46. PERSAINGAN
_________
Gue baru selesai menghabiskan mie rebus sewaktu si Bangsat muncul di hadapan gue dengan memasang tampang kesal. Gue sendawa lebih dulu sebelum bertanya, "Ngapain elo di sini?"
Dia mendecak. "That should be my line, Stupid! Kenapa elo malah di sini? Kan gue nyuruh elo nunggu." HP gue dilemparkan ke ujung sofa. "Dan HP elo juga ketinggalan. Ceroboh banget sih lo."
Mendengar komentarnya bikin gue menghela dan mengembuskan napas pelan, berusaha menenangkan kondisi hati yang malah tersulut lagi. "Jess nggak bilang apa-apa sama lo?"
Mendengar pertanyaan kedua itu ngebuat si Bangsat mengernyit heran. "Jess? Dia kan nggak ada di rumah. Kalian tadi ketemu?"
Dasar bule culas sialan!
"Oh, berarti itu cowok langsung ikut minggat sehabis dia ngusir gue."
Dia tercekat beberapa detik. "Dia ngapain?"
Gue mendesah lelah. "Dia narik gue sampe jatuh dari kasur, nyeret gue keluar kamar, nendang kaki gue, ngusir gue, kemudian ngancam andai gue gak mau pergi HP gue bakal dibanting sama dia!" ungkap gue dengan suara lirih, tapi penuh penekanan lantaran menahan murka. "Dia ini sebenarnya siapa, sih? Heran gue, bisa-bisanya cowok macam dia sebegitu keliatan nggak sukanya ke gue coba!" Mendengkus seraya menyandarkan badan ke sofa.
ARRGHHH! Andai gue bisa ngejambak rambut pirangnya sampe botak kayak Ajay. Pasti mantul!
Juan meletakkan plastik yang dibawanya ke meja, sesudah itu duduk di sebelah gue sembari memijat pelipisnya. "Oke. Elo dengerin penjelasan gue baik-baik karena ini menyangkut kebaikan hubungan kita berdua juga ke depannya."
Ucapan dia yang dibarengi raut sangat serius itu sontak ngedatangin debaran nggak mengenakkan.
Si Bangsat menarik napas. "Jess itu sepupu gue. Cucu dari paman mommy yang kebetulan suka juga ke gue. Sejak lama, dia udah tau bahwa gue punya ketertarikan pada sesama cowok dan itulah sebabnya dia sering ngegodain gue. Setiap gue nolak ngeladenin, dia maksa. Kayak tadi malam itu. Sedangkan jelas gue nggak bisa suka ke dia karena bagi gue dia hanya saudara, kan? Sialnya, Jess justru mengatakan ke seluruh anggota keluarga McLauren mengenai perasaannya juga niatnya untuk ngejadiin gue pacar, bahkan gilanya, suami."
Mulut gue menganga udah macam gorong-gorong di dekat sungai komplek sehabis menangkap setiap kata dari penjelasan yang diungkapkan.
"Dia ini licik dan berbahaya. Rela melakukan apa pun supaya apa yang diinginkannya dapat tercapai. Dan kasus yang elo hadapi kali ini terjadi lantaran Jess nganggap elo merebut gue. Saat tadi malam gue ngejelasin panjang lebar mengenai status gue yang udah punya pacar pun, tetap aja itu cowok nggak peduli sama sekali. Damn!" Si Bangsat mendengkus lesu.
Gue meringis. "Dia orangnya agak nyeremin, sih," komentar gue atas penuturan Juan yang semakin ngebuat gue yakin tentang hal satu itu.
"Yes, he is. Di UK, dia nyaris nggak punya teman karena setiap ada yang cari masalah atau bikin dia kesal, Jess pasti langsung mencelakakan mereka. Dan di sini, gue khawatir sama lo. Makanya gue nggak berani ngelawan dia terang-terangan sebab takut malah elo yang dijadiin pelampiasan. Jujur aja, kadang Jess juga ngebuat gue takut karena gue nggak bisa nebak hal apa aja yang bisa dia lakukan sewaktu dia berada di sekitar gue. Apalagi setelah elo sama dia ketemu." Lalu dia menggumam, "Seharusnya tadi malam gue nyuruh elo untuk nggak jadi datang, tapi gue udah terlanjur kangen."
Sesudah mencerna semua hal itu, gue ragu-ragu bertanya, "Elo nggak bakalan ngehajar dia kayak yang elo lakuin ke Zyas waktu itu, dong?"
Si Bangsat memutar bola mata. "Terus, ngebikin elo makin dibenci dan diapa-apain sama Jess? No way! Zyas itu cuma selevel kecoa dan gede dibacot doang, nyaris persis kayak lo. Disemprot balik, ya tinggal ngumpet. Jess jauh beda sama itu banci karena dia ini setara preman. Disenggol sedikit, balasnya pakai bacokan."
HAH? Gue neguk ludah, dong. Ngeri amat anjir. Ralat, deh. Berarti dia jauh lebih nyeremin dari yang mampu gue bayangkan.
Juan tiba-tiba memegangi tangan gue erat. "Biar gue tegaskan satu hal yang paling penting. Elo, jangan berani-berani ngelawan atau ngehadapin Jess sendirian. Andai kalian ketemu, secepatnya elo wajib ngehubungin gue. Dan kalo dia sampe ngancam atau berniat ngelakuin sesuatu, mendingan elo kabur aja. Elo paham?"
Anggukan secepatnya gue berikan. "Iya. Lagian gue juga nggak ada nyali kali mau ngelawan itu cowok titisan Dajjal. Matanya aja udah ngalahin pelototan Suzanna," sahut gue dan nyengir. "Tapi gue berharap gue bisa nyantet dia, sih. Sakit hati gue sama Jess. Atau ngutuk dia jadi pasir kucing supaya bisa diberakin Yellow setiap hari."
Suara ketawanya nyembur. "Andaikan itu bisa jadi nyata, ya. Gue juga kepenginnya ngehajar Jess tanpa ampun biar kapok dan bikin dia nggak akan datang kemari lagi. Sayangnya, gue nggak mau mencoreng nama baik Daddy dan mendiang mommy, atau dilibatkan dalam drama keluarga McLauren yang diisi orang-orang arogan dan biadab," ujarnya seraya menggeleng masygul.
"Kayak elo?" Komentar itu meluncur mulus tanpa pertimbangan. Toh, orang yang modelnya begitu tepat ada di samping gue, kan?
Dia mengernyit. "Gue biadab, oke. But, mereka biadabnya lebih jauh levelnya. Kayak Jess. Bahkan mungkin, lebih dari Jess juga."
Terkutuklah Jess dan segala kesialannya. Pake segala datang dan ngacauin semuanya. Hilih. Dongkol gue.
Gue menghela napas. "Terus, selama Jess di sini, gue mesti gimana? Kita harus ngapain? Dia sementara waktu bakal tinggalnya di rumah elo, kan?"
Sebab jelaslah ya, setelah diusir sedemikian kejam oleh itu bule titisan Dajjal, jadinya sungkan gue datang ke rumah si Juan lagi.
Juan mengangguk pelan. "Iya. Sementara Jess ada di sini, kita nggak akan bisa leluasa ketemuan atau mojok. Well, kita bahas soal itu nanti lagi aja, deh." Salah satu kotak makan di plastik yang dibawa dia ambil. "Gue lapar. Elo mau makan lagi? Gue beli ketoprak tuh buat elo."
Kotak makan satunya gue ambil. "Punya elo apa?"
Dia mengeluarkan sendok plastik dari jepitan karet. "Ini? Soto ayam. Mau tukeran?"
Tawarannya gue balas gelengan. "Nggak, deh. Gue mau ketoprak aja." Lantas kotak makan gue buka.
"Ya udah, cepet dimakan. Lagian mie rebus satu piring mana cukup buat elo, kan?"
"Gue makan mie rebus isi dua tadi itu dua bungkus, tauk!"
Pacar gue mendelik. "Dan anehnya, badan elo segini-gini aja."
Iya, sih. Mau makan sebanyak apa pun, badan gue ini nggak keliatan ada nambah tumbuh ke atas atau ke samping. "Emangnya kalo gue gendut, elo bakalan tetap suka?"
Pertanyaan itu ditanggapi senyuman. "Why not? Toh, gue suka ke elo lebih dikarenakan sifat dan pribadi lo sendiri. Bukan fisik."
Hadeuh. Nyesel gue nanya. Muka gue jadinya panas dibarengi debaran di jantung yang berdetak kencang lantaran kegirangan mendengar ungkapannya.
"Nenek belum pulang? Senam pagi harusnya udah selesai jam segini, kan?"
Gue mengangkat bahu. "Palingan masih ngerumpi sama para ibu-ibu dan nenek-nenek lain."
Juan urung menyendok lontong dan menatap gue. "Elo mau jalan-jalan?"
"Ogah," tolak gue buru-buru sambil mengunyah. "Badan gue capek, pegel. Mendingan diem aja di rumah. Istirahat."
"Kalo cuma diem di rumah makin tambah capek dong elo."
Lah? "Capek kenapa?"
Dia mendecak gemas. "Gue masih kangen sama elo ya, Bego! Jangan lupain hal itu!"
Oh, iya. Gue juga, sih. Namun, kejadian perihal si Jess bikin gue jadi BT dan agak males.
"Mendingan elo pulang aja sana. Soalnya, gue masih kesel tuh karena elo tadi malam malah cipokan sama Jess."
Juan mendelik gak terima. "Itu bukan mau gue, Ryan!"
Kali ini gue nggak akan kebujuk sama penjelasan dan rayuannya. "Bodo! Tetap aja elo ngelayanin maunya dia, kan? Cowok Bangsat!" umpat gue asli dongkol sembari mengaduk-aduk ketoprak penuh nafsu.
Embusan napas panjang terdengar disusul gumaman, "Gue udah nolak, tapi dia maksa sebab ngancam bakal ngeracunin Yellow."
Gue otomatis keselek. "Hah?"
ANJRIT. GIMANA ITU, WOI? Kenapa Yellow segala dilibatkan?
Si Bangsat tampak gregetan. "Baru aja tadi gue cerita, dan elo udah nggak paham aja. Biar gue tegasin sekali lagi, oke? Jess ini berbahaya, Ryan. SANGAT BERBAHAYA. Dan elo nggak akan pernah tau hal apa aja yang bisa dia lakukan. So please, jangan terlalu nganggap sepele masalah ini sebab siapa pun akan dia jadikan korban sebagai pelampiasan marahnya!"
____
Omongan Juan emang selalu bisa dipegang. Karena tepat keesokan harinya, itu bule biadab muncul di depan rumah gue. Tampak mengobrol bagai kawan lama dengan Nenek. Namun sayangnya, melihat Nenek tersenyum tulus dengan ceria malah ngebuat gue cemas nggak kira-kira.
MAUNYA JESS INI APA, SIH? Dari mana dia tau alamat rumah gue? Kenapa nenek gue mesti dibawa-bawa juga?
Nenek menoleh menyadari kedatangan gue. "Fery, ini ada teman kamu nyari. Bule lagi, seperti Nak Saga."
Duh, Nek. Gak usah disebutin juga nama si Juannya.
Gue dan Jess saling tatap sekilas. "Iya, Nek. Kami ada urusan. Biarin Fery ngobrol bentar ya sama dia. Ini, kecap sama Sunlight-nya."
Nenek menerima plastik belanjaan dari tangan gue, berpamitan pada Jess, setelahnya berlalu ke dalam. Meninggalkan gue bersama bule sialan yang langsung aja memunculkan aura yang sangat nggak menyenangkan.
"Selamat pagi, Feryan."
"Ngapain elo di sini?" tanya gue nggak berniat basa-basi kayak sapaan sok ramahnya.
Sebelah alisnya yang juga pirang terangkat. "Apa begitu cara kamu berbicara dengan sosok yang lebih tua dari kamu?"
Loh? Si Jess lebih tua? Gue kira kami seumuran. Dasar bule. Tua atau muda suka keliatan sama semua bentuk mukanya.
Jess lalu terkekeh sinis. "Oh, iya. Aku lupa kamu ini masih bocah ingusan. Bodoh, tidak punya sopan santun, ceroboh, tidak tahu malu, kekanakan dan kurang ajar karena berani-beraninya merebut Saga dariku," ucap mulutnya yang minta dipatok kobra.
Gue otomatis tersengih dong. "Ngerebut? Nggak salah denger gue? Sejak awal Juan bukan milik siapa-siapa, kali! Dia jadian sama gue juga secara sah tanpa paksaan. Jadi, elo nggak berhak marah-marah!" Sembari berkacak pinggang, menunjukkan bahwa gue lebih berwenang di sini.
Sialnya, gaya angkuh dia tetap aja tampak lebih berkuasa. "Jelas aku berhak. Sebab Saga adalah calon pendampingku di masa depan."
Mendadak gue mual. "Bule tukang ngayal!"
Bule bangsul ini mengembuskan napas sambil menggeleng-geleng heran. "Feryan, Feryan. Sepertinya kamu tidak tahu saat ini tengah berhadapan dengan siapa. Apa Saga belum menceritakan apa pun tentangku?"
Waduh. Kata-kata itu mengundang tanda bahaya dan ngajak ribut. Perasaan gue jadi nggak enak, nih.
Gue meneguk ludah lebih dulu sebelum menyahut, "Apa mau lo?"
Dia tersenyum lempeng. "Simple. Akhiri hubungan yang kamu dan Saga miliki."
Tuh, kan. APAAN PULA ITU SIMPLE. SIMPLE MATA DIA BELEKAN. Siapa juga yang kepengin putus sama pacar yang paling disayang!
"Hah? Siapa juga yang--"
"Atau aku akan membuat hari-hari yang kamu jalani menjadi kurang menyenangkan mulai detik ini," potongnya agak membisik. "Tidak hanya kamu. Tetapi juga, nenek."
Dada gue dilanda sensasi nyeri mendengar kalimat terusannya. "Elo nggak usah segala-gala ngelibatin nenek!" protes gue dengan mata yang udah aja panas saking khawatir.
Kalo beneran nenek sampe kenapa-kenapa gara-gara Jess. Nggak tau lagi harus ngapain gue.
Jess malah memasang tampang datar seakan gak peduli. "Kenapa tidak? Bukankah menarik jika aku dapat melihat satu-satunya orang yang tinggal bersama kamu tersakiti?"
"Elo sinting, Jess!"
Makian gue malah bikin dia ketawa macem orang stress. "Thank you. But, I'm kidding. Tidak menyenangkan juga bermain-main dengan seorang wanita tua yang usianya sudah jelas akan berakhir kurang dari satu dekade ke depan."
Gue mendekat ke arahnya seraya mengepalkan tangan kuat-kuat, nggak berani sama sekali melayangkan pukulan lantaran ... takut. "Gak usah banyak bacot! Mendingan, sana elo pulang."
Jess mengangkat tangan lantas mundur perlahan-lahan. "Oke, oke. Aku pergi. Tapi sebelum itu, izinkan aku berkata satu hal lagi. Denganmu, aku tidak akan pernah bermain-main, Feryan. Jadi, siapkan dirimu mulai dari sekarang."
Ancamannya gue balas pelototan. "Gue nggak takut!"
"Nice. Karena aku lebih ingin membuat kamu menyesal. So, good luck!"
____
Namun, serupa omongan Juan, ancaman Jess juga sangat-sangat terbukti kesungguhannya. Di sekolah, nyaris seharian gue mengalami kejadian sial.
Bermula dari kursi gue yang menghilang dari kelas, ditambah meja gue pun dicoret-coret. Kolong meja diisi bangkai tikus. Bahkan sekembalinya dari kantin, seluruh buku-buku milik gue hilang dari tas. Untuk lalu ketemu di selokan sekolah dengan kondisi basah dan kotor.
Anak-anak di kelas langsung saling tuduh dan bertanya-tanya. Mengenai siapa dalang di balik semua kesialan yang gue alami. Termasuk Setya.
"Elo nggak mau ngadu sama Juan soal hal ini?"
Gelengan gue berikan. "Janganlah, Set. Bisa tambah runyam nanti urusannya," ujar gue sambil menggunakan kaus kaki. Begitu menurunkan sepatu dari rak ke lantai, dari dalamnya terdengar suara bergerincing.
Setya dan gue saling pandang.
"Elo denger suara barusan, kan?"
Pertanyaan gue nggak ditanggapi. Setya langsung aja mengambil salah satu sepatu gue dan memeriksa isinya. Ketika suara terkesiapnya keluar, gue menatap kebingungan.
Raut di wajahnya tampak sangat geram. "ANJIR, PARAH! ORANG GOBLOK MANA YANG NARUH PAKU PAYUNG DI DALAM SEPATU INI!"
Seruannya menarik perhatian beberapa orang. Alhasil, bisik-bisik kepo terdengar dan ngebuat gue meringis tertahan.
Gila. Untung aja belum dipake itu sepatu. Kalo udah, gak kebayang deh nasib kaki gue sekarang gimana.
"Elo ngundang musuh dari mana lagi sih, Fer? Bukannya anak-anak di sekolah kita udah nggak ada yang pengin nyari masalah sama kalian?" tanya dia seraya membuang seluruh paku payung ke tong sampah.
Yah, mungkin anak-anak sini emang gak ada yang kepengin ngurusin hubungan kami lagi. Yang jadi saingan gue saat ini kan si Jess. Dan mengingat sifat culasnya, gue yakin itu bule lebih suka bertindak pakai tangan milik orang lain alih-alih terjun sendiri sehubungan nggak ada akses untuk berbuat sesuka hati di sekolah ini.
Duh, pening kepala gue. Kenapa sih hubungan gue dan Juan nggak bisa dibiarin damai untuk seterusnya? Cukup kami berdua yang emang demen cari ribut satu sama lain. Nggak perlu ada yang ikut campur jadi penengah dan nyiptain kekacauan.
Nah, yang jadi pertanyaannya. Siapa yang mau-maunya dijadiin kaki tangan oleh Jess untuk mengerjai gue?
________
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top