44. PERTARUHAN

_____

[Hari ini gue pergi ke gereja bareng Daddy.
Setelah sekian lama.
I'm happy.
And btw, hari ini kami juga mau belanja kado ultah gue yang lain lagi.

Bisa tebak? 😎 ]

Gue mengucek mata yang masih belekan seraya menguap. Si Bangsat ngirimin chat nyaris satu jam yang lalu, sedangkan gue baru bangun jam segini di saat dia udah semangat aja beribadah ke gereja pada Minggu pagi. Duh. Ampuni Feryan, Ya Allah.

[Gue baru bangun.
Turut seneng deh akhirnya kalian bisa ibadah sama-sama lagi.

Biar gue tebak.
Hadiahnya ...

Mobil baru? 🤔 ]

Selama menunggu balasan chat dari Juan yang mungkin aja masih berada di rumah Tuhannya, gue di sini membereskan kamar dari mengganti sprei dan sarung bantal, merapikan isi lemari, mengelap meja dan ranjang, pun menyapu lantai. Selesai dengan itu semua, langsung berlari ke arah kamar mandi lantaran kebelet pipis.

Duh. Lubang bool gue ikutan cenat-cenut, nih. Tadi malam gue dapat jatah disodok pakai gaya anjing soalnya. Versi bahasa Inggrisnya gue lupa apa namanya. Hehehe. Untung aja seusai kami main dan ngotorin sprei Juan lalu keluar dari kamar, Om Julius nggak nampak lagi batang hidungnya. Jadinya aman. Nggak perlu ngerasa malu bakalan dikira macam-macam lagi meski faktanya emang demikian.

Sekembalinya ke kamar untuk memeriksa HP, balasan dari Juan masih belum datang.

"Ya udahlah. Mendingan bersih-bersih rumah dulu."

.

"Anjir lo, ya! Hahahaha! Dasar goblok!"

Ketawa aja terus sampe mampus. Setan emang punya temen satu macam si Setya. Gue ceritain kejadian kepergok om Julius kemarin di saat tengah enak-enaknya nyicipin Minnions, eh malah meledak gitu aja suara ngakaknya. Minta dihajar pakai jurus tinjuan api versi Feryan D. Ace.

"Aduh, ah. Terus, terus, habis itu gimana? Hihihi."

Gue mendengkus karena ini cowok kampret belum juga puas ngetawain. "Ya, gitu. Om sih keliatan kalem-kalem aja. Dia ngajakin gue ngobrol kayak yang ngasih restu gitu, Set. Lanjut memperingati untuk kami supaya gak gitu-gituan di dapur lagi, terus makan malem bareng sambil cerita soal masa lalu mendiang mommy Juan."

Penjelasan itu sukses melenyapkan ekspresi geli di wajah Setya yang mulus bersinar bagai bintang iklan krim Garnier. "Elo, ngebahas soal mommy Juanda bareng sama Juanda? Anjir. Sedih dong dia."

"Elo udah tau sesuatu soal ini juga, ya? Dari Vano?"

Dia mengangguk pelan dua kali. "Iya. Hannes cerita banyak begitu gue mulai nyari tau soal Juanda sejak elo curhat bahwa elo suka ke dia. Kan Hannes kenal pacar lo sejak mereka kelas 1 SD, Fer. Ya, dia jelas tau hampir semua suka-dukanya Juanda," tuturnya seraya mengotak-atik HP. Chatting sama si Hannes kesayangan.

Duh, sementara chat gue masih belum juga dibalas. Nasib.

Embusan napas panjang gue keluar saking lesu. "Iya. Tadi malam juga Juan sampe nangis, Set. Parah sih sedihnya. Baru tau gue bahwa Juan itu lahir prematur, ditambah pesan terakhir tante Laura buat dia yang isinya bikin nyesek."

Mengingat kata-katanya aja sukses bikin dada nyeri. Nggak heran andaikan Juan kebayang-bayang terus atas kepergian sang mommy.

Setya tersenyum kecil. "Hannes bilang mendiang mommy Juanda tuh orangnya benar-benar baik, sih. Meski galak dan juga bawel."

Komentar itu ngebuat gue meringis tertahan. "Nah, itu. Kaget gue juga. Gak nyangka sifat ngeselin itu cowok dia dapat dari emaknya." Lalu menggeleng-geleng antara takjub dan prihatin.

Dia mendadak tersengih. "Gak ngaca lo?"

"Eh? Emangnya gue mirip mamah, ya? Nggak, ah. Mustahil." Tapi, masih mending dibilang mirip sama mamah daripada papah, sih.

Setya mengangkat bahu. "Terserah elo aja." Dia menaruh HP, kemudian berjalan ke arah kaca lemarinya. "Ayah Juanda di rumah, kenapa elo malah ke sini? Bukannya main kek, cari muka. Biar elo makin disukain."

Buseettt. Gue disuruh carmuk. Ini anak kalo ngasih saran yang nggak sesat sekali aja apa susahnya, sih? Huh.

"Terakhir gue baca chat Juan, dia bilang dia pergi ke gereja bareng ayahnya. Sama sekalian mau belanja kado ultah buat dia. Terus juga, chat gue belum dibales-bales, tuh. Biarin ajalah. Kangen kali dia sama si Om. Udah lama mereka gak ketemu, kan. Hampir sebulan. Apa lebih, ya?" terang gue sembari membolak-balik HP di atas kasur bersprei warna hijau ini.

Setya berhenti memainkan hidungnya dan berjalan kemari lagi. "Oh, iya. Hannes bilang Juanda kepengin beli motor matic, kan?"

Gue tercekat. "Hah? Motor matic? Nggak salah apa?"

Dari motor gede ke motor matic. Kenapa seleranya anjlok banget? Gue pikir dia kepengin dibeliin mobil baru.

Sohib gue ini mengernyitkan hidungnya yang merah. "Kata Hannes, Juanda kepengin minta motor matic, deh. Soalnya bawa motor gede tuh ribet. Mana dia udah pernah jatuh dan ketiban sampe kakinya luka, bikin susah digerakin dan ribet ngapa-ngapain, kan? Mungkin dia agak kapok."

Oh. Masuk akal juga sih penjelasannya. "Tapi, gue nggak nyangka aja dia kepenginnya motor matic. Soalnya Juan nggak ada cerita apa-apa juga ke gue. Eh, tadi dia nyuruh gue nebak kado barunya, sih," sahut gue sembari agak menerawang. Membayangkan bentuk motor matic yang sekiranya akan Juan minta pada sang ayah. "Sedangkan gue dikasih oleh-oleh sama ayahnya aja iPad mini. Nanti--"

"IPAD MINI?" Setya secara nggak santuy menyela ucapan gue dengan heboh. "Elo dikasih iPad mini? Sama ayah Juanda?" tanyanya sambil memegangi kedua bahu gue macam berniat ngancam.

Kalo berurusan sama gadget ini cowok gak bisa kalem dikit ajakah?

"Ya, biasa aja kali, Setan! Jantungan nih gue denger suara lo!" keluh gue seraya mendorongnya menjauh.

Dia ini badan aja kecil, sekali ngeluarin suara keras bisa bikin geger satu kelurahan saking kencengnya.

Dia memasang tampang mupeng. "Bagi gue, Fer. Kasihin ke gue aja sini. Elo kan udah ada Samsung galaxy S8. iPad itu buat gue aja. Udah enek gue lama-lama mainin Xiaomi."

Kalimat terakhirnya bikin suara ketawa gue nyembur. "Elo minta sama Hannes elolah sana!" saran gue, menaik-turunkan alis menggodanya.

Setya gue liat malah manyun. "Elo nggak tau ya merk HP si Vano samaan kayak gue? Bedanya, ketutupan aja sama softcase dia yang kece."

Anjir, ternyata. "Pffft! Bucin amat dia. Pacar pake Xiaomi, segala ikut-ikutan!"

Komentar gue ditanggapi pelototan. "Diem lo! Lagian dia bilang bingung juga mau ngisi HP-nya buat apaan andaipun kebagusan. Selama bisa buat medsos, main game, selfie dan chat. Udah cukup."

Iya juga, sih. Kayak gue aja punya HP pun ribet juga kalo mau ditaruhin kebanyakan aplikasi.

"Eh, ngomong-ngomong soal game, gue juga kepengin download game, nih. Bagusnya main apaan, yak?" HP gue ambil, bersiap-siap meng-klik ke play store.

Namun, kepala gue malah ditoyor. "Heh, goblok! Besok kita mulai UAS, elo malahan mikirin game."

Oh, iya. Untung diingetin. "Ehehehe. Lupa. Ya udah, nanti lagi, deh."

Setya berdiri menuju ke gantungan baju untuk mengambil sweater warna pink-nya. Itu sweater kesayangan dia deh pasti. Sering banget dipake.

"Elo udah makan? Makan bareng, skuy! Gue laper. Mau ngebakso," ajaknya sesudah mengenakan sweater dengan rapi, tapi masih bercermin.

Jiwa rakus gue aktif deh mendengar tawaran makan. Alhasil, gue langsung berdiri penuh semangat. "Skuy. Elo--"

"Bayar sendiri," potong Setya.

Yah, BT deh gue. Jiwa bokek gue ikutan aktif. "Tck. Duit gue masih di rumah." Habisnya niat gue datang ke rumah Setya kan buat main doang. Mana ada kepikiran bakalan makan di luar.

"Ya, elo ambil sana. Nanti gue nyusul," ujarnya sambil menyisir.

Gue menghela napas pasrah. "Iya deh, iya!"

Kangen juga gue mau makan bakso soalnya. Hehehe.

.

[We visit mom's grave.

Dan ini kado ultah gue yang lainnya.]

Juan mengirimkan fotonya dengan om Julius di makam milik tante Laura yang penuh bunga, disusul fotonya yang menaiki motor matic berwarna hitam dan kuning. Lupa gue nama dari merk motor itu. Beberapa kawan di sekolah dan tetangga gue ada yang punya soalnya. Dan rupanya, dia beneran minta motor matic sebagai kado ultah.

Gue menunggu panggilan tersambung sembari meniup-niup kuah bakso untuk dicicipi. Kurang pedas. Tambah satu sendok sambal lagi.

"Mencret nanti, gak bisa ikut UAS lo," tegur Setya dengan ekspresi ngeri.

Dasar lidah lemah.

"Halo?"

Batal deh gue ngebalas kalimat Setya. "Elo kok ziarah ke makam tante Laura gak ngajak-ngajak gue, sih? Kan gue kepengin ikut ngasih doa dan bunga juga!" sembur gue gak pake basa-basi.

Yah, gue emang agak kesal. Karena baru aja tadi malam kami membahas mengenai tante Laura gitu, lantas kenapa ketika mereka berniat ziarah gue malah nggak diajak serta?

Di seberang sana si Bangsat terkekeh. "Sorry, sorry. Next time, gue bakalan ngajakin elo, deh. Gue sama Daddy hari ini banyak kegiatan, jadi sekalian aja pergi ke sana-kemari." Seusai mengatakan hal itu, dia terdengar berbicara dengan bahasa Inggris. Mungkin ngobrol sama om Julius. "It's Ryan. He's get mad cause we didn't invite him with us when we visit mom's grave."

Nggak lama setelahnya, suara Om Julius yang malah kedengaran. "Halo, Feryan."

Gue tersedak dan kelabakan mengambil air mineral botol untuk diminum sebelum merespons. "H-halo--ohok, Om," sahut gue dengan hidung perih.

Di depan gue, setan Setya keliatan puas ketawa cekikikan. Sebagai balasan, gue menginjak kakinya di bawah meja dan bikin dia meringis tertahan. Mampus.

"Maaf, ya. Om emang sengaja nggak mengajak kamu sebab kata Saga, pada hari Minggu kamu biasanya sibuk. Mungkin lain kali jika kita semua punya waktu luang yang banyak, kita bisa pergi bersama-sama."

Penuturan si Om bikin gue seneng, dong. Aduh. Paling pengertian emang beliau ini. Jadi makin sayang deh gue ke anaknya.

"Hehehe. Iya, Om. Kapan-kapan lagi aja nggak apa-apa," respons gue lalu berucap tanpa suara pada Setya bahwa gue tengah bicara dengan ayah Juan karena tatapannya keliatan kepo luar biasa. "Bisa tolong kasih teleponnya ke Juan lagi, Om?"

"Iya, ini gue."

Duh. Tambah kangen nih gue lantaran sebetulnya lebih kepengin denger suara dia secara langsung. Tetapi, sebagai pacar yang baik, nggak sombong dan rajin menabung, alangkah bagusnya apabila gue memberi kebebasan untuk dia menghabiskan waktu bersama keluarga, kan?

"Hm. Habis ini kalian mau ke mana lagi?" tanya gue sembari lanjut memakan bakso.

"Pulang ke rumah. Gue capek. Tadi malam begadang belajar sampe jam dua soalnya. Mau tidur siang."

Ya ampun. Kalo gue jadi otak si Juan, gimana kabarnya nasib gue sekarang, ya? Tck, tck.

"Terus, motor elo gimana?"

Juan gue dengar menguap seraya menjawab, "Masih diurus. Tunggu dua mingguan lebih lagi soalnya itu motor bakal sekalian dikasih plat nomor dan dibikinin STNK. Supaya setiap gue bawa ke mana-mana bisa bebas pakai tanpa khawatir kena tilang."

"Atas nama elo?"

"Iyalah, Bego. Kan itu motor gue."

Gue cuma mampu nyengir malu di sini.

"By the way, elo berani ambil taruhan nggak sama gue?"

Bakso kecil urung gue lahap begitu mendengar tawaran dadakannya. "Taruhan apa?"

Dia berdeham. "Begitu UAS selesai lalu rapor dibagikan dan elo sanggup masuk ke tingkat 10 besar, gue bakalan ngajak lo jalan-jalan pakai motor baru itu ke mana pun elo mau. Tapi jika nggak berhasil, elo nanti yang harus mau jadi sopir pribadi gue selama hari liburan dan nyetirin gue pergi ke mana pun tujuannya. Deal?"

Hm. Agak-agak nggak meyakinkan ini taruhan. Deal apa no deal nih, ya? Terakhir gue dapat peringkat di kelas pas kenaikan tempo lalu ada di urutan ke-23 soalnya.

Embusan napasnya tertangkap dari ujung speaker. "Apa mesti gue tambahin isi taruhannya? Kalo elo berhasil masuk 10 besar, gue akan ngabulin apa pun permintaan elo, deh."

Seketika jiwa serakah gue bangkit. "Apa pun?"

"Yes!" sahut Juan cepat.

"Elo serius, ya? Berani sumpah, ya? Gak bohong!"

"Iya, bawel!"

Horeee! Taruhan diterima. "Deal, deh."

Di sana, cowok gue terdengar ketawa puas. "Good. Siapin diri dari sekarang untuk jadi sopir pribadi gue ya, Bego. Bye," ucapnya yang kemudian memutuskan sambungan.

Gue menatap HP dengan dongkol.

YEEE. DASAR PACAR BANGSAT. Ujung-ujungnya tetap aja nggak ngenakin. Namun, demi bisa minta APA PUN ke seorang Juanda Andromano, mau nggak mau gue harus mampu. WAJIB.

Menaruh sendok dan garpu ke mangkok, selepasnya gue memandang Setya. "Set, pulang dari sini elo nanti ajarin gue rumus matematika yang kira-kira bakalan masuk ke soal ulangan, ya."

Dia keliatan kaget sampe kedua matanya melotot. "Elo kesurupan apa tiba-tiba kepengin belajar matematika?"

Mata gue menyipit dan menaik-naikkan alis. "Rahasia."

Karena Setya pasti bakal ngetawain isi taruhan yang gue dan Juan bicarakan tadi, ada baiknya gue simpan untuk diri sendiri sementara ini. Seenggaknya, sampai gue dapat keyakinan bahwa gue emang sanggup masuk 10 besar.

Berdoa dan ngarep setiap hari, dimulai!

____

'Tahun 2019 sebentar lagi berakhir, nih. Apa harapan kamu di tahun 2019 yang belum terwujud?'

MASUK PERINGKAT 10 BESAR DI KELAS.

Gue mengirimkan jawaban itu ke sebuah status dari salah satu halaman yang disukai di Facebook. Selanjutnya, menaruh HP sambil berusaha menenangkan isi kepala gue yang nggak ada hentinya berlarian ke sana-kemari.

ARRRGHHH!!! Bisa nggak sih gue berhenti mikirin soal-soal ulangan yang beberapa hari ini udah dikerjakan? Percuma toh dipikirin terus, nggak bakalan bisa gue perbaiki juga itu semua. Meskipun hancur dan berantakan hasilnya, gue tetap kepengin banget ngerasain ada di peringkat 10 besar. Bukan karena ingin dianggap pintar, melainkan gue mau bisa menang taruhan.

Getaran dari HP menyadarkan gue dari segala kerunyaman yang dirasakan. Langsung tersenyum mendapati panggilan video dari 'Juan Bangsat 😸' di layar. Gak pake lama gue menerimanya, lalu disambut wajah Juan yang keliatan sangat lelah.

"Bego, I miss you!"

Dih. Baru juga mulai udah norak aja. "Elo baru pulang?"

Dia mengangguk. "Iya. Tadi gue sama temen-temen main basket dulu di sekolah sebelum pulang, sih."

Hah? Basket? "Emangnya kaki elo udah bisa dipakai loncat dan lari-larian?"

Paras letihnya menampakkan senyum. "Udah, kok. Kemarin gue periksa bareng sama Daddy sebelum dia pergi syuting lagi, and dokternya bilang bahwa kaki gue udah sembuh total. Bebaslah buat gue gerakin ke mana-mana."

Penjelasannya mendatangkan perasaan lega. "Bagus, dong. Gue seneng dengernya."

"Hm, iya. Gue juga seneng denger suara lo. Andaikan deket, kepengin banget gue nyium elo sekarang."

Tahan, Feryan. Jangan kegoda. Nyebut.

Sebagai tanggapan, gue cuma memasang senyuman. "Elo udah makan?"

Mendengar respons gue bikin si Bangsat tampak BT. "Elo nggak kangen ya sama gue? Padahal udah nyaris seminggu kita sama-sama sibuk dan gak bisa mojok berdua."

Adeudeuh. Ngambek nih ceritanya? "Kan di sekolah kita ketemu dan sempat ngobrol."

"Iya. Tapi tetap aja elo sama gue nggak bisa mojok, cipokan dan ewean."

Sontak gue mendelik risih. "Itu terus yang elo inget!"

"Emangnya elo nggak?"

Gue cengengesan.

Dia mengembuskan napas panjang nan lesu. "Andai nggak capek, mau banget gue ke situ sekarang. Sayangnya, Daddy nyuruh gue istirahat hari ini."

"Sama. Gue juga capek, kali. Gampanglah. Kita ketemuannya besok lagi."

"Besok elo ke sini, ya? Sekalian biar nanti malam mingguan."

Gue mengangguk setuju. "Tapi, gue ke sananya jam berapa, nih?"

"Semau elo aja. Meski enaknya elo datang pagi buat sekalian bangunin gue. Jadi, kita berdua bisa sarapan sama-sama. Gue kangen makan bareng sama lo soalnya."

Ah, iya. Gue juga kangen sama masakan dia. Kangen banget, nget, nget! "Siap, Tuan. Akan saya laksanakan."

"Good. Kalo gitu, gue mandi dulu. Atau elo mau ngeliat gue mandi sekalian?"

Gue mendecak. "Gak usah. Sana, mandi aja. Habis ini gue mau nyuci baju juga, supaya besok dan besoknya nggak ada kerjaan. Jadinya bisa bebas deh ngabisin waktu sama elonya."

Dia menyipitkan mata. "Aw. Makin sayang deh gue sama lo."

"Bacot. Sana, mandi!"

Si Bangsat ketawa. "Okay. Bye, Sayang."

Belum sempat gue mengomel, Juan udah aja memutuskan panggilan. Duh. Padahal gue masih kangen ke dia. Yah, udahlah.

Sekarang, gue jadi nggak sabar ingin menyambut datangnya hari esok. Mengesampingkan sementara harapan untuk masuk peringkat 10 besar. Saat ini, dapat berjumpa dan melepas kangen dengan si Bangsat kesayangan adalah tujuan utama.

Semangat!

____

Namun, hari yang gue nanti-nantikan ini sama sekali nggak sesuai harapan. Udah pesan Gojek di pagi buta untuk menuju ke kediaman Juan, masuk dengan riang ke halaman hingga bagian dalam rumahnya dibantu Pak Satpam, lantas lanjut melangkah ke kamar si bangsat ditemani perasaan senang bukan kepalang. Sialnya, begitu membuka pintu, gue malah disuguhi pemandangan yang nggak menyenangkan.

Juan masih tertidur di kasurnya dengan tubuh bagian atas yang polos. Anehnya, dia nggak tidur sendirian. Sebab ada cowok berambut pirang yang nggak gue kenali yang saat ini tengah memeluk Juan mesra. Tampak damai berbaring bersamaan di atas sana.

Gue nggak salah lihat, kan?

Pacar gue berpelukan dengan orang asing di ranjangnya, sementara kemarin dia mengaku sedang kangen. Bahkan chat terakhir yang dia kirim tadi malam juga isinya norak abis, tuh.

Duh. Apakah ini halusinasi? Ataukah memang ungkapannya aja yang terlalu cepat gue percayai?

"Hngggh!" Cowok pirang itu menggeliat pelan. Kedua matanya yang membuka perlahan langsung dipakai untuk menatap si Bangsat yang masih terlelap di sampingnya. "Good morning, Saga," sapanya sambil tersenyum. Dan tahu-tahu, bule sialan itu mendaratkan ciuman ke bibir cowok gue.

DIA NYIUM PACAR GUE DONG, BANGSUL! ARRRGHHH! SIAPA SIH COWOK SETAN INI!

_____


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top