.

Gue menyeka air mata. "Please, Jess. Gue mohon sama elo. Elo boleh nyakitin gue. Silakan apa-apain gue sesuka yang elo pengin. Pokoknya, elo bebas nyakitin gue segimanapun. Tapi jangan lo apa-apain Juan atau orang lain di sekitar gue karena gue gak mau sampe yang lain kenapa-kenapa." Tuh! Sampe mesti mohon-mohon segala, anjir. Padahal bukan gue yang salah di sini, kan.

"Jika kamu secinta itu padanya, apakah itu artinya kamu rela mati untuknya?"

Tubuh gue bagai tersiram air es. "Mati?"

"Ya!"

Meneguk ludah dengan isi pikiran yang masih kacau, setelahnya gue menggelengkan kepala cepat. "Ng-nggak. Gue nggak bisa."

"Oh. Coward."

Iya, emang. Gue ini seorang coward!

"Gue nggak masalah andai elo emang mau ngebunuh gue, sih. Cuma, gue belum siap mati demi Juan. Sampe gue pergi dari hidupnya, itu berarti gue malah ingkar janji ke dia. Gue nggak mau bikin dia marah sama gue. Gak mau ngebuat dia ngerasain kehilangan lagi setelah ditinggal pergi tante Laura," ujar gue sejujur-jujurnya lantaran diingatkan pada hal penting yang pernah gue ikrarkan untuk si Bangsat.

Ekspresinya berubah bingung. "What did you say?"

Secara berani gue memandang Jess tepat di mata. "Dengerin gue, Jess. Gue udah janji, apa pun yang terjadi, gue nggak akan ninggalin Juan. Bahkan om Julius juga menitipkan Juan ke gue untuk selalu menemaninya. Jadi, gue nggak akan putus sama dia. Apa pun yang elo lakuin, gue gak akan mutusin dia!" Dan menghela napas. "Secinta itulah gue ke dia. Ke Juan."

Tahu-tahu ini bule mencekik leher gue. "Kamu benar-benar sudah bosan hidup rupanya!"

ANJRIT. Dia ini kalo ngancam nggak ada niat bercanda gitu meski cuma sedikit? Leher gue sakit, sial! Mana kuku dia tajam-tajam. Ditambah badan gue lemes. Nggak ada tenaga rasanya untuk melawan.

"Bego, gue nggak jadi--WHAT THE FUCK! JESS!"

Pintu tiba-tiba terbuka dari luar, memunculkan sosok Juan yang langsung menarik Jess menjauh secara kasar kemudian melayangkan tamparan. Bikin cengkeramannya di leher gue terlepas, lalu badan gue jatuh terduduk lemas di lantai. Batuk-batuk dengan mata berair dan tenggorokan perih.

"Ryan, hei. Are you okay?" Setelah bertanya begitu sambil merangkul gue, Juan beralih menatap Jess yang tampak shock. "Are you crazy? What the fuck are you thinking hurting him like that? He's not at fault here, Jess. How many times should I told you?" gertaknya terdengar benar-benar murka.

Gue memeluk lengan si Bangsat dengan tangan gemetar. Merasa sangat lega karena dia datang di saat yang benar-benar tepat dibarengi air mata bercucuran. "Gak apa-apa. Biarin aja."

"Ada apa ini ribut-ribut?" Nenek turut datang, masuk ke kamar yang ngebuat gue buru-buru menghapus jejak basah di wajah. "Loh, Nak Saga, Fery, kenapa ada di bawah? Apa Fery sakit lagi? Nak Jess juga--"

"SHUT UP!" Bentakan Jess yang parau asli ngagetin parah.

Dia kepengin bikin Nenek gue jantungan apa, anjing! BULE KAMPRET BIN DAJJAL INI!

"ELO PERGI DARI RUMAH GUE, JESS! SEKARANG!" balas gue membentak dengan suara serak. "PERGI LO, SETAN!"

.

Jess yang berulah, malah gue yang kena marah. Nenek bilang, gue udah bertingkah gak sopan karena mengusir tamu dengan cara yang sangat kasar dan gak beradab. Nggak tau aja cucunya ini nyaris mati lantaran dicekik bule yang dianggapnya cakep bin baik hati itu. Untungnya juga, nenek percaya aja sewaktu gue mengaku kecapekan dan ingin istirahat tanpa diganggu--tapi tetap ditemani Juan. Andai tau tadi gue kepengin dimampusin, nenek bisa-bisa panik dan langsung lapor polisi kali.

"Masih sakit?" tanya Juan seraya terus mengelapi leher gue yang nyeri menggunakan air hangat. "Damn! That shitty bitch! Kalo sampe gue telat datang, gimana nasib elo sekarang coba?"

Ini cowok saking khawatirnya sampe menolak pulang dan berniat nginap sekalian. Jaga-jaga siapa tau bule jelmaan setan datang lagi tanpa diundang. Ketika gue mengingatkan perihal motor si Dyas yang masih dipinjam serta baju ganti, dengan gampangnya dia justru menyuruh Vano datang untuk membawakan. Dasar.

"Gue kira dia nggak akan bertindak sejauh--aw! Anjir! Elo kenapa malah--"

"Diam sebentar bisa?" Dia tiba-tiba memeluk gue setelah secara kurang ajar memukul kepala. "I'm glad you're okay. Kalo sampe terjadi sesuatu yang buruk sama lo, gue nggak akan bisa maafin diri gue sendiri, Jess, juga elo."

Heh? Gue ikutan salah, nih? "Loh, kok gue?"

"Karena elo dibilangin beberapa kali gak ada ngertinya!" Dia melepaskan pelukan, lantas memberikan tatapan tajam yang nggak sedap dipandang. "Kalo ada dia, elo diapa-apain sama dia, bilang ke gue! SECEPATNYA! Apa susahnya ngertiin permintaan sesimpel itu? Gak usah berlagak sok kuat kalo buat ngehajar balik si Jess aja elo nggak ada nyali!"

Bentakannya bikin gue menelan ludah. "Iya, iya. Sorry."

Juan mengembuskan napas, lalu mendaratkan kecupan ke puncak kepala. "I really love you, you know that already. So please, bergantunglah sama gue. Gue ini pacar elo, kan?"

Suara pintu lalu terdengar diketuk dari luar. Begitu dibuka, ada sosok Vano, Setya dan Dyas yang berdiri di depan sana.

"Kami nggak ganggu, kan?" tanya Vano sambil masih membungkuk dan masuk kemari.

Dyas gue lihat melambaikan tangan, sedangkan Setya cepat-cepat menghampiri gue. "Elo baik-baik aja, Fer?" tanya sohib gue ini cemas sembari mengintip leher gue. Mungkin dia udah dengar cerita dari Hannes kesayangannya.

"But wait. We still had other people to join here." Ucapan Dyas ngebuat gue dan Juan saling pandang.

Dari pintu, seseorang yang udah lama nggak gue temui muncul. Zyas. Yang kemudian tampak menarik satu orang lagi secara kasar. Sosok yang gue kenali sebagai ketua kelas yang paling tenang dan bijak.

"Benjo?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top